Konser Saat Pandemi, Datang Segar Pulang Mesti Bugar
Perhelatan Jazz Gunung Bromo ke-13 ini terasa berbeda dengan penyelenggaraan di tahun-tahun sebelum pandemi. Penonton tak sebanyak biasanya. Semua demi keselamatan bersama dan menghadang lonjakan Covid-19.
Akhir pekan lalu, kawasan wisata Gunung Bromo, tepatnya di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jatim, terasa lebih ramai dari biasanya. Kabupaten ini digolongkan menjadi level 2 dalam skema PPKM sehingga perhelatan Jazz Gunung Bromo bisa berlangsung. Selain jumlah penonton lebih sedikit dari biasanya, ruang gerak di arena lebih terbatas meski tetap gayeng.
Satu jam sebelum acara dimulai pada Sabtu (25/9/2021) siang, gitaris Tohpati yang dijadwalkan tampil berduet dengan Dewa Budjana dalam nama Janapati berseloroh semula hendak membawa lebih banyak pemusik. ”Tadinya mau membawa orkestra 11 piece. Karena kuotanya terbatas, kami kurangi (personelnya). Mudah-mudahan (setelah Jazz Gunung Bromo) nanti Janapati bisa main dengan orkes besar,” katanya.
Ketika Tohpati mengutarakan hal itu, sejumlah penonton mulai berdatangan di arena Jiwa Jawa Resort, yang rata-rata datang dari luar Probolinggo. Sebelum masuk ke lokasi pertunjukan, yaitu amfiteater terbuka, calon penonton mengantre di gerbang masuk pertama, area Rehat Bromo. Ini adalah area transit sebelum pengunjung memasuki arena utama, yaitu amfiteater di Jiwa Jawa Resort itu. Area transit ini dan amfiteater dipisahkan oleh Jalan Raya Bromo.
Di gerbang pertama itulah penyaringan penonton dimulai. Mereka wajib mengunduh aplikasi Peduli Lindungi dan memindai kode di gerbang. Penyaringan pertama ini untuk memastikan penonton telah mendapatkan dua dosis vaksin. Layar di gawai pengunjung akan menampilkan tanda centang hijau jika syarat itu terpenuhi. Jika tidak, yang bersangkutan dilarang masuk arena mana pun.
Penyaringan vaksinasi dan tes swab tak hanya berlaku untuk penonton pembeli tiket, tamu undangan, tapi juga semua yang terlibat di acara, tanpa kecuali. Ini termasuk kru produksi suara dan tata lampu sekitar 20 orang, para penampil dan krunya (68 orang), awak media (38 orang), serta panitia dan penyelenggara acara (sekitar 130 orang).
Dari situ, pengunjung menuju meja registrasi untuk mendapatkan gelang sebagai bukti pembelian tiket. Tak ada penjualan tiket di tempat karena selain untuk mengurangi antrean, tiket telah diputuskan habis terjual tiga hari sebelum hari-H, yaitu sekitar 300 tiket. Pengunjung lantas menghubungi panitia pendamping.
Setiap pendamping bertanggung jawab menemani 20-25 penonton. Para pendamping ini juga yang akan mendaftarkan anggota di grupnya untuk menjalani tes swab antigen, masih di area Rehat Bromo. Harga tiket Rp 750.000 hingga Rp 1,25 juta per orang itu sudah termasuk biaya uji swab antigen, yang disediakan Laboratorium Prodia. Pengunjung yang hasilnya negatif diberikan gelang biru.
Jadi, pengunjung yang berhak masuk ke arena mengenakan dua gelang: gelang pengganti karcis, juga gelang yang membuktikan hasil tes negatif—saringan kedua. Mereka masuk bersama rombongan yang telah ditentukan. Pendamping rombongan memegang bendera layaknya pemandu turis.
Diawasi ”prajurit”
Setelah bergabung bersama rombongannya, mereka berjalan bersama menuju amfiteater, dengan menjaga jarak dan wajib memakai masker. Di pintu masuk amfiteater, ada lagi pemeriksaan dengan aplikasi Peduli Lindungi, pemeriksaan suhu, juga penyanitasi tangan. Di pintu ini, penjaganya adalah petugas berseragam, antara lain dari BPBD Provinsi Jatim, Satpol PP Kabupaten Probolinggo, dan petugas kesehatan.
Lolos dari sini, pengunjung diarahkan ke kursi masing-masing sesuai kelas tiketnya. Di area berumput, yang dulu dipakai untuk arena lesehan, kini memakai kursi kayu yang disusun setengah melingkar. Kursi kayu sepanjang sekitar 1,5 meter dan bernomor itu hanya berkapasitas dua penonton saja. Sementara di area berundak, penonton duduk lesehan beralas bantal duduk, yang juga telah diberi nomor. Jarak antarbantal sekitar 1 meter.
Pengaturan jarak sedemikian masih belum cukup. Sekali lagi, masker wajib dipakai dengan benar, meski tak perlu dua lapis. Karena mewajibkan master terpasang terus, semua orang dilarang makan dan merokok di arena. Kalau mau makan atau merokok, mereka harus keluar dari amfiteater, dan mencari tempat yang renggang.
Di dalam arena, panitia pendamping regu tadi bertambah perannya sebagai ”prajurit masngawi”, alias petugas yang memastikan penonton untuk maskeran, ngadoh (menjaga jarak), dan wijik (cuci tangan). Mereka dibantu juga para aparat berseragam dari instansi pemerintah.
Di tengah acara, pembawa acara menyebut semua orang yang hadir di arena itu dinyatakan telah mendapatkan dua dosis vaksinasi, dan seluruhnya negatif Covid-19 berdasarkan hasil tes swab antigen.
Pengawasan ini terbilang ketat. Beberapa kali serombongan penonton berswafoto barengan diuraikan petugas. Mereka yang terlihat berdiri terlalu rapat juga diminta merenggangkan jarak, tak terkecuali panitia. Mengobrol dengan sesama memang jadi agak sulit. Tapi inilah protokol yang sama-sama harus dijaga. Datang sehat, pulang pun harus sehat.
Urusan menjaga jarak ini sedikit mengendur ketika gerimis turun cukup deras ketika Janapati membawakan lagu ”Rainy Days”. Sebagian penonton berdiri dan bergeser dari tempat yang ditentukan. Mereka mendekat dengan teman atau kerabatnya. Namun setelah panitia mengelap alas duduk, petugas meminta mereka kembali ke tempat semula.
Di arena amfiteater, hanya penampil yang punya hak khusus melepas masker, itu pun hanya ketika mereka di panggung. Sementara kru mereka tetap memakai masker. Para penampil dan kru mendapatkan tes PCR pada Sabtu pagi hingga siang sebelum acara dimulai.
Atmosfer berbeda
Dengan segala keterbatasan itu, perhelatan Jazz Gunung Bromo ke-13 ini terasa berbeda dengan penyelenggaraan di tahun-tahun sebelum pandemi. Penonton tak sebanyak biasanya yang selalu memenuhi kapasitas amfiteater, yaitu 2.000 orang. Jarak antarpentonton terlihat nyata. Mereka juga diminta untuk mengekspresikan kegembiraannya dengan hanya berjoget di posisi tempat duduk karena tak ada arena dansa.
Atmosfernya memang terasa lebih anyep dibandingkan pertunjukan langsung di kondisi normal. Bagi penampil, mereka perlu berusaha lebih keras untuk menyerap energi dari penonton. Silir Pujiwati, biduan dari kelompok Ring of Fire Project, berulang kali meminta penonton bertepuk tangan lebih keras.
Untungnya penonton nurut. Mendengar tepuk tangan penonton secara langsung sudah lama dirindukan penampil. Energi balik ini yang absen selama pandemi berlangsung sekitar 1,5 tahun terakhir. Beberapa penampil memang pernah tampil secara virtual. Namun, energi balik berupa tepuk tangan dan sahut-sahutan penonton secara langsung rasanya tak tergantikan oleh kolom komentar di pertunjukan virtual.
Bagi penonton, bersedia membeli tiket dan menjalani segala protokol kesehatan ketat ibarat menyetujui sebuah komitmen bersama: memastikan pertunjukan musik tidak menjadi kluster baru. Apalagi, mereka ”berkorban” biaya dan waktu perjalanan menuju lokasi acara.
Perlu waktu sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari kota besar terdekat, yaitu Malang dan Surabaya. Pengunjung dari luar Jatim juga harus bersedia membayar biaya tambahan untuk tes antigen di stasiun atau bandara keberangkatan kota mereka.
Salah seorang penonton Hengki Ompu Sunggu (37) datang dari Kota Malang bersama seorang temannya. Mereka membeli tiket seharga Rp 1 juta per orang, ditambah biaya memenuhi tangki bahan bakar mobil mereka, untuk persiapan perjalanan pergi-pulang. Ini adalah pengalaman pertama dia menonton Jazz Gunung Bromo, meski sudah beberapa kali berwisata ke Gunung Bromo.
”Rasanya excited menonton konser dengan penonton pertama di masa pandemi ini. Tapi rasanya kurang intens karena (jumlah) penonton dibatasi dan harus jaga jarak, ya,” kata pegawai BRI Kota Malang ini.
Kegembiraan serupa juga dirasakan Hari Waluyo (61), warga Ngagel, Surabaya. Dia mengunjungi Jazz Gunung Bromo untuk yang ketiga kalinya bersama rombongan teman SMA-nya dulu. ”Dulu waktu pertama kali datang ke Jazz Gunung, rombongannya 80 orang. Kali ini cuma 20 orang karena, kan, tiketnya dijual terbatas,” katanya. Hari menyewa minibus dengan ”harga teman” Rp 1,3 juta untuk 12 jam dari Surabaya.
Dia mengapresiasi kerja panitia yang berani menggelar acara offline berpenonton. Protokol kesehatan dan pengawasan ketat para petugas sedikit mengusik kenyamanan, tapi tak ia keluhkan. ”Namanya juga masih pandemi, ya. Saya beberapa kali ditegur (satgas) karena keasyikan foto-foto bareng teman-teman, tapi tegurannya halus, tidak bikin sakit hati. Dengan cara ini, saya justru merasa lebih aman,” kata Yoyok, nama panggilannya.
Pengeluaran dia untuk mendatangi Jazz Gunung kali ini tak sebesar dua tahun sebelumnya. Ia tak perlu menyewa penginapan lantaran acaranya hanya berlangsung selama sekitar enam jam. Seusai acara, sekitar pukul 20.30, dia dan rombongannya bertolak pulang ke Surabaya.
Yoyok dan teman-temannya bertahan di arena meski udara makin dingin dan kabut makin tebal. Selepas penampilan kolaborasi antara Ring of Fire Projects dan Fariz RM tuntas memainkan nomor ”Festival”, dia kembali berkumpul dengan rombongannya menanti giliran keluar dari arena. Alur keluar arena juga bergiliran menghindari terjadinya kerumunan.
Inikah standar baru penyelenggaraan konser berpenonton langsung di masa pandemi? Yang jelas, sehari setelah perhelatan Jazz Gunung Bromo 2021, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate menyatakan, konser dan resepsi berskala besar diizinkan digelar dengan ketentuan khusus. Apakah siap?