Tantangan Jakarta Wujudkan Udara Bersih
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berpacu dengan dorongan dunia dan kebutuhan warganya dalam menyediakan udara bersih.
Kemenangan warga negara yang menggugat pemerintah atas pencemaran udara di Jakarta menjadi awal dari tanggung jawab berat bagi pemerintah terkait. Putusan itu menyatakan Gubernur DKI Jakarta dan enam pejabat lain setingkat presiden dan menteri bersalah atas gugatan pencemaran udara oleh 32 penggugat yang mengatasnamakan Koalisi Ibu Kota.
Ikhtiar baik untuk menyediakan hajat hidup jutaan warga di Ibu Kota itu dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan tidak menggugat vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 16 September 2021. Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berpacu dengan dorongan dunia dan warganya dalam menyediakan udara bersih.
Tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperbarui standar tingkat pedoman kualitas udara, yang memperhitungkan tujuh polutan paling berefek terhadap kesehatan manusia. Ketujuhnya adalah partikulat halus (PM) 2,5, PM 10, ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan karbon monoksida (CO). Standar itu terakhir dibuat pada 15 tahun lalu.
Pemerintah bertanggung jawab mengubah perilaku, bukan cuma membentuk kebijakan.
Salah satu standar yang diubah adalah partikel halus PM 2,5 untuk waktu rata-rata tahunan dan 24 jam. PM 2,5 adalah partikulat polusi dengan diameter 2,5 mikrometer (µm) atau kurang. Pada 2005, tingkat emisi tahunan rata-rata tertinggi yang direkomendasikan untuk PM 2,5 adalah 10 mikrogram per meter kubik (µg/m3), lalu pada 2021 direvisi menjadi hanya 5 µg/m3. Pada tingkat 24 jam dipangkas dari 25 µg/m3 pada 2005 menjadi 15 µg/m3 di 2021.
Pada 2020, laporan World Air Quality Report yang dirilis IQAir menyebut, rata-rata tahunan konsentrasi PM 2,5 Jakarta mencapai 39,6 µg/m3. Pembatasan mobilitas di awal pandemi menjadi faktor perbaikan kualitas udara. Sebagai perbandingan, pada 2018 konsentrasi PM 2,5 di udara Jakarta mencapai 45,3 µg/m3. Pada tahun itu juga, tepatnya 19 Juli, partikel PM 2,5 di Jakarta menyentuh 121,56 µg/m3 pada pukul 12.00.
Adapun pada Kamis (7/10/2021), konsentrasi PM 2,5 Jakarta dalam waktu 24 jam mencapai 32,4 µg/m3. Angka itu berkualifikasi sedang menurut standar WHO yang memiliki ambang batas maksimal 35,4 µg/m3. Menurut standar Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2020, angka itu juga masuk kategori sedang. Namun, aturan yang juga diadaptasi pemerintah daerah Jakarta mematok level tersebut hingga 55,4 µg/m3.
Baca Juga: Didukung Cuaca dan Arah Angin, Kualitas Udara di Jakarta Baik dan Sedang
Relawan dan Konsultan Kesehatan Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Alvi Muldani, dalam diskusi media menilai, standar yang diterapkan di Jakarta masih lemah. Padahal, polusi dari partikulat PM 2,5 yang diatur lebih ketat oleh dunia terbukti membahayakan masyarakat Jakarta. Mengutip rilis IQAir, sejak awal tahun ini, diestimasikan 10.000 kematian di Jakarta disebabkan PM 2,5.
”Paparan partikulat ini bisa mengakibatkan efek jangka pendek dari batuk-batuk, hidung berair, atau mempermudah infeksi virus. Dalam jangka panjang, PM yang ukurannya terbilang berat ini bisa mengalir ke darah dan mengendap di jaringan. Kalau di otak bisa memicu kepikunan dini, atau kalau di paru bisa menyebabkan kanker,” ungkapnya.
Selama masa pandemi, ia juga menduga banyak kematian warga di DKI Jakarta akibat perburukan infeksi virus penyakit Covid-19 dipicu kerusakan tubuh karena polusi udara. Dugaan ini, ia katakan, dikuatkan sebuah studi yang menemukan, sekitar 7 persen kematian terkait Covid-19 ada hubungannya dengan udara.
”Virus ini, kan, melewati beberapa barrier di tubuh. Adanya polutan yang bereaksi dengan tubuh mengakibatkan munculnya radikal bebas yang bisa merusak DNA dan mempermudah virus menempel dan cepat merusak jaringan. Dengan demikian, risiko meninggal bisa meningkat pada orang yang positif Covid-19,” paparnya.
Efek polusi pada kesehatan jugalah yang menggerakkan beberapa warga menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2019. Namun, Adhityani Putri, selaku Direktur Yayasan Indonesia Cerah, yang mendukung gerakan Koalisi Ibu Kota itu, mengatakan, harapan para penggugat mengambil jalur hukum bukan untuk meminta ganti rugi. Cara itu mereka ambil sebagai ajakan diskusi secara setara.
”Kami sadar, perubahan enggak bisa hanya dilakukan individu. Apa setiap keluar rumah kita harus pakai masker terus untuk menghindari polusi? Bagaimana dengan anak-anak dan lansia yang berisiko? Kami mengharapkan ada perbaikan kebijakan yang dilakukan pembuat kebijakan. Lalu, pembangunan ikut menyesuaikan,” tuturnya.
Satu visi
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengikuti putusan itu mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah mengakselerasi upaya menekan polusi udara sejak 2019 lewat Instruksi Gubernur. Bahkan, selama masa persidangan, telah dilakukan dua kali mediasi yang menghasilkan kesepakatan pada 13 dari total 15 tuntutan yang diajukan.
Tuntutan yang disepakati bersama antara lain penambahan stasiun pemantau kualitas udara di Jakarta dan menetapkan status mutu udara ambien Jakarta. Lalu, mengawasi dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku pencemaran udara, baik dari sumber bergerak, seperti kendaraan bermotor, maupun sumber tidak bergerak, seperti industri dan pembangkit listrik.
Adapun tuntutan yang tidak disepakati, menurut Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim, Irvan Pulungan, terkait penyediaan alat pengelolaan sampah atau insenerator dan pembangunan ruas jalan tol yang menjadi kegiatan strategis nasional. ”Namun, kita sepakat dengan 80 persen tuntutan, yang intinya kita sevisi,” ujarnya.
Menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 75 persen polusi udara di Jakarta masih disebabkan asap akibat penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Data dari Badan Pusat Statistik Jakarta juga mengungkapkan, pada 2020 terdapat lebih dari 20 juta kendaraan bermotor di Jakarta, yang 80 persennya didominasi oleh sepeda motor.
Irvan menambahkan, arah kebijakan Pemprov DKI Jakarta, yang juga dibantu pemerintah pusat, untuk mengurangi emisi polusi di udara juga sudah menyasar pengaturan transportasi. Kebijakan itu antara lain dengan penerapan sistem ganjil genap dan pengadaan atau perizinan transportasi ramah lingkungan, seperti transportasi berbahan bakar biodiesel dan listrik.
Baca Juga: Gubernur DKI Terima Vonis Bersalah atas Gugatan Polusi Udara Jakarta
Contoh terbaru adalah uji coba bus Transjakarta berbasis baterai listrik yang bekerja sama dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) PT Higer Maju Indonesia (HMI). Uji coba sampai saat ini, kata Irvan, sudah menggunakan 30 bus listrik. Pada 2022, armada ramah lingkungan itu akan ditambah sampai 100 unit.
”Kami juga mencoba membuat disinsentif terhadap pengguna kendaraan bermotor yang belum melakukan uji emisi kendaraan. Kami buat aturan biaya parkir lebih mahal tiga kali lipat untuk kendaraan tersebut di beberapa titik, seperti Monas dan kantor samsat,” tuturnya.
Transisi energi
Menilik kembali tingginya polusi udara akibat kendaraan bermotor, Ricky Amukti selaku Engagement Manager Traction Energy Asia menilai Jakarta berpotensi tinggi untuk beralih ke bahan bakar rendah emisi, seperti bahan bakar nabati atau biofuel generasi kedua, dan transisi ke kendaraan listrik.
Kewajiban penggunaan biodiesel B30, contohnya, bisa menurunkan emisi karbon 50 persen jika proses pembuatannya yang memanfaatkan kelapa sawit juga rendah emisi. Selain bahan bakar tersebut, Ricky menilai Jakarta punya potensi dalam pemanfaatan bahan bakar minyak jelantah.
Pemanfaatan bahan tersebut, yang kajiannya telah dilakukan di Indonesia, menurut dia menghasilkan emisi 80-90 persen lebih rendah dari bahan bakar solar. ”Jakarta punya potensi minyak jelantah 12 juta liter per tahun dari rumah tangga dan umum. Ini jadi peluang untuk mengalihkan 20 persen bahan bakar ke biodiesel. Belum dari resto dan kafe, bisa lebih tinggi angkanya,” tuturnya.
Transisi energi dari listrik bersumber pembangkit batubara ke surya, menurut dia, juga bisa diterapkan lebih banyak di Jakarta. Penggunaan pembangkit surya di atap-atap rumah, misalnya, sangat aplikatif untuk digunakan di gedung-gedung besar atau bahkan perumahan. ”Kalau kita pasang 1 MW pembangkit surya, kita bisa kurangi 1.226 CO per tahun,” ucapnya.
Kebijakan transisi energi seperti itu, menurut dia, harus diprakarsai oleh pemerintah daerah. Tenny Kristiana, peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT), pada kesempatan sama mengatakan, pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta untuk membangun ekosistem penggunaan energi yang ramah lingkungan.
Baca Juga: Macet Sekarang Tak Mengapa, Asal Pakai Mobil Listrik
Selain itu, satu hal yang juga sangat penting adalah pemerintah memberikan lebih banyak subsidi dan insentif. Contoh, insentif bagi pemilik kendaraan listrik. ”Selain dapat mengendalikan polusi udara, penggunaan kendaraan listrik juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru sebagai efek dari industrialisasi kendaraan listrik,” katanya.
Menanggapi saran tersebut, Irvan berpendapat, kerja sama berbagai kepentingan perlu dikuatkan untuk memastikan teori dan riset itu bisa dieksekusi dengan baik. Selain pembuatan kebijakan, kerja sama penting untuk mengatasi kendala implementasi, seperti hambatan kultural.
”Soal minyak jelantah, misalnya, banyak masyarakat kita yang pakai minyak itu untuk memasak, bahkan kerap dibeli lagi oleh pedagang. Lalu, soal kendaraan listrik, kita enggak bisa paksa atau larang orang beli kendaraan tidak ramah lingkungan. Namun, kami bisa sediakan alternatif transportasi publik yang aman, nyaman, dan bisa diandalkan dengan basis listrik,” ujarnya.
”Kita harus bergerak bersama untuk bangun kapasitas. Masyarakat juga bangun pengetahuan dan kapasitas, jadi ketemu di tengah. Pemerintah bertanggung jawab mengubah perilaku, bukan cuma membentuk kebijakan,” kata Irvan.
Selain hambatan kultural, kerja sama secara vertikal dengan pemerintah pusat dan horizontal dengan pemerintah daerah sekitar juga jadi tantangan Pemprov DKI Jakarta. Untuk itu, dalam hal udara bersih, sinergi antarpemerintah juga perlu sejalan.