Pekerjaan Rumah Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga
pada 2020 atau tahun pertama pandemi, kasus kekerasan melonjak hampir dua kali lipat sampai 897 kasus. Kekerasan hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga ekonomi.
Pekerja rumah tangga masih menjadi sumber daya yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti di lingkungan penduduk urban. Tuntutan kesibukan hingga besarnya tanggungan pekerjaan rumah, didukung kemampuan finansial, menjadi alasan sebagian keluarga mencari tenaga pekerja rumah tangga atau PRT.
Warga Jakarta Timur, seperti Sari Veronica (28) dan pasangan yang sibuk bekerja, misalnya, menggunakan jasa PRT yang didapat dari sebuah yayasan penyalur jasa. Pegawai BUMN itu mengandalkan PRT dewasa untuk mengemban sejumlah tugas di rumah yang diramaikan dua anak.
PRT yang dipekerjakan ditugasi untuk menjaga anak, menidurkan, dan mengajari anak belajar. Tidak ketinggalan membersihkan pakaian dan rumah, hingga memasak setiap hari. Tenaga itu ia bayar dengan gaji yang menurut dia kompetitif, yaitu Rp 2,7 juta per bulan.
Ini belum termasuk tunjangan makan, vitamin dan obat-obatan, bahkan wi-fi, tunjangan hari raya (THR), serta ongkos pulang jika sudah bekerja lebih dari lima bulan. Bentuk komplemen itu tak jarang membuat PRT loyal kepadanya.
”Saya memperlakukan PRT saya seperti saudara sendiri. Saya tipe pemberi kerja yang penting anak tidak ditelantarkan, masalah kebersihan saya nomor sekiankan. Saya selalu memberikannya waktu untuk beristirahat pada siang hari dengan tidur bersama anak saya,” tuturnya.
Baca juga: Nasib PRT dari Reformasi Sampai Pandemi
Jika PRT-nya tidak bisa bekerja karena alasan sakit, Sari tidak keberatan untuk memberikannya waktu istirahat bahkan biaya untuk berobat jika diperlukan.
”Yang akan menggantikan sementara PRT saya saat sakit atau tidak bekerja ialah saya dan suami, kami akan tolong-menolong dalam menyelesaikan pekerjaan rumah dan menjaga anak saya dalam sementara waktu,” ujarnya.
Korban kekerasan
Kemewahan itu sayangnya tidak bisa dirasakan setiap orang yang dipekerjakan sebagai PRT. Sri Siti Marni pernah merasakan neraka kecil saat terjebak selama sembilan tahun di rumah mewah sebuah keluarga di daerah Matraman, Jakarta Timur.
Perempuan kelahiran 1994, yang biasa disapa Ani, itu bahkan pada awalnya tidak direkrut sebagai PRT ketika tiba di rumah itu saat berumur 11 tahun. Remaja asal Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu awalnya dijemput untuk pergi ke Ibu Kota oleh kakak ayahnya dan temannya dari Jakarta.
Berharap tinggal di tempat uaknya, Ani dititipkan kepada teman saudaranya yang bernama Musdalifah, mantan penyanyi dangdut yang dulu populer dengan nama Meta Hasan. Meta, yang asing bagi Ani, memintanya memanggilnya ”mama” dan menganggap keluarga Meta sebagai keluarga sendiri.
Selama kurang lebih delapan bulan, Ani diperlakukan bak anak. Permintaannya banyak yang dikabulkan, ia sering diajak jalan-jalan, bahkan tidur bersama dengan Meta. Meta pun ikut memberikan perhatian pada keluarga Ani di kampung dengan mengirim ”uang jajan” Rp 500.000 per bulan.
”Setelah itu setiap ada kesalahan sedikit dia sering mencubit atau memukul, lalu saya ternyata dijadikan pembantu bersama tiga orang lainnya yang masih kecil-kecil (di bawah umur),” katanya.
Ani pun terpaksa menerima tuntutan seperti PRT yang bertanggung jawab mengurus kebersihan rumah, memasak, dan lainnya. Hal itu ia kerjakan di bawah tekanan Meta yang sesekali mengancam akan memolisikannya atau membunuh dengan cara keji. Ani dan PRT lain juga kerap mendapat kekerasan setiap kali melakukan kesalahan.
”Masak kurang apa dipukul pakai gantungan baju sampai penyok, ada benda jatuh juga dipukul. Pernah juga saya disetrika, disiram air panas, disuruh makan kotoran kucing, dituduh berzinah, macam-macam,"” ungkap perempuan yang kini telah memiliki seorang anak.
Di tengah perlakuan yang melampaui batas kemanusiaan itu, Ani dan PRT lainnya tidak bisa berbuat banyak. Apalagi, perbuatan majikan mereka juga kerap didukung anggota keluarga lain, seperti empat anak Meta. Luka hingga cacat fisik hanya bisa mereka tahan sendiri.
Baca juga: Refleksi 17 Tahun RUU Perlindungan PRT
Sampai suatu saat, ia mengetahui tetangga mengendus kekerasan di rumah majikan Ani. Ketika warga dan polisi yang menyamar sebagai sipil datang ke rumah, ia dan teman-temannya disembunyikan. Ani pun sempat hendak kabur ketika dibawa ke rumah saudara Meta untuk diobati.
Meski sempat kembali dibuat babak belur oleh sang majikan, ia mendapatkan keberanian untuk kabur dari neraka kecil tersebut pada 2017. Ia lalu melapor ke kantor polisi dan segera direspons dengan penggerebekan di rumahnya. Tidak lama kemudian, pelaku kekerasan terhadap Ani dan teman-temannya diadili.
Sementara itu, Ani mendapat bantuan pemulihan dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Ia juga dibantu untuk mengejar pendidikan selama kurang lebih setahun. Setelah itu berhasil kembali membangun kepercayaan diri untuk kembali bekerja sebagai ahli terampil di salon kecantikan hingga 2019.
”Jangan sampai terjadi lagi kasus seperti Ani. Cukup Ani aja yang rasain perihnya, sakitnya pengalaman seperti itu,” ujar perempuan yang kini hanya ingin bisa membesarkan bayi tiga bulannya agar menjadi anak yang bernasib lebih baik darinya.
Sayangnya, masih ada orang lain yang dipekerjakan sebagai PRT yang bernasib lebih mengenaskan dari Ani. Tahun 2019, Linawati, seorang PRT berusia 20 tahun, tewas karena dianiaya majikan perempuan berinisial TVL di rumah di kawasan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara (Kompas.id, 21/5/2021).
Baca juga: Asisten Rumah Tangga Dianiaya hingga Tewas
Linawati tewas di toilet rumah majikannya dengan luka lebam di sekujur tubuh, rambut gundul, dan gigi rontok. Polisi menerima laporan dugaan penganiayaan itu ketika jenazah Linawati dibawa majikan laki-lakinya ke rumah duka. Dari situ, polisi menemukan bahwa korban meninggal karena sedang dihukum dengan tidak boleh keluar toilet selama lima hari tanpa diberi makan.
Korban menerima banyak bentuk kekerasan selama sebulan dari pelaku, seperti dipukul dengan cobek hingga disetrika. Motif penganiayaan diduga karena TVL kesal dengan perbuatan korban yang sering mengambil makanan dan uang receh secara diam-diam. Sementara itu, TLV tidak memenuhi hak Linawati yang saat itu sudah bekerja empat tahun, seperti gaji dan tunjangan lain.
Saat itu TLV dijadikan tersangka karena melanggar Pasal 44 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Jala PRT mencatat, kasus kekerasan terhadap PRT terus meningkat dari 302 kasus pada 2012, menjadi 467 kasus pada 2019. Adapun pada 2020 atau tahun pertama pandemi, kasus kekerasan melonjak hampir dua kali lipat sampai 897 kasus. Kekerasan hadir dalam berbagai bentuk, dari kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.
Kerentanan ini tinggi terjadi di kota besar. Data Jala PRT pada 2010 menunjukkan, Jakarta paling banyak mempekerjakan PRT dengan jumlah 1,2 juta orang, disusul Surabaya 500.000 orang, dan Medan 200.000 orang.
Lembaga itu menganalisis, kekerasan mudah dialami PRT karena mereka bekerja di wilayah rumah tangga yang dianggap privat dan tidak mendapat kontrol dari lingkungan atau pemerintah. Sumber daya yang dipekerjakan sebagai PRT juga banyak yang minim akses informasi, pendidikan, dan pelatihan sebagai pekerja.
PRT juga rentan karena tidak ada pengakuan dan perlindungan sebagai pekerja. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya peraturan perundangan yang jelas, tegas, dan mengikat. Contoh, PRT tidak diakomodirasi dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT pun tidak mengikat dan lemah. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang bisa dipakai untuk menindak kekerasan terhadap PRT, juga sayangnya tidak mengatur standar normatif ketenagakerjaan.
Mayoritas PRT belum terorganisasi atau berserikat sehingga tidak ada wadah pendampingan dan pembelaan terhadap PRT yang berkasus. Oleh karena itu, negara dinilai wajib menyediakan payung hukum dalam bentuk UU Ketenagakerjaan ataupun UU Perlindungan PRT.
Sementara itu, sejak 2004 pemerintah sudah berinisiatif membuat Rancangan UU (RUU) Perlindungan PRT. Namun, selama bertahun-tahun aturan itu hanya beberapa kali masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) dan tidak menjadi prioritas untuk dibahas dan disahkan oleh DPR.
Tahun 2021, RUU Perlindungan PRT kembali masuk dalam daftar prolegnas prioritas. Pengesahan aturan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pasalnya, UU tersebut dapat dijadikan payung hukum untuk melindungi kepentingan relasi antara PRT dan pemberi kerja, serta meminimalisasi penyalahgunaan agen-agen penyedia PRT.
Dengan demikian, PRT dapat menjadi tenaga kerja yang layak dan terlindungi di bawah payung hukum, dan tentunya bisa lebih dimanusiakan oleh pekerjanya.