Rapor Merah dari LBH Jakarta untuk Empat Tahun Pengelolaan Jakarta
LBH Jakarta memberikan rapor merah atas kinerja Anies dan pemenuhan janji kampanye. Pemprov DKI Jakarta menerima kritik dan masukan tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Sepuluh isu pengelolaan Ibu Kota menjadi sorotan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sorotan itu bersamaan dengan kepemimpinan Anies Baswedan sebagai gubernur yang memasuki tahun keempat.
Sorotan itu ditegaskan dalam kertas posisi bertajuk ”Rapor Merah 4 Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan di Ibu Kota”. Isinya merupakan refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun terakhir. ”Ini berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta,” kata pengacara LBH Jakarta, Charlie Abajili, di Pendopo Balai Kota DKI, Senin (18/10/2021), saat hendak menyerahkan rapor kertas posisi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Sorotan pertama adalah buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi
baku mutu udara ambien nasional (BMUAN) yang disebabkan abainya Pemprov pada langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan.
Baca juga : Antisipasi Banjir Jakarta Belum Menyeluruh
Isu kedua, LBH menyoroti sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air. Permasalahan ini utamanya ditemui di wilayah pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu. Selain akses yang sulit, kualitas air di DKI Jakarta kian hari juga kian buruk, dan pasokan air pun kerap terhambat akibat kecilnya daya jangkau air. Akibatnya, air tidak layak digunakan atau dikonsumsi masyarakat.
Isu ketiga adalah penanganan banjir yang belum mengakar pada beberapa penyebab banjir. Banjir Jakarta, ujar Charlie, sebenarnya bukan hanya satu tipe. Namun, Pemprov DKI masih menyikapinya sebagai banjir karena luapan sungai saja sehingga fokus penanganan ada pada aliran sungai di wilayah Jakarta. Padahal, ada persoalan lintas geografis.
Baca juga : Polusi Udara di Jakarta Masih Lampaui Baku Mutu Nasional
Jeanny Silvia Sari Sirait, pengacara LBH yang lain, menambahkan, isu keempat adalah penataan kampung kota yang belum partisipatif. Community Action Plan (CAP) merupakan rencana aksi penataan Kampung Kota dengan pendekatan partisipasi warga.
Rencana aksi ini salah satu dari 23 janji kampanye Anies Baswedan saat menjadi kontestan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Salah satu contoh penerapan penataan Kampung Kota dengan menggunakan pendekatan CAP adalah Kampung Akuarium.
Namun, penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium. ”Betul memang dibangun kembali, tapi dijadikan rusunawa. Warga mesti sewa, dipresentasikan selama lima tahun. Itu tidak menjamin keamanan bermukim orang di sana, lima tahun itu pendek sekali,” kata Jeanny.
Isu kelima adalah ketidakseriusan Pemprov DKI Jakarta memperluas akses terhadap bantuan hukum. Itu dapat dilihat dengan kekosongan aturan mengenai bantuan hukum pada level peraturan daerah di DKI Jakarta.
Kekosongan aturan ini melahirkan berbagai dampak, seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas, dan buta hukum.
Rumah awalnya diperuntukkan bagi warga berpenghasilan Rp 4 juta hingga Rp 7 juta, yang diubah menjadi strata pendapatan Rp 14 juta.
Isu keenam, sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta. Pada awal masa kepemimpinannya, Anies mengeluarkan kebijakan penyediaan rumah uang muka atau DP nol persen dengan target pembangunan sebanyak 232.214 unit. Namun, target itu lalu dipangkas tajam menjadi 10.000 unit. Rumah awalnya diperuntukkan bagi warga berpenghasilan Rp 4 juta hingga Rp 7 juta, yang diubah menjadi strata pendapatan Rp 14 juta.
”Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukkan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji
politiknya semasa kampanye,” kata Charlie.
Baca juga : KPK Menahan Lagi Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah Munjul, Dugaan Keterlibatan Gubernur DKI Didalami
Belum adanya bentuk intervensi signifikan dari Pemprov DKI Jakarta terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi catatan merah ketujuh LBH Jakarta.
Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria. Alih-alih menetapkan kebijakan yang menempatkan warga pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai aktor utama, draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov DKI justru memuat ketentuan yang berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem serta perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.
Lalu, penanganan pandemi yang masih setengah hati menjadi catatan merah kedelapan LBH. Sebagaimana diketahui, wilayah DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19. ”Untuk itu, diperlukan bentuk penanganan yang tepat guna dan tepat sasaran,” lanjutnya.
Pemprov DKI Jakarta juga dinilai cenderung nekat melakukan pelonggaran yang terlalu dini dengan pembukaan mal pada Agustus 2021, yang belakangan telah mengizinkan anak di bawah 12 tahun, hingga pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) yang dilakukan terburu-buru tanpa syarat selesainya vaksinasi dan positivity rate Jakarta masih di atas 5 persen.
Lihat juga : Lebih dari 1.500 Madrasah dan Sekolah di Jakarta Gelar PTM Terbatas
Hal ini diperburuk lemahnya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan, dan pendidikan. Itu terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti. Pada situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI belum memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi.
Kesembilan, lanjut Charlie, adalah penggusuran paksa yang masih menghantui warga Jakarta. Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif hak asasi manusia.
Peraturan Gubernur DKI Nomor 207 Tahun 2016 tentang Penertiban, Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak merupakan salah satu ketentuan yang digunakan Pemprov DKI untuk menggusur dengan dalih memberi kepastian hukum pelaksanaan penertiban terhadap pemakaian/penguasaan tanah tanpa izin yang berhak.
Pergub yang ditetapkan pada masa Gubernur Basuki T Purnama tersebut justru dipertahankan dan digunakan hingga saat ini oleh Pemprov DKI Jakarta dalam beberapa kasus penggusuran paksa yang menimpa warga Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.
Dalam catatan LBH Jakarta, pada kurun waktu Januari-September 2018, Jakarta Selatan menjadi kota administratif dengan penggusuran hunian paling banyak, yaitu sebanyak 12 titik. Lalu, Jakarta Pusat menjadi kota administratif dengan penggusuran unit usaha terbanyak, yaitu di 19 titik.
Baca juga : Warga Gusuran Jalan Soepomo Terlunta-lunta
Masih pada periode Januari-September 2018, penggusuran untuk penertiban ada 57 titik dan penertiban IMB 16 titik. Sisanya upaya penggusuran untuk pembukaan jalur hijau dengan total 10 titik, pembangunan taman kota 2 titik, pelebaran jalan 2 titik, dan alasan lain 4 titik.
Catatan merah terakhir LBH adalah reklamasi yang masih terus berlanjut. Ketidakkonsistenan mengenai penghentian reklamasi dimulai ketika pada 2018 Anies menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Hal itu menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai ”perusahaan mitra”.
Baca juga : 932 Bangunan di Pulau D Telah Ber-IMB
Problem lain muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera. Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan. Selain itu, pencabutan tanpa didahului transparansi dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan tiga pulau lain.
Alhasil, gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi. Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat Mahkamah Agung untuk gugatan Pulau H, tetapi kalah di gugatan lain, seperti Pulau F dan Pulau G. ”Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimik belaka,” ujar Charlie.
Rekomendasi
Terkait 10 poin dalam rapor merah itu, LBH Jakarta mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk membuat sembilan langkah. Pertama, meminta Anies membuat strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara terfokus, tepat sasaran, dan melibatkan partisipasi publik.
Kedua, meminta Anies menghentikan swastanisasi air DKI Jakarta. Ketiga, melakukan penanganan banjir Jakarta sesuai dengan penyebab banjir tanpa penggusuran. Keempat, tidak melakukan penggusuran paksa terhadap warga dan usaha rakyat kecil serta memberikan keamanan bermukim bagi warga. Kelima, mengesahkan peraturan daerah tentang bantuan hukum yang sesuai dengan kebutuhan warga DKI Jakarta secara partisipatif. Keenam, menunda pengesahan RZWP3K sebelum adanya KLHS dan RSWP3K yang sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup serta pelibatan masyarakat secara partisipatif.
Ketujuh, meningkatkan 3T di DKI Jakarta, menunda pelaksanaan PTMT, menjamin pembebasan biaya perawatan bagi orang yang dirawat karena Covid-19, serta memastikan pelaksanaan vaksinasi secara adil dan sesuai skala prioritas. Kedelapan, memastikan hak atas tempat tinggal warga di DKI Jakarta, tidak melakukan penggusuran paksa, memulihkan hak-hak para korban penggusuran paksa, serta mencabut Pergub Nomor 207 Tahun 2016.
”Terakhir, meminta Anies mencabut seluruh izin pelaksanaan reklamasi 17 pulau di DKI Jakarta,” kata Charlie.
Sigit Wijatmoko, Asisten Pemerintahan Setdaprov DKI, seusai menerima perwakilan LBH Jakarta menyatakan, DKI terbuka dengan semua aspirasi. Pemprov DKI Jakarta berkomitmen untuk memfasilitasi semua aspirasi dari warga, termasuk kritik.
”Terhadap rekomendasi yang diberikan, ada 10 hal yang menjadi cermatan teman-teman LBH Jakarta dan sembilan rekomendasi yang akan kami pelajari untuk sesegera mungkin kami berikan respons dan klarifikasi,” ujar Sigit.
Baca juga : Gubernur DKI Terima Vonis Bersalah atas Gugatan Polusi Udara Jakarta