Kembali ke GBK
Yang bersepatu olahraga, bersandal jepit, hingga bersepatu hak tinggi meramaikan kembali Gelora Bung Karno. Mereka mewakili kaum urban yang kian menyadari pentingnya taman dan hutan kota di masa tak menentu ini.
Kawasan Gelora Bung Karno alias GBK kembali semarak. Siang itu, sejumlah pengunjung turun dari kendaraannya di area parkir di sekitar Patung Ir Soekarno, tak jauh dari akses Pintu Satu. Mereka tampak modis dengan pakaian olahraga bermerek. Di salah satu mobil, dua perempuan tampak memastikan riasan wajah dan membenahi tatanan rambutnya sebelum melangkahkan kaki ke arah Hutan Kota GBK.
Di sana, rumput hijau terhampar. Rindang pepohonan menciptakan tempat-tempat teduh yang disambut riang para pemburu ”leyeh-leyeh” di jantung Ibu Kota. Tikar-tikar digelar, bekal makanan dan minuman siap disantap. Ada yang memasang hammock dankursi-kusi lipat. Layaknya kamping, hanya saja minus tenda.
Di antara mereka yang berpeluh karena gerak badan dan yang santai serasa piknik, ada pula yang mengenakan outfit model terkini, menawan, dan aroma wangi. Melangkah hati-hati dengan hak tinggi runcingnya, sejumlah model beraksi sesuai dengan arahan fotografer. Berlatar belakang rindang tajuk pohon, patung Arjuna, atau ikon-ikon GBK lain, pose demi pose diabadikan. Sekadar untuk mengisi konten media sosial pribadi atau keperluan lain yang lebih profesional, latar GBK tampaknya cukup ”menjual”.
Di GBK, para pengunjung dengan bermacam tujuan memang bisa terpuaskan. Terlebih seusai revitalisasi untuk Asian Games 2018, GBK kini makin tertata dan menyenangkan untuk dijelajahi. Kamar kecil dan tempat cuci tangan tersebar di banyak lokasi. Ada tempat ibadah dan sentra kios makanan. Area parkir kendaraan bermotor di sana-sini. Akses angkutan umum, seperti MRT dan Transjakarta, pun ada. Di luar Taman Kota GBK, masih ada ruang hijau lain yang asyik dan menyenangkan untuk dijelajahi, baik dengan jalan kaki maupun bersepeda.
Dari pagi hingga malam, GBK tak pernah sepi. Seperti siang itu yang bertepatan dengan libur tanggal merah di tengah pekan—bersamaan dimulainya pelonggaran berbagai kegiatan publik di masa pandemi—suasana rileks tetapi semarak mengakrabi GBK. Setiap beberapa menit, pengeras suara di penjuru GBK mengingatkan pengunjung untuk tetap menjaga jarak dan mengenakan masker dengan benar.
GBK termasuk kawasan ruang terbuka hijau (RTH) yang pertama dibuka sejak gelombang dua pandemi melanda Indonesia mulai Mei lalu. Anak-anak di bawah 12 tahun pun kini sudah bisa menikmati GBK meski belum bisa masuk ke area lingkar stadion utama.
Mungkin pengguna taman kota di masa sebelum pandemi kini makin mengenali berbagai manfaat RTH dan memandangnya sebagai sumber daya kesehatan yang penting di masa-masa penuh tantangan kali ini.
Pembukaan GBK menjadi oase bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Terlebih bagi mereka yang memahami pentingnya RTH pada masa pandemi. Antusiasme warga merumput kembali di area pusat venue olahraga nasional yang juga RTH seluas lebih dari 130 hektar di bawah pengelolaan pemerintah pusat itu sedikit banyak mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bertindak serupa. Pada Sabtu (23/10/2021), 59 RTH yang dikelola DKI menyusul dibuka untuk umum.
Sebagian yang dibuka hari ini diantararanya Lapangan Banteng, Taman Menteng, Hutan Kota Penjaringan, Taman Kalijodo, juga Taman Margasatwa Ragunan. Kesemuanya itu hanya sebagian kecil dari ruang hijau publik yang ada di Jakarta. Masih banyak taman yang hingga kini belum kembali dioperasikan. Merujuk dari Jakarta Open Data, ada 3.044 RTH di Ibu Kota dengan variasi luas di bawah 100 meter persegi hingga ratusan hektar.
Semua RTH itu ternyata baru sekitar kurang dari 10 persen luas 661,5 kilometer persegi luas DKI. Angka luasan yang masih jauh dari target 30 persen RTH yang dibutuhkan suatu kota sehat.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah membuka ruang hijau publik perkotaan yang jauh lebih terlambat dibandingkan dengan pembukaan pusat perbelanjaan modern dan bioskop ini sebenarnya mengherankan. Pemerintah beralasan, pembukaan mal dan bioskop demi mengungkit pemulihan perekonomian dan mewadahi warga yang butuh hiburan sebagai pelepas stres. Anehnya, pembukaan fasilitas hiburan gratis di ruang terbuka nan luas itu justru bukan prioritas.
Boleh jadi, pemerintah tidak percaya diri bakal mampu memobilisasi petugas serta peralatan yang diperlukan demi memastikan pengunjung di taman kota menaati protokol kesehatan seperti layaknya di mal. Jika asumsi ini benar, sungguh disayangkan. Program pembukaan RTH seharusnya menjadi bagian dari kebijakan dan anggaran penanganan Covid-19.
Baca juga: Dulu, Kini, dan Masa Depan Anak-anak Perempuan di Belantara Kota
Dari berbagai studi, seperti pernah diulas di Kompas.id, area hijau perkotaan yang bebas diakses berbagai kalangan masyarakat punya peran vital sebagai saluran warga melepas tekanan akibat berbagai pembatasan kegiatan selama pandemi ataupun saat masa pemulihan kelak. Menghirup udara segar di antara teduhnya pepohonan saja sudah membantu mengurangi stres.
Berinteraksi atau sekadar menyadari kehadiran sesama dengan tetap saling berjarak dan bermasker juga menggerus perasaan terkungkung yang menyergap sebagian orang selama pembatasan ketat sebelumnya. Berkegiatan di ruang terbuka hijau, termasuk berolahraga rutin, juga berdampak pada kebugaran diri yang berarti meningkatkan imun tubuh.
Akan tetapi, seperti halnya pemerintah, tak semua kaum urban memahami arti penting RTH, baik sebelum maupun saat pagebluk ini. Hidup di perkotaan berarti menghadapi kepadatan penduduk dan lahan yang lebih banyak terpakai untuk bangunan. Tidak banyak warga kota yang memiliki halaman luas di rumah. Oleh karena itu, keberadaan ruang-ruang terbuka hijau yang terakses sangatlah berguna. Dari fungsinya yang paling sederhana, seperti membuang kepenatan warga, tempat perjumpaan manusia kota, dan mengendurkan ketegangan sosial, hingga paru-paru kota.
Kala wabah global mendera, peran sosial RTH semakin vital. Covid-19 memukul semua lini dan membuat sebagian masyarakat terpuruk. Kesenjangan si kaya dan si miskin kian lebar dan dalam. Di taman-taman kota, seperti GBK-lah, siapa pun mereka saling berbagi fasilitas publik yang disediakan pemerintah. Di sana, keindahan dan kemajuan kota terasa menjadi milik bersama. Laporan The Conversation, misalnya, menegaskan fungsi taman kota dari sisi keadilan sosial dan kesehatan publik.
Baca juga: Tawaran Legit Kota Donat Amsterdam
Sayangnya, pengetahuan akan hak sebagai warga kota itu belum dimiliki semua kalangan. Belum semua warga mengakrabi taman-taman kotanya. Hal ini juga terjadi di kota-kota di negara lain, bahkan negara maju sekelas Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Hasil riset Lincoln R Larson bersama koleganya di AS yang diterbitkan di laman Frontiers in Sustainable Cities menemukan, orang yang sering mengunjungi taman kota sebelum pandemi menjadi 23 kali lebih mungkin meningkatkan penggunaan taman selama Covid-19. Kesimpulan itu dari hasil membandingkan dengan rata-rata jawaban responden yang tidak pernah menggunakan taman sebelum Covid-19.
”Mungkin pengguna taman kota di masa sebelum pandemi semakin mengenali berbagai manfaat RTH dan memandangnya sebagai sumber daya kesehatan penting di masa-masa penuh tantangan kali ini,” tulis Larson dan tim dalam jurnal mereka.
Fenomena lain terkait kemungkinan bertambahnya waktu senggang seiring penutupan tempat kerja dan sekolah. Kondisi ini menciptakan lebih banyak kesempatan penggemar rekreasi luar ruang berpenghasilan tinggi, yang cenderung sering mengunjungi taman sebelum pandemi, mengejar kegiatan yang mereka sukai di ruang publik perkotaan.
Survei pengunjung taman
Riset tim Larson turut menemukan bahwa hanya 1 persen responden survei di seluruh Negara Bagian North Carolina, Amerika Serikat, yang baru mulai mengunjungi taman selama Covid-19. Temuan ini meragukan klaim bahwa pandemi memperluas daya tarik taman publik di seluruh populasi masyarakat urban.
Larson dan timnya juga menyinggung hasil riset peneliti dari berbagai kawasan selain North Carolina dan di luar AS yang menemukan hal serupa. Bahkan, ada kecenderungan penurunan penggunaan taman kota di komunitas yang rentan secara sosial.
Baca juga: Jeratan Utang ”Squid Game” Rumah Tangga Perkotaan
Jika melihat Jakarta, meski belum ada riset tersendiri, kunjungan ke taman kota di dekat permukiman warga dipastikan berkurang karena semua RTH ditutup beberapa bulan terakhir. Penutupan ini untuk menghalau kerumunan yang diyakini berisiko memunculkan ”kluster” penularan Covid-19. Akan tetapi, dari pemberitaan di Kompas dan Kompas.id, kerumunan warga akhirnya tersebar di internal kawasan permukiman itu sendiri.
Patut menjadi evaluasi di kemudian hari terkait efektif tidaknya penutupan RTH yang berada di dekat atau di tengah permukiman. Dilihat sebagai bagian dari kanal pelepas kepenatan warga, RTH di dekat permukiman sepatutnya tidak seharusnya ditutup. RTH bukan bagian dari jalur sibuk lalu lintas warga dari daerah sehingga risikonya sebagai pusat penyebaran SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 pun kecil. Mengelola taman dengan tetap membukanya untuk warga setempat diiringi protokol kesehatan ketat malah membantu meringankan beban warga.
Sebelumnya, dari pengalaman Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Tokyo, Jepang, Alinda FM Zain, seperti dikutip dari Kompas.id, diketahui bahwa di Jepang, taman di permukiman tetap dibuka selama pandemi. Bahkan, anak-anak dapat belajar dan beraktivitas di taman tersebut setiap hari selama sekolah ditutup. Pengawasan orangtua dan institusi pemerintah di tingkat permukiman pun dilakukan.
Dari euforia kembali ke GBK, bisa muncul banyak refleksi dan terobosan bagaimana mengelola ruang publik di masa pandemi. Fasilitas umum yang berfungsi baik menjadi pilar utama memulihkan masyarakat dari dampak bencana global ini. Normal baru di era Covid-19 dan setelahnya pun diyakini tak tercipta begitu saja, tetapi karena cepat belajar dari situasi atau membandingkannya dengan kota lain, termasuk dari negara lain.
Baca juga: Di Sini Parasetamol, di Sana ”Fatberg”