Perwakilan warga korban penggusuran proyek Rusun Petamburan mengadukan Gubernur DKI Jakarta kepada Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya. Gubernur diadukan karena tidak menjalankan utusan pengadilan.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga korban penggusuran proyek Rusun Petamburan mengadukan Gubernur DKI Jakarta kepada Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya. Warga mengadu karena Gubernur DKI Jakarta tidak kunjung membayar ganti rugi dan memberikan unit rusun sesuai janjinya sebelum penggusuran.
Charlie Albajili, pengacara publik LBH Jakarta yang mendampingi warga dalam pengaduan ke Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, Kamis (28/10/2021), menjelaskan, pada Rabu (27/10/2021), perwakilan warga Rusunami Petamburan yang memenangi gugatan terhadap Pemprov DKI Jakarta mengadukan Gubernur DKI Jakarta kepada Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya.
Gubernur DKI Jakarta diadukan karena melakukan malaadministrasi, yakni tidak menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut memerintahkan Pemprov DKI membayar ganti rugi kepada 473 keluarga di Petamburan sebesar Rp 4,73 miliar dan memberikan unit rumah susun sesuai dengan janjinya sebelum penggusuran.
Pengaduan ini bermula dari pembangunan rumah susun di wilayah Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada tahun 1997. Sebanyak 473 keluarga warga Rukun Warga (RW) 009 Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, digusur Pemprov DKI Jakarta.
Dalam pelaksanaannya, jelas Charlie, Pemprov DKI melanggar hukum karena melakukan pembebasan tanah sepihak sehingga relokasi tertunda hingga lima tahun karena molornya pembangunan rumah susun.
Warga kemudian menggugat Pemprov DKI yang kemudian dikabulkan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 107/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst tanggal 10 Desember 2003. Putusan tersebut dikuatkan melalui Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 377/Pdt/2004/PT.DKI tanggal 23 Desember 2004 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2409/KPDT/2005 tanggal 26 Juni 2006.
Langkah warga meminta haknya sangat sulit terwujud karena belum ada itikad dari Pemprov DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA yang kemudian ditolak melalui Putusan MA Nomor 700/PK/PDT/2014. Pemprov juga mengajukan permohonan status non-executable kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi kembali ditolak.
Pada 15 Januari 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan janjinya untuk mematuhi isi putusan dan membayar uang ganti rugi sebesar Rp 4,73 miliar kepada warga. Namun, janji tersebut belum juga terealisasi.
Hingga saat ini, warga sudah berkali-kali mengupayakan agar eksekusi putusan tersebut dapat dilakukan, mulai dari menyampaikan permohonan penetapan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai dengan audiensi bersama berbagai instansi terkait.
”Berbagai upaya sudah kami lakukan. Namun, hingga saat ini belum juga ada itikad baik dari Pemprov DKI untuk menunaikan kewajibannya berdasarkan Putusan Pengadilan.” ujar Masri Rizal, perwakilan warga korban penggusuran rumah susun Petamburan.
Menurut Charlie, tidak ada alasan Pemprov DKI tidak mengeksekusi putusan dan memulihkan hak warga. ”Apa yang dilakukan Pemprov DKI adalah malaadministrasi dan melanggar hak warga mendapatkan pemulihan atas pelanggaran jaminan tempat tinggal yang layak yang telah dialami,” ujar Charlie.
Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, menjelaskan, Ombudsman Jakarta Raya akan memanggil Biro Hukum Pemprov DKI dan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta untuk mengetahui persoalan keengganan mereka melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut sebagai bagian dari penghormatan Pemprov DKI atas putusan pengadilan.
”Tanggal pastinya akan kita infokan lebih lanjut,” jelas Teguh.
Secara terpisah, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta Sarjoko melalui keterangan tertulis menyampaikan, Pemprov DKI berkomitmen untuk selalu menjunjung tinggi hukum. Dalam menanggapi berbagai pemberitaan mengenai warga Rusun Petamburan yang mengadukan Pemprov DKI Jakarta ke Ombudsman mengenai ganti rugi, Pemprov DKI menegaskan selalu mematuhi dan menjalankan putusan Pengadilan.
”Tidak benar Pemprov DKI Jakarta tidak serius untuk menjalankan putusan Pengadilan. Pemprov DKI Jakarta mempunyai komitmen untuk segera membayarkan ganti rugi kepada warga,” kata Sarjoko.
Sarjoko menceritakan, permasalahan yang terjadi di Rusun Petamburan bukanlah permasalahan terkait ganti rugi atas tanah yang menjadi lokasi pembangunan rusun. Permasalahan yang terjadi adalah terkait ganti rugi atau kompensasi biaya sewa rumah pada saat rusun dibangun.
”Awalnya, kepada warga diberikan biaya kontrak rumah selama satu tahun. Tetapi ternyata pembangunan tersebut berlangsung selama lima tahun yang diakibatkan oleh kondisi keuangan Pemprov DKI Jakarta pada saat krisis moneter tahun 1998,” terangnya.
Kemudian, permasalahan tersebut digugat secara class action ke Pengadilan dan berdasarkan Putusan MA Nomor 700/PK/PDT/2014 tanggal 19 Mei 2015 Pemprov DKI Jakarta dihukum untuk membayar ganti rugi. Putusan pengadilan menyebutkan, Gubernur DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Pusat, dan Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta membayar ganti rugi kepada 473 warga sebesar Rp 4,73 miliar.
”Bukti keseriusan kami menjalani putusan pengadilan adalah langsung menganggarkan dana ganti rugi pada tahun anggaran 2015 dalam APBD Dinas Perumahan. Namun, anggaran ini tidak dapat direalisasikan karena warga yang menjadi penggugat sebanyak 473 warga, sebagian besar sudah tidak bertempat tinggal sana,” tutur Sarjoko.
Sarjoko menambahkan, tahun 2019, DPRKP DKI Jakarta mengadakan pendataan pemilik Rusun Petamburan dan sosialisasi pemberian ganti rugi sesuai Putusan MA Nomor 700/PK/PDT/2014 tanggal 19 Mei 2015. Sosialisasi ini dilakukan di aula masjid Rusun Petamburan.
”Namun, dari pendataan dan sosialisasi tersebut ditemukan fakta bahwa sebagian besar warga yang menggugat sudah tidak bertempat tinggal di sana lagi. Bahkan, sebagian besar warga sudah menjual unitnya kepada orang lain tanpa melakukan kewajiban pembayaran kepada Pemprov DKI Jakarta,” tuturnya.
Akibatnya, Pemprov DKI sulit melakukan verifikasi terhadap warga yang akan menerima ganti rugi tersebut. Padahal, verifikasi diperlukan untuk menjamin pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan dan mencegah pemberian ganti rugi kepada orang yang tidak berhak.