Tak Tuntaskan Akar Masalah Pinjaman Daring, Pemerintah Digugat
Presiden hingga Otoritas Jasa Keuangan digugat koalisi masyarakat sipil karena belum ada regulasi yang melindungi hingga menjawab permasalahan pinjaman daring yang menjerat warga.
Oleh
FRANSISKUS WISHNU DHANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menggugat pemerintah supaya menuntaskan masalah pinjaman daring hingga ke akarnya. Gugatan 19 warga itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (12/11/2021).
Penggugat terdiri dari korban pinjaman daring, pegiat hak asasi manusia, pegiat hak perempuan dan anak, pendamping komunitas masyarakat miskin perkotaan, komunitas disabilitas, konfederasi buruh, tokoh agama, dan mahasiswa.
”Permasalahan pinjol sudah berlangsung sekian lama, banyak korban. Ada yang dilecehkan, berupaya bunuh diri, tetapi negara belum membuat aturan yang mampu menjawab permasalahan di tengah masyarakat,” kata Jenny Silvia Sirait dari tim kuasa hukum penggugat.
Penggugat meminta Presiden mengawasi kinerja lembaga yang menangani pinjaman daring, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatur mekanisme pendaftaran aplikasinya, Otoritas Jasa Keuangan mengatur mekanisme penyelenggaraannya, dan Dewan Perwakilan Rakyat mengawasi kinerja pemerintah.
Untuk itu, pemerintah wajib membuat regulasi yang mampu memberikan perlindungan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan mampu menjawab permasalahan pinjaman daring. Hal itu lantaran korban pinjaman daring mencakup pengguna layanan legal, ilegal, maupun mereka yang tak menggunakannya.
Jenny mengapresiasi sejumlah respons pemerintah, seperti layanan pengaduan oleh polisi serta penutupan layanan dan aplikasinya. Namun, respons itu ada ketika terjadi masalah. Padahal, harus ada upaya pencegahan sejak dini.
”Regulasi yang menjawab permasalahan belum hadir meskipun sudah banyak korban. Menutup satu layanan tak menyelesaikan akar masalah karena akan tumbuh layanan lainnya,” ujarnya.
Penggugat mencatat beberapa akar masalah pinjaman daring. Pertama, izin usaha yang belum jelas. Selama ini baru sebatas wajib mendaftar supaya bisa beroperasi.
Kedua, layanan dan perlindungan data pribadi belum terintegrasi sehingga banyak kasus kebocoran data hingga jual beli data. Padahal, akses data harus ada batasan hanya untuk mekanisme pinjam-meminjam.
Ketiga, tidak ada mekanisme baku perjanjian dan belum ada sanksi tegas agar pelanggaran tak berulang. Contohnya, biaya administrasi bisa sampai 30 persen dari nilai pinjaman dan bunga bisa sampai 4 persen per hari.
”Harus ada aturan tegas dan tindak pidana, termasuk perusahaan turut bertanggung jawab. Juga uji kelayakan, mekanisme pengaduan, dan sanksi jelas tentang izin usaha,” katanya.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menerima 7.200 pengaduan pinjaman daring dari surat elektronik, konsultasi, dan telepon. Hampir setiap hari ada aduan dalam tiga tahun terakhir. Dari ribuan pengaduan itu, setidaknya ada tujuh laporan bunuh diri karena tak tahan dengan penagihan pinjaman.
Pencegahan risiko
Pada Oktober 2021, Presiden Joko Widodo sudah meminta Otoritas Jasa Keuangan menjaga pertumbuhan industri jasa keuangan digital dengan menciptakan ekosistem pinjaman daring yang bertanggung jawab serta memiliki mitigasi risiko yang kuat. Sebab, pinjaman daring banyak menjerat dan merugikan masyarakat ekonomi bawah.
Kepala Polri meresponsnya dengan memberantas penyedia pinjaman daring yang kian merugikan masyarakat, terutama di masa pandemi Covid-19. Contohnya, penggerebekan PT ITN di Ruko Green Lake City, Tangerang, Banten, yang menjalankan 13 aplikasi pinjaman daring, terdiri dari 3 aplikasi legal dan 10 ilegal.
Polisi pun menggiatkan patroli siber, koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memberantas pinjaman daring ilegal.
Otoritas Jasa Keuangan melaporkan adanya 19.711 aduan pada 2019-2021. Dari jumlah itu, 47 persen kategori pelanggaran berat dan 52,97 persen pelanggaran ringan atau sedang.
Bentuk aduannya antara lain pencairan pinjaman tanpa persetujuan debitor, ancaman penyebaran data pribadi, teror dan intimidasi, serta penagihan dengan pelecehan seksual.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing menyebutkan, perusahaan pinjaman daring ilegal masih tetap eksis karena dari sudut pandang pelaku, ada kemudahan membuat situs atau aplikasi pinjaman daring serta mudah menawarkan bisnisnya kepada masyarakat.
Server aplikasi pinjaman daring ilegal yang dibuat para pelaku juga sering sulit diberantas karena lokasinya banyak yang berada di luar negeri. ”Ada sekitar 44 persen server itu di luar negeri. Ini yang kami dapat dari hasil pengujian sekitar 1.500 data untuk melihat lokasi server pinjaman daring ilegal,” ucapnya.
Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan bakal menata ulang ekosistem bisnis pinjaman daring, salah satunya dengan penyetaraan target bisnisnya dengan lembaga pembiayaan. Tujuannya, memastikan masyarakat tetap dapat mengakses secara mudah, cepat, suku bunga wajar, dan cara penagihan yang tidak melanggar hukum.