Tren kerja jarak jauh atau bekerja dari rumah berpotensi berlanjut di masa depan. Meski terdapat sejumlah kendala, manfaat yang didapat menjadi daya tarik budaya baru dalam bekerja ini.
Oleh
Agustina Purwanti
·4 menit baca
Sejak pandemi Covid-19, budaya bekerja dari rumah tidak asing lagi bagi masyarakat. Demi mencegah penularan virus dan mengurangi mobilitas terkait pembatasan aktivitas masyarakat, hampir semua perusahaan menerapkan sistem kerja jarak jauh bagi pekerjanya.
Budaya kerja tersebut sebenarnya bukan hal baru. Merujuk penelitian Oswar Mungkasa (2020), istilah tersebut muncul pertama kali dalam buku The Human Use of Human Beings Cybernetics and Society oleh Norbert Wiener tahun 1950. Telework menjadi istilah yang sering digunakan oleh masyarakat Eropa.
Selanjutnya, muncul beragam istilah seperti telecommuting, remote working, flexiwork, dan mobile working. Pada awal kemunculannya, sistem kerja jarak jauh dipandang sebelah mata dan umumnya berkonotasi negatif. Namun, seiring kemunculan teknologi pada akhir abad ke-20, konsep kerja jarak jauh mulai mendapat perhatian.
Kini, budaya kerja tersebut sudah banyak diadopsi. Bekerja dari rumah atau work from home (WFH) menjadi istilah yang kian akrab di kalangan masyarakat. Dengan WFH, pekerja tidak harus datang ke kantor, bertatap muka dengan pekerja lainnya untuk melakukan sebuah pekerjaan.
Manfaat dan tantangan
Tak lagi di pandang sebelah mata, kini WFH diterima sebagai sistem kerja yang menghadirkan sejumlah manfaat bagi para pekerja. Kristina (33), seorang karyawan swasta dan ibu rumah tangga di Tangerang Selatan, mengaku memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga selama WFH.
Tidak hanya dapat menyelesaikan pekerjaan kantor, ia juga dapat membantu anaknya melakukan kegiatan belajar dari rumah. Hal tersebut bahkan dapat dikerjakan sembari membereskan pekerjaan rumah tangga lainnya. Hal serupa dirasakan oleh Tunjung (43), pegawai BUMN di Purworejo yang juga seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak.
Lain lagi manfaat yang dirasakan Very (30), bapak muda yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, dengan sistem WFH ia dapat kembali ke kampung halamannya di Salatiga dengan tetap dapat menyelesaikan semua pekerjaan kantor.
Tingkat konsentrasi mereka pada pekerjaan menjadi berkurang. Bahkan, mereka harus bekerja hingga larut malam. Jam kerja yang tak terbatas itu kemudian menimbulkan stres.
Very mengaku, WFH membuatnya dapat menjalani sebuah kehidupan rumah tangga yang normal lantaran setiap hari dapat berkumpul dengan istri dan anak. Sebelum WFH, Very harus terpisah jarak dengan keluarga serta melakukan perjalanan jarak jauh dua minggu sekali, Jakarta-Salatiga, dan sebaliknya.
Sisi lain dari hal tersebut adalah biaya transportasi menjadi berkurang. Manfaat itu tak hanya dirasakan oleh seorang pekerja yang sudah berumah tangga. James (25), pekerja swasta di Jakarta Selatan yang belum berumah tangga, pun setuju dengan hal tersebut. Bahkan, James mengaku, ia tak harus memikirkan jarak tempuh ke kantor setiap harinya saat WFH.
Dengan demikian, para pekerja memiliki lebih banyak waktu untuk bekerja. Bahkan, para pekerja yang belum berumah tangga memiliki lebih banyak kesempatan untuk meningkatkan keahliannya.
Nungki (28), seorang dosen di Kota Semarang, mengaku dapat mengerjakan lebih banyak hal dalam waktu bersamaan. Sembari mengajar, ia juga dapat menjalankan studi doktoralnya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan sistem daring. Ia menilai dirinya menjadi lebih produktif selama WFH.
Damia (28), pegawai pemerintahan di Jakarta, juga mengaku memiliki lebih banyak waktu untuk menambah kemampuan berbahasa Korea.
Meski demikian, tak dapat dimungkiri bahwa sistem kerja WFH pun menghadirkan sejumlah tantangan. Bagi pekerja yang sudah berumah tangga, mereka cukup kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan urusan rumah tangga.
Tingkat konsentrasi mereka pada pekerjaan menjadi berkurang. Bahkan, mereka harus bekerja hingga larut malam. Jam kerja yang tak terbatas itu kemudian menimbulkan stres. Karenanya mereka memberikan apresiasi (self reward) kepada dirinya yang sudah bekerja keras meski menjadi boros, misalnya dengan belanja barang-barang kesukaan. Efek lebih boros saat WFH juga dirasakan Putra (33), karyawan swasta di Jakarta, terutama untuk urusan makan setiap harinya.
Pengeluaran yang lebih banyak juga diamini oleh semua pekerja lantaran harus menambah biaya internet untuk menjalankan pekerjaan secara daring. Biaya listrik di rumah ataupun kos juga meningkat lantaran penggunaan teknologi hingga pendingin ruangan setiap harinya.
Tren berlanjut
Terlepas dari tantangan yang harus dihadapi selama WFH, budaya kerja jarak jauh berpotensi terus berlanjut pada masa mendatang. Salah satu gejalanya adalah tren pekerja komuter yang sering ditemukan di kota-kota besar menunjukkan adanya penurunan. Merujuk publikasi Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia oleh BPS, jumlah pekerja komuter Indonesia sebanyak 7,34 juta orang pada Agustus 2021. Jumlah tersebut turun 0,67 juta orang dibandingkan dengan Februari 2021.
Penurunan terbesar pekerja yang secara rutin pergi pulang ke tempat bekerja di luar kabupaten/kota tempat tinggalnya pada hari yang sama ini terjadi di kota Manado yang mengalami penurunan 11,23 persen.
DKI Jakarta juga mengalami penurunan jumlah pekerja komuter di semua wilayah administrasinya. Penurunan terbanyak terjadi di Jakarta Pusat, sebesar 7,89 persen.
Sementara saat ini proporsi penduduk bekerja di Indonesia yang tinggal di perkotaan lebih banyak daripada di perdesaan. Dari 131,06 juta pekerja di Indonesia pada Februari 2021, sebanyak 54,2 persen tinggal di perkotaan. Dengan demikian, potensi tren bekerja jarak jauh dapat lebih besar. Apalagi, proporsi mereka didominasi oleh pekerja milenial yang juga mengapresiasi sistem kerja WFH saat ini.
Bagaimanapun, adaptasi menjadi penting untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kemungkinan yang terjadi, termasuk dalam hal bekerja.