Tilang atau Denda bagi Mobil dan Sepeda Motor Tak Lulus Uji Emisi
Langkah itu menjadi salah satu upaya DKI Jakarta memperbaiki kualitas udara yang sering kali ada dalam kategori buruk.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta memastikan motor dan mobil yang tidak lulus uji emisi akan efektif dikenai sanksi di kawasan DKI Jakarta. Langkah itu upaya menurunkan sumbangan emisi dari kendaraan bermotor yang merupakan sumber utama polusi udara di DKI Jakarta.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto, dalam acara apel persiapan dan giat pelaksanaan penegakan hukum (tilang) kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi gas buang, Selasa (26/10/2021), menjelaskan, langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewajibkan seluruh kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta wajib uji emisi dan lulus memenuhi baku mutu emisi menjadi hal yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kualitas udara di Ibu Kota.
Menurut rencana, sanksi tilang dan denda akan dimulai 13 November 2021. Seluruh kendaraan bermotor atau mobil berusia di atas tiga tahun wajib ikut uji emisi dan lulus uji emisi. Yang tidak melakukan atau gagal uji emisi terancam denda Rp 250.000 untuk sepeda motor dan Rp 500.000 untuk mobil.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur sanksi bagi kendaraan yang gas buangnya tidak memenuhi baku mutu sejak 12 tahun lalu. ”Sudah saatnya hukum tersebut kita tegakkan demi kepentingan bersama mewujudkan udara bersih Ibu kota,” tegasnya.
Menurut Asep, hal itu sejalan dengan tuntutan citizen lawsuit yang dalam amar putusannya memerintahkan menjatuhkan sanksi bagi sumber bergerak, yakni kendaraan bermotor yang mencemari udara atau tidak lulus uji emisi.
Asep Kuswanto mengakui, penegakan hukum seharusnya berjalan sejak awal tahun 2021 saat Pergub Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor berlaku efektif. ”Namun, karena pandemi Covid-19, penegakan hukum terhadap kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi sempat ditunda,” ucapnya.
Kegiatan ini, jelas Asep, merupakan kelanjutan dari sosialisasi uji emisi yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun untuk penegakan hukum secara tegas berupa tilang, nantinya dilakukan secara bertahap oleh pihak kepolisian.
Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab meningkatnya kemacetan dan pencemaran udara di Jakarta. Jumlah emisi yang dikeluarkan kendaraan berupa karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NO), dan debu.
Berdasarkan penghitungan inventarisasi emisi polusi udara yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bekerja sama dengan Vital Strategies, terungkap sumber polusi terbesar di Ibu Kota adalah dari sektor transportasi untuk polutan PM 2.5, NOx, dan CO. Sementara kontributor kedua adalah industri pengolahan, terutama untuk polutan SO2.
Kajian yang dilakukan pada 2020 ini bertujuan mengukur kontributor emisi terbesar di Jakarta sebagai landasan pembuatan kebijakan berkaitan polusi udara di Jakarta. Hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian di DKI Jakarta sehingga berpotensi meningkatkan polusi udara.
Kajian menggunakan data tahun 2018 ini secara keseluruhan mencakup sektor transportasi, industri pengolahan, industri energi, residensial, dan konstruksi.
Temuan utama dari kajian tersebut adalah sektor transportasi yang merupakan sumber utama polusi udara, terutama polutan NOx (72,40 persen), CO (96,36 persen), PM10 (57,99 persen), dan PM2.5 (67,03 persen). Sementara sektor industri pengolahan menjadi sumber polusi terbesar untuk polutan SO2 (61,96 persen) dan kontributor terbesar kedua untuk NOx (11,49 persen), PM10 (33,9 persen), dan PM 2.5 (26,81 persen).
Temuan tersebut, menurut Asep, konsisten dengan beberapa kajian yang dilakukan Prof Puji Lestari dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2019. Kajian itu mengungkapkan bahwa sektor transportasi menjadi kontributor terbesar untuk polutan CO (93 persen), NOx (57 persen), dan PM2.5 (46 persen). Pada kajian tersebut juga diungkapkan bahwa industri pengolahan menjadi kontributor utama untuk polutan SO2 (43 persen) dan kontributor terbesar kedua untuk transportasi (43 persen).
”Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengajak masyarakat pemilik kendaraan bermotor untuk turut serta menjaga kualitas udara Jakarta dengan melakukan pemeliharaan kendaraan secara rutin dan melakukan uji emisi kendaraan bermotor secara berkala,” kata Asep.
Secara terpisah, Asisten Pemerintahan Sekda Provinsi DKI Jakarta Sigit Wijatmoko dalam rilis resmi Pemprov DKI, Sabtu (23/10/2021), yang menjawab catatan merah LBH DKI Jakarta atas empat tahun kepemimpinan Anies Baswedan menjelaskan, pengendalian kualitas udara menjadi salah satu kegiatan strategis Pemprov DKI Jakarta. Itu juga diatur dalam Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
Melalui Ingub No 66/2019 itu, ujar Sigit, ada tujuh rencana aksi yang diatur, yaitu peremajaan bus kecil, sedang dan besar, di mana tidak diperbolehkan lagi angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun untuk beroperasi di Jakarta; adanya rekayasa lalu lintas melalui ganjil genap, penerapan ERP (electronic road pricing) dan tarif parkir; melakukan uji emisi; migrasi ke transportasi umum; inspeksi setiap enam bulan sekali dan memperketat pengendalian polutan pada cerobong industri aktif; memasifkan penghijauan; serta mendorong penggunaan energi terbarukan.
Pemprov DKI, jelas Sigit, saat ini juga sedang menyusun Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara (GDPPU) sebagai dokumen strategis dan peta jalan pengendalian kualitas udara. Hal ini sebagai tindak lanjut putusan pengadilan atas gugatan warga negara terhadap kualitas udara di Jakarta.