Polisi sejatinya tidak dapat bertindak di luar batas prosedur hanya demi mengundang penonton dan menjadi hiburan warga sesaat. Citra baik polisi perlu dibangun dengan integritas dan kewibawaan untuk bangun kepercayaan.
Oleh
STEFANUS ATO/ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Rencana memperkuat dan memperbaiki kelemahan tim patroli malam anggota Polri di wilayah hukum Polda Metro Jaya dinilai sudah tepat. Selama ini, sebagian anggota kepolisian yang berpatroli pada malam hari dinilai lebih mengutamakan pencitraan dan mengabaikan prosedur hukum, etika, dan nilai. Polisi seharusnya bekerja menjawab kebutuhan masyarakat bukan keinginan media massa.
Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Selasa (2/11/2021) sepakat memperkuat tim patroli malam di Ibu Kota dengan menambah lima tim patroli baru. Tim ini bakal memperkuat tim patroli yang sudah ada di berbagai polres wilayah hukum Polda Metro Jaya. Mereka bakal bekerja menjaga keamanan dan mencegah kejahatan di Ibu Kota mulai pukul 22.00 sampai pukul 05.00.
”Tim yang selama ini bermunculan dari masing-masing polres, khususnya tim patroli harus tampilan polisi yang berseragam. Cara bertindak mereka tidak harus lebay, tidak banyak bicara, tegas, tetapi humanis. Anggota tidak harus sampai kejar-kejaran bahkan sampai menembak di atas motor. Tidak seperti itu juga,” kata Direktur Samapta Polda Metro Jaya Komisaris Besar Gatot Haribowo, pada Selasa (2/11/2021) siang.
Kembali pada patroli yang biasa dari Satuan Sabhara yang memang secara ketentuan harus bekerja pada malam hari. Dan dengan begitu kemudian dihilangkan unsur gaya-gayan.
Gatot kembali menegaskan tujuan kehadiran tim patroli malam, yakni menjaga keamanan dan mencegah tindakan kriminalitas di Ibu Kota saat warga beristirahat. Polisi bekerja untuk melayani dan melindungi masyarakat bukan untuk terkenal apalagi menjadi figur publik.
”Kata Pak Kapolda (Metro Jaya), polisi bukan artis dan bukan untuk menjadi artis. Polisi tidak terkenal pun tidak masalah,” ucap Gatot.
Pakar kriminolog dan kepolisian Universitas Indonesia Adrianus Meliala, mengatakan, tim patroli malam dengan kendaraan roda dua dimulai sejak lima tahun lalu. Kehadiran tim ini saat itu bertujuan menghalau munculnya kelompok geng motor yang kian meresahkan masyarakat.
”Saat itu tren kejahatan jalanan belum sampai ke begal motor, masih geng motor. Kelihatannya waktu itu memang perlu dihadapi dengan satuan yang sama kecepatannya dengan geng motor. Penekanannya pada satuan-satuan bermotor agar cepat dan mobile di jalan raya,” kata Adrianus, melalui panggilan telepon, Selasa sore.
Aktivitas patroli bermotor ini dalam kegiatannya ada unsur ikutan berupa pencitraan atau gaya-gayaan. Faktor ini yang menjadi salah satu penyebab setiap polres kemudian berlomba-lomba membuat satuan patroli dengan atributnya masing-masing. Pencitraan juga muncul lantaran tingginya permintaan dari media televisi untuk merekam aktivitas tim patroli ketika bertugas.
Kehadiran polisi di layar kaca sebenarnya memiliki dampak positif. Sebab, kerja kepolisian pada malam hari terlihat oleh publik dan kian menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat. Warga Ibu Kota merasa dilindungi dan dijaga saat beristirahat.
”Itu efek kepercayaan sangat bagus. Orang makin percaya kepada polisi bahwa ketika kita tidur ada polisi yang bekerja,” kata Adrianus.
Namun, jika berkaca pada kasus Ajun Inspektur Polisi Dua Monang Parlindungan Ambarita bersama rekan-rekannya di tim patroli malam Raimas Backbone di Polres Jakarta Timur, kerja mereka mengutamakan tujuan daripada proses kerja. Hal ini pula yang menyebabkan tim tersebut kadang kala mengabaikan aspek prosedur dan etika saat berhadapan dengan masyrakat.
Situasi ini bisa dipahami lantaran tindakan mereka bakal menjual ketika ada drama-drama yang menarik. Program di layar kaca sering kali mengesampingkan aspek prosedur pemeriksaan, penggeledahan, dan penyitaan, dan penangkapan.
”Jadi, kesannya kita hanya percaya kalau yang namanya polisi adalah kerasnya saja. Padahal di situ ada ketentuan, ada larangan, ada etika, ada value. Itu yang tidak kelihatan,” kata Adrianus.
Rencana menata ulang tim patroli malam di wilayah hukum Polda Metro Jaya sudah tepat. Namun, rencana penyeragaman ini diharapkan tidak memunculkan gaya baru tim patroli.
”Tidak perlu ada satuan khusus untuk bekerja di malam hari. Kembali pada patroli yang biasa dari Satuan Sabhara yang memang secara ketentuan harus bekerja pada malam hari. Dan dengan begitu kemudian dihilangkan unsur gaya-gayan,” ucapnya.
Kepercayaan publik
Pembicaraan seputar profesionalitas polisi ketika bertugas baru-baru ini mengemuka sejak melambungnya tagar #PercumaLaporPolisi pada awal Oktober 2021 lalu. Sejak saat itu, warganet meresponsnya dengan berbagai pernyataan, keluhan, hingga berbagi pengalaman ketika berurusan dengan kepolisian.
Citra Polri di mata publik sebenarnya sangat tinggi. Dalam survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia pada 13-26 April 2021 lalu, sebanyak 78,7 persen responden menilai lembaga kepolisian memiliki citra baik.
Citra Polri cenderung lebih baik dibandingkan sejumlah lembaga negara lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (76,9 persen), kejaksaan (74,2 persen), dan Mahkamah Agung (73,5 persen).
Namun, sorotan kepada polisi terus berlanjut hingga menyeret prosedur kerja tim patroli malam Raimas Backbone dan Aipda Ambarita. Dalam suatu patroli yang ditayangkan di televisi, Ambarita melakukan prosedur pengecekan ponsel warga. Tidak hanya oleh pemilik ponsel, prosedur itu juga dinilai penonton melanggar privasi.
Oleh kepolisian, tindakan itu juga dinilai melanggar prosedur standar operasi (SOP) yang berbuah pada dimutasinya Ambarita. Sanksi itu juga dilakukan karena Ambarita dan timnya kerap mengabaikan SOP dan tidak menunjukkan kewibawaan polisi dalam patroli yang ditayangkan di media sosial mereka atau televisi.
Anggota Kompolnas Poengky Indarwati menilai patroli pada malam hari penting dan tetap dibutuhkan sebagai tindakan preventif untuk mencegah kejahatan. Penggunaan berbagai kanal media termasuk media sosial oleh anggota Polri juga sama sekali tidak menjadi persoalan selama mereka mengedepankan etika dan sopan santun.
”Edukasi melalui media sosial dengan menampilkan kesederhanaan dan jiwa melayani dari anggota Polri mampu meningkatkan kepercayaan publik pada aparat,” ujarnya.
Tetapi, tim patroli polisi perlu berbenah untuk meminimalkan kekerasan berlebihan serta pelanggaran lain ketika bertugas. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui penggunaan teknologi seperti pemasangan body camera dan dashboard camera.
Dengan demikian, polisi tidak dapat bertindak di luar batas prosedur hanya demi mengundang penonton, terlebih menjadi hiburan warga sesaat. Citra baik polisi perlu dibangun dengan integritas dan kewibawaan untuk menguatkan akar kepercayaan publik kepada kepolisian yang bertugas mengayomi masyarakat.