Ketika Integrasi Angkutan Publik di Jakarta Berupaya Naik Kelas
Sejumlah jurnalis mengikuti uji coba kartu dan aplikasi pembayaran angkutan umum terintegrasi. Sejumlah kendala dan pengalaman tidak nyaman ditemui. Diharapkan itu jadi masukan bagi Jakarta yang berupaya naik kelas.
Pada Senin (4/10/2021), PT Jaklingko Indonesia, selaku perusahaan yang mendapatkan penugasan untuk mengeksekusi integrasi tarif dan sistem pembayaran antarmoda angkutan umum, mengajak sejumlah jurnalis, termasuk Kompas, mengikuti kegiatan uji coba kartu dan aplikasi sistem pembayaran antarmoda terintegrasi itu. Tentunya untuk mendapatkan pengalaman, bagaimana bertransportasi umum yang mudah, cepat, aman, nyaman, dan lancar dalam pergantian antarmoda.
Baca juga : Jaklingko Uji Coba Kartu dan Aplikasi Pembayaran Terintegrasi
Rute perjalanan pagi itu sudah ditentukan, diawali dari Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, berakhir di Stasiun LRT Jakarta Pegangsaan Dua. Sebelumnya, setiap peserta sudah mendapatkan kesempatan mengunduh aplikasi Jaklingko yang nantinya akan diluncurkan untuk publik, di telepon pintar masing-masing.
Melalui aplikasi itu, kita membeli tiket perjalanan untuk rute tersebut. Di dalam menu tiket, ketika kita memasukkan rencana perjalanan tadi, maka aplikasi akan menampilkan dua rute rekomendasi, yaitu rute tercepat dan rute terhemat.
Fitur yang tampil sungguh membantu karena pengguna menjadi tahu, untuk menuju Stasiun LRT Pegangsaan Dua, pengguna mesti berganti sejumlah moda. Pengguna juga mendapat informasi, untuk rute sejauh 14,54 kilometer itu, dibanderol tarif Rp 14.500.
Begitu tarif yang keluar di menu dipilih, akan muncul rute rekomendasi. Dengan demikian, pengguna bisa membaca, dari Stasiun MRT Bundaran HI pengguna akan bermobilitas selama dua menit menuju Stasiun MRT Dukuh Atas. Di Stasiun MRT Dukuh Atas, pengguna disarankan turun dan berganti moda dengan KRL.
Untuk itu, perlu jalan kaki selama empat menit menuju Stasiun Sudirman dan berganti KRL menuju Stasiun Manggarai. Perjalanan ini diperkirakan memakan waktu lima menit. Di Stasiun KRL Manggarai, pengguna disarankan turun dan berganti moda dengan bus Transjakarta.
Baca juga : Integrasi Tarif Antarmoda Transportasi di Jakarta Ditargetkan Terwujud Maret 2022
Kembali, pengguna mesti berjalan kaki selama lima menit menuju halte Transjakarta Manggarai guna mengambil bus arah halte Pemuda Rawamangun. Seusai perjalanan 16 menit dengan bus, pengguna bisa melihat, ia disarankan turun di halte itu dan berpindah ke Stasiun LRT Velodrome dengan berjalan kaki selama dua menit. Setelahnya, pengguna menaiki LRT Jakarta menuju Stasiun LRT Pegangsaan Dua selama 13 menit.
Dalam rute rekomendasi itu, selain besaran tarif, juga terlihat waktu tempuh. Untuk rute perjalanan yang dipilih tadi, waktu tempuh total mulai dari berjalan kaki saat berpindah antarmoda dan juga perjalanan, diperkirakan 47 menit.
Begitu setuju dengan rekomendasi itu, lalu menekan tanda setuju dan bayar, penumpang mendapatkan tiket dalam bentuk QR code (kode QR) atau barcode. Tiket berbentuk barcode itulah yang mesti dipindai di setiap gerbang pembayaran setiap moda.
”Saat mencari rute yang diinginkan sangat cepat dan mudah. Dengan ada dua pilihan, rute terhemat dan tercepat, aku bisa memilih rute tercepat kalau lagi buru-buru. Tapi, kalau lagi tidak terburu-buru, bisa pilih rute terhemat,” kata Putri (30), salah satu jurnalis peserta uji coba.
Dalam pengunduhan aplikasi, ia sukses melakukan pengunduhan hingga pembelian tiket melalui aplikasi. Berbeda dengan Kompas yang sukses di pengunduhan, tetapi gagal di pembelian tiket karena ternyata versi aplikasi yang diunduh lebih rendah sehingga perlu beberapa kali mencoba mengunduh. Alhasil, Putri bermobilitas dengan kode QR, Kompas menggunakan kartu Jaklingko yang juga disediakan.
”Nantinya, baik aplikasi maupun kartu itu bisa saling menggantikan. Apabila lupa membawa kartu, pengguna bisa menggunakan aplikasi, demikian juga sebaliknya,” kata Sekretaris Perusahaan Jaklingko Indonesia Ahmad Rizalmi.
Kembali ke uji coba, perlu waktu sekitar dua detik bagi gerbang pembayaran Stasiun MRT Bundaran HI untuk membaca kode QR pada aplikasi Jaklingko. Sementara pemindaian kartu Jaklingko malah lebih cepat.
Alat pembaca kode QR di Stasiun MRT, posisinya menghadap ke atas, dan mendapat sorotan cahaya lampu stasiun. Telepon genggam harus ditutup dengan tangan saat pemindaian agar kode QR bisa terbaca.
Di Stasiun Sudirman dan Stasiun Manggarai, pembacaan kode berlangsung cepat dan gerbang bisa dibuka. Namun, mesti diperhatikan, di stasiun KRL, alat pembaca kode QR ditempatkan secara vertikal di gerbang pembayaran. Telepon seluler mesti ditempelkan secara vertikal agar kode QR di aplikasi Jaklingko terbaca.
Di halte Transjakarta Manggarai, pembacaan kode QR juga lancar. Di gerbang pembayaran Stasiun LRT Velodrome, posisi alat pembaca kode QR berbeda lagi. Alat terletak di atas gerbang pembayaran dan pengguna aplikasi Jaklingko harus meletakkan teleponnya di bawah alat tersebut dengan muka telepon mengarah ke alat agar kode QR bisa dibaca.
”QR code ini lancar dipakainya. Tapi, ada sedikit buffer saat membuka kembali aplikasi itu kalau kita sudah keluar dari aplikasi untuk membuka aplikasi lain. Jadi, harus betul-betul bersiap membuka aplikasi Jaklingko sebelum masuk ke stasiun atau ke halte berikutnya,” kata Putri.
Dari pengalaman yang ia rasakan, pemindaian kode QR secara cepat terjadi di KRL dan LRT Jakarta, 1-2 detik. Yang agak sulit, menurut Putri, terjadi di gerbang pembayaran MRT Jakarta, tiga detik lebih. Selain itu, posisi alat pembaca atau pemindai kode yang horizontal agak menyulitkannya.
Direktur Utama PT Jaklingko Indonesia (PT JLI) Muhamad Kamaluddin, seusai uji coba, menjelaskan, posisi alat baca kode QR yang berbeda-beda di stasiun MRT Jakarta, LRT Jakarta, Transjakarta, juga KRL terjadi karena setiap operator masing-masing sudah memasang gerbang pembayaran lebih dulu. Bahkan jauh sebelum Jaklingko Indonesia membuat sistem pembayaran terintegrasi.
Untuk memudahkan pengguna, PT JLI yang adalah anak perusahaan gabungan dari PT MRT Jakarta, PT Transportasi Jakarta, PT Jakarta Propertindo, dan PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (PT MITJ) itu lalu memodifikasi gerbang. Ada serangkaian pengujian yang dilakukan setelahnya supaya selanjutnya gerbang yang dimodifikasi bisa membaca kode QR dari aplikasi Jaklingko dan kartu Jaklingko.
”Hanya gerbang LRT Jakarta yang kita tambahkan alat baca QR code dan kartu Jaklingko,” kata Kamaluddin.
Sementara ini, gerbang pembayaran yang bisa membaca kode QR masih terbatas. Di stasiun atau halte ada penanda di mana gerbang itu bisa membaca kode QR dan kartu Jaklingko. Namun, di akhir tahun 2021, jelas Kamaluddin, PT JLI menargetkan semua gerbang pembayaran di stasiun MRT Jakarta, LRT Jakarta, KRL, serta halte Transjakarta sudah bisa membaca kartu serta aplikasi Jaklingko.
Selain kendala cara pembacaan, dalam uji coba itu juga masih ditemukan pengalaman perjalanan yang tidak nyaman, yaitu area pejalan kaki yang menghubungkan Stasiun Manggarai dengan halte Transjakarta Manggarai sangat tidak nyaman dan sempit. Peserta uji coba mesti berjalan di trotoar yang sempit dan tidak rata, sementara lalu lintas padat. Alhasil, jalan kaki di pergantian moda ini tidak menyenangkan.
Hal lainnya yang membuat tidak nyaman, waktu tunggu di halte Transjakarta lebih lama dari perkiraan. Sekitar 10 menit lebih.
Dengan kendala-kendala itu, waktu tempuh yang di awal perjalanan diperkirakan 47 menit menjadi lebih lama. Peserta uji coba memulai uji coba pukul 10.00 dan selesai mendekati waktu makan siang.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Haris Muhammadun menyampaikan, ia juga menjadi salah satu peserta uji coba kartu dan aplikasi Jaklingko pada Agustus 2021. Untuk uji coba, ia memaksakan diri menggunakan aplikasi Jaklingko guna memastikan keandalan aplikasi. Sementara kalau dengan kartu, ia meyakini, pembacaan akan lancar.
Ia juga menemukan posisi alat baca kode QR akan berbeda posisinya di setiap moda. Menurut Haris, hal itu justru harus menjadi bahan evaluasi dari tim ahli Jaklingko. Ke depannya rekomendasi seperti apa yang disarankan tim ahli terkait dengan posisi pembaca kode QR yang paling mudah dan cepat.
”Setiap uji coba digelar, pasti akan ada masukan atau komentar. Silakan masukan-masukan dikompilasi untuk menjadi evaluasi dan bahan perbaikan supaya saat diluncurkan nanti kendala-kendala itu tidak muncul,” kata Haris.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Bidang Perkeretaapian, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), yang juga turut dalam uji coba di bulan Agustus, menyatakan, untuk posisi pembaca kartu yang berbeda-beda itu memang dalam jangka panjang mesti bisa diselesaikan, menjadi penyeragaman.
Untuk saat ini, PT JLI, ia lihat, tidak memiliki wewenang untuk mendorong setiap operator menyeragamkan infrastruktur itu. Itu karena PT JLI berfungsi sebagai integrator dalam tahapan integrasi tarif dan sistem pembayaran ini. ”Jadi, mau tidak mau, kalau mau ke arah penyeragaman infrastruktur, ya, investasinya nanti di masing-masing entitas. Mana yang perlu disesuaikan,” ujar Aditya.
Dalam jangka panjang, Aditya melihat, memang perlu ada pengintegrasian itu supaya setiap gerbang pembayaran memiliki tingkat kualitas dan parameter teknologi yang sama. Namun, sambil menunggu itu terwujud, untuk setahun pertama, Aditya berpandangan, effort terbesarnya ada di petugas layanan gerbang dulu ataupun panduan-panduan secara tertulis ataupun panduan secara digital.
Melalui petugas, juga panduan tertulis, bisa dijelaskan bagaimana cara penempelan aplikasi Jaklingko di MRT Jakarta, di LRT Jakarta, di KRL, juga bagaimana kalau di gerbang pembayaran Transjakarta. Itu penting karena posisi alat baca di setiap gerbang berbeda-beda dan kecepatan responsnya juga beda beda.
Lalu, dari sisi aplikasi, Aditya menilai, sekarang ini yang harus dibenahi adalah aplikasi. Bahwa aplikasi Jaklingko itu harus matang dulu.
Itu berkaitan dengan versi telepon seluler yang bermacam-macam. ”Versi HP yang bisa digunakan untuk mengunduh aplikasi itu harus jelas dulu supaya tidak sekadar sampai buka aplikasi, tapi semua fitur dalam aplikasi bisa digunakan dengan baik. Ini hal mendasar yang harus dibenahi,” tuturnya.
Kemudian, soal pilihan bertransportasi, termasuk pilihan rute, juga harus bisa menampilkan penyesuaian. Artinya, bukan hanya rute dari satu poin ke poin lain yang bisa ditampilkan, melainkan juga ketika tiba-tiba pengguna berubah pikiran dan tidak menyelesaikan perjalanan atau ingin berganti rute di tengah-tengah perjalanan, harus bisa disesuaikan. Ini nanti kaitannya dengan saldo pengguna di dalam kartu atau aplikasi yang telanjur terpotong karena rute awal menjadi bisa disesuaikan entah dalam bentuk pengembalian saldo atau cashback.
Aditya menilai, uji coba-uji coba ini perlu dilakukan terus-menerus supaya betul-betul matang. Sementara Putri menilai, secara keseluruhan, satu aplikasi untuk seluruh moda angkutan itu sangat bermanfaat.
”Terlebih bakal ada tarif bundling dan informasi biaya perjalanan selama seminggu, sebulan yang bisa diakses, sehingga masyarakat bisa mengevaluasi pengeluaran mereka akan biaya angkutan umum,” kata Putri.
Baik Aditya maupun Haris juga sepakat, integrasi tarif dan sistem pembayaran mesti juga diikuti integrasi jadwal operasional setiap moda dan juga integrasi fisik antarmoda. Dampaknya tentu saja memudahkan pengguna dalam hal perpindahan moda.
Haris menegaskan, sudah saatnya Jakarta naik kelas. Layanan transportasi umum yang semula memakai sistem pembayaran uang tunai mulai tergantikan dengan uang kartu elekronik dan aplikasi. Selanjutnya, tentu saja adalah sistem pembayaran yang terintegrasi dan menawarkan taruf terintegrasi (bundling) yang lebih hemat bagi pengguna. ”Sudah saatnya Jakarta sejajar dengan kota-kota besar di negara maju dalam aspek layanan transportasi umum,” kata Haris.