Mencari dan Menanti Polisi Metropolitan Abad Ke-21
Enam pilar polisi abad ke-21 mencakup membangun kepercayaan publik, merefleksikan nilai masyarakat, menguasai teknologi dan media sosial, mereduksi kejahatan, berpendidikan, serta dijamin kesejahteraan dan keamanannya.
Oleh
neli triana
·4 menit baca
Bertahun-tahun lalu, perlindungan keselamatan warga perkotaan hanya fokus pada keamanan di tempat umum dan permukiman. Sekarang, di abad ke-21, ancaman terhadap keselamatan warga perkotaan begitu bervariasi, berkelindan dengan kompleksnya isu sosial ekonomi politik yang melibatkan kemajuan teknologi. Polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban mau tak mau harus lebih sensitif dan terbuka terhadap banyak opsi pendekatan demi mengayomi masyarakat.
Polisi modern dengan fokus menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, terutama di area perkotaan, muncul sekitar 200 tahun silam di Inggris. Pemerintah Kota London sejak 1829 menjalankan Metropolitan Police Act dengan mengembangkan organisasi polisi profesional. Polisi metropolitan London bekerja sesuai prinsip yang diajarkan Sir Robert Peel, yang kemudian disebut sebagai Bapak Polisi Modern.
Ada sembilan prinsip Peel yang kemudian diadopsi banyak negara dan kota di luar London. Salah satu prinsip mendasar adalah misi utama polisi mencegah kriminalitas di tengah masyarakat dan menjaga aturan atau hukum dipatuhi. Penggunaan kekuatan fisik dijadikan jalan terakhir setelah bujukan, nasihat, dan peringatan diberikan.
Ditanamkan bahwa polisi adalah anggota masyarakat yang dibayar untuk memberi perhatian penuh pada tugas-tugas, yang selama ini melekat sebagai kewajiban setiap warga negara, yaitu melindungi kepentingan publik. Polisi menunjukkan efektivitas kinerjanya melalui ketiadaan atau rendahnya peristiwa kejahatan, bukan melalui visibilitas tindakannya.
Dalam kesehariannya, polisi mengalokasikan waktu khusus untuk terjun langsung ke permukiman, fasilitas publik, dan sudut-sudut kota. Mereka berpatroli dengan berjalan kaki, bersepeda, atau berkuda. Di masa yang lebih maju, kendaraan bermotor lazim untuk patroli. Sistem dan teknologi dipakai untuk mengintensifkan kehadiran polisi di tengah masyarakat, misalnya layanan panggilan darurat hingga pemasangan kamera pemantau.
Di Indonesia, seperti dipaparkan dalam Sejarah Polri, konsep polisi modern dibawa Belanda di akhir abad ke-19 dan dikembangkan tahun 1897-1920 yang menjadi cikal bakal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Dalam perjalanannya, polisi di Indonesia turut terjun dalam pertahanan dan bela negara. Fungsi ganda itu muncul selama proses memperjuangkan kemerdekaan RI dan tahun-tahun setelah 1945 saat ancaman kembalinya kolonialisme dan disintegrasi.
Polisi menunjukkan efektivitas kinerjanya melalui tidak ada atau rendahnya kejadian kejahatan, bukan melalui visibilitas tindakannya.
Fungsi ganda itu berlanjut sampai ke era Orde Baru dengan masuknya polisi dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Baru setelah era Reformasi, Polri dan TNI menjadi dua lembaga terpisah. Hal ini memenuhi tuntutan masyarakat yang meminta Polri independen dan profesional, jauh dari intervensi pihak lain dalam penegakan hukum. Tugas dan fungsi Polri dikembalikan sesuai UUD 1945 Pasal 30 Ayat 4 yang berbunyi, Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Reformasi tugas dan fungsi Polri itu secara sederhana mencoba mengembalikan peran polisi sebagaimana prinsip Peel.
Namun, setelah sekian puluh tahun berperan ganda, polisi hasil reformasi tak semuanya bisa segera berubah selaras menjadi bagian masyarakat demi mengayomi sesama. Sering kali pendekatan represif diterapkan. Di sisi lain, pungutan liar dan suap menjadi praktik umum ketika berurusan dengan polisi. Rasa takut dan enggan berhubungan dengan polisi menghinggapi sebagian masyarakat.
Saat reformasi polisi masih berjalan setengah hati, berbagai kendala lain menghadang. Dari sisi jumlah saja, keberadaan polisi masih kurang dari rasio ideal yang dibutuhkan.
Lembaga dunia seperti UN Habitat merujuk pada Montreal di Kanada sebagai salah satu kota dengan rasio polisi dan populasi warga yang ideal. Di sana, sedikitnya ada 1 polisi untuk 500 orang. Di banyak kota di negara maju lain, rasio polisi dan warga bisa 1:300.
Polda Metro Jaya dengan sekitar 24.000 personel bertanggung jawab atas wilayah hukum yang mencakup DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan (Banten), serta Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi (Jawa Barat). Penduduk Jakarta pada 2020 mencapai 11 juta jiwa. Penduduk Tangerang Raya mencapai 7 juta jiwa dan Bekasi Raya sekitar 5 juta jiwa. Rasio polisi di aglomerasi ini mendekati 1:1.000 atau jauh dari ideal.
Menurut UN Habitat, rasio polisi dan penduduk yang belum ideal biasa terjadi di kota-kota di negara berpendapatan rendah hingga menengah. Selain jumlah, tantangan polisi makin berat karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia turut menghalangi adopsi ataupun implementasi kemajuan teknologi dalam operasionalisasi sehari-hari.
Terkait anggaran untuk polisi, pada 2022 dana penyelidikan/penyidikan sebesar Rp 5,29 triliun atau hanya 4,77 persen dari seluruh rencana anggaran Polri, yaitu Rp 111,02 triliun. Total anggaran Polri pada 2022 itu berkurang sekitar Rp 20 triliun dibandingkan dengan tahun 2021. Pengurangan anggaran adalah dampak dari pengetatan penggunaan keuangan negara di masa pandemi.
Ekses lain dari rasio polisi dan populasi warga yang tidak ideal serta minimnya anggaran adalah menjamurnya pasukan keamanan sipil yang muncul dan dibiayai kelompok-kelompok warga. Pasukan keamanan ini, misalnya, marak ditemukan di negara-negara di Amerika Selatan. Pada akhirnya, keamanan hanya dimiliki mereka yang mampu membayar mahal dan terkadang ini dikuasai oleh kelompok-kelompok penjahat.
Tantangan signifikan
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyatakan, kota-kota di negara berpenghasilan rendah dan menengah menghadapi tantangan keamanan publik yang signifikan. Pertumbuhan cepat penduduk, kelangkaan sumber daya pemerintah, pembangunan perkotaan yang tidak teratur, sejarah kepolisian yang kejam, dan kurangnya kepercayaan pada pemerintah merupakan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perluasan masalah kejahatan di banyak daerah perkotaan di seluruh dunia.
UNODC pun mendorong pemerintah pusat dan daerah proaktif menginisiasi upaya mempererat hubungan polisi dan lembaga pemerintah, serta komunitas-komunitas masyarakat agar dapat meningkatkan pengendalian ataupun pencegahan kejahatan urban.
Model kolaborasi tersebut merupakan pembaruan dari ide lama lebih dari dua dekade silam yang disebut community policing atau pemolisian masyarakat. Pemolisian masyarakat mempromosikan hubungan yang lebih erat antara polisi dan masyarakat untuk pencegahan kejahatan dan ketidakamanan yang lebih efektif. Selain itu, ada kemitraan dengan sesama kelompok masyarakat, termasuk anggota dewan lokal, asosiasi bisnis, kelompok warga, serikat pekerja, dan perencana kota.
Pemolisian masyarakat bekerja dengan pendekatan berbasis masyarakat dan berorientasi pada masalah-masalah tertentu. Bentuk patroli bersama di kawasan permukiman atau pusat bisnis termasuk dalam pendekatan yang pertama. Bekerja bersama akademisi, perencana kota, psikolog, dan masyarakat untuk mengatasi tawuran antarkampung, tren geng motor, sampai perdagangan anak ataupun orang dewasa untuk transaksi seksual maupun obat-obatan terlarang menjadi contoh untuk pendekatan kedua.
Di Jakarta, kolaborasi tersebut sudah berkali-kali diterapkan meskipun baru tataran percontohan. Beberapa tahun lalu, misalnya, ada kerja sama polisi dan akademisi untuk mencari akar masalah tawuran menerus di Johar Baru, Jakarta Pusat. Sayangnya, program itu berhenti begitu saja dan kini tawuran di kampung yang sama masih sesekali terjadi. Sementara tawuran serupa di lokasi lain tetap tidak teratasi.
Yang kemudian menjadi tren justru maraknya pembentukan tim-tim patroli malam di tingkat kepolisian resor (polres) atau di bawahnya. Setelah ada kasus satu anggota polisi merazia dan melanggar hak privasi korban, diikuti kejadian kesewenang-wenangan beberapa oknum polisi lain saat bertugas, Polri pun berbenah. Polri menindak tegas anggotanya yang bersalah dan terekspos ke publik, selain berjanji akan lebih humanis serta menaati hukum dalam menjalankan tugasnya.
Sudah memadai atau belum respons institusi penjaga keamanan dan ketertiban publik tersebut saat ini, memang masih terlalu dini untuk menilainya.
Namun, seperti dianjurkan oleh National League of Cities (NLC), selain prinsip Peel, polisi juga harus menerapkan enam pilar tambahan di abad ke-21. Keenam pilar tersebut adalah membangun kepercayaan publik, kebijakan dan pengawasan yang merefleksikan nilai masyarakat yang mereka layani, menguasai dan menggunakan teknologi maupun media sosial dengan bijak, mendukung community policing demi mereduksi kejahatan, pelatihan dan pendidikan wajib disediakan serta diikuti oleh setiap anggota polisi, serta ada kepastian jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi para petugas polisi itu sendiri.
Jika di Indonesia masih belum sempurna menerapkan prinsip Peel dan enam pilar polisi abad ke-21, penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang ideal itu pun masih dalam pencarian. Semoga publik tak terlalu lama menunggu kehadiran dan kiprah mereka demi kebaikan bersama.