Mari Kutambal Pakaian Sobekmu!
Para tukang jahit keliling mengisi celah kebutuhan kaum urban. Mereka ”menjemput bola” ke rumah konsumen, memberikan layanan potong-jahit dengan cepat dan murah.
Pekerjaan tukang jahit keliling tampak sepele. Tapi, kehadirannya ternyata banyak dirindukan kaum urban yang tidak punya banyak waktu, termasuk sekadar menambal pakaiannya sobek atau mengganti retsleting jebol.
”Pernah lihat si Topik, Bu? Kenapa dia enggak muncul-muncul, ya?” ujar Diana (40) dengan nada bertanya sekaligus mengeluh kepada sejumlah ibu di sebuah perumahan di Kelurahan Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Yang dimaksud Topik tidak lain tukang jahit yang biasa keliling di kompleks tersebut.
Diana melanjutkan, beberapa pakaian miliknya perlu dipermak. ”Ada rok yang mau digedein. Habis pandemi bikin perut makin gede aja, he-he-he,” tambah Diana, Kamis (23/9/2021).
Diana dan banyak warga lain di Jakarta biasa memakai istilah ”vermak” atau ”permak” untuk pekerjaan memotong celana atau rok, mengecilkan atau melonggarkan pakaian, mengganti retsleting, memasang kancing, dan menambal pakaian yang sobek. Pekerjaan yang terkesan remeh, namun banyak warga tak bisa melakukannya sendiri. Meminta jasa modiste untuk menambal atau memotong pakaian juga terasa berlebihan.
Nah, di sinilah para tukang jahit keliling mengisi celah kebutuhan kaum urban. Mereka ”menjemput bola” ke rumah konsumen, memberikan layanan potong-jahit dengan cepat dan murah. Memotong bagian bawah celana panjang dan merapikannya hanya perlu waktu 10 menit dengan ongkos mulai dari Rp 10.000 hingga lebih dari Rp 25.000.
Jasa seperti ini terbukti sangat dibutuhkan bahkan dirindukan kaum urban. Diana mengaku bertahun-tahun mengandalkan si Topik, tukang jahit langganan, sekadar untuk mengganti kancing pakaian. Begitu si Topik tidak muncul selama pandemi, Diana merasa kehilangan. Dia terpaksa pergi ke kios modiste untuk memperbaiki pakaian dengan ongkos lebih mahal plus waktu pengerjaan berhari-hari.
Tukang jahit keliling juga melayani kebutuhan Ria Damayanti (41) yang sangat sibuk. ”Kehadiran mereka penting banget karena saya dan suami juga enggak bisa menjahit dengan rapi. Selain itu, mesin jahit enggak punya,” ucap ASN lembaga legislatif yang supersibuk itu, Jumat (24/9/2021).
Ria paling sering meminta tukang jahit memasang emblem bendera Merah Putih, nama, dan lokasi di seragam sekolah kedua anaknya. ”Ongkos menjahit atribut sekolah hanya Rp 15.000. Perbaikan pakaian robek Rp 10.000 saja,” tambah warga Ciledug, Tangerang, Banten, itu.
Yonna Kairupan (44) juga sudah lama menggantungkan urusan permak pakaian pada tukang jahit keliling yang biasa lewat di kompleknya. Warga Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat, itu paling sering menggunakan jasa mereka untuk memendekkan gamis, menambal pakaian yang sobek, atau memendekkan celana.
Yonna tinggal mengirimkan pesan kepada tukang jahit lewat aplikasi perbincangan menggunakan ponselnya. Awalnya, ia memanggil tukang jahit, kemudian meminta nomor ponselnya. ”Saya enggak menjahit sendiri soalnya mobilitas tinggi.... Selain itu, saya lebih bahagia (pakai jasa tukang jahit) karena saya bisa doing something more (melakukan kegiatan lain),” ucap penata rias kawakan yang terlibat dalam banyak film itu.
Jasa tukang jahit keliling juga dirindukan Rini Hapsari (43), seorang perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur. ”Sejak pandemi, alhamdulillah enggak ada (baju) yang rusak. Heran juga. Jadi aman. Abangnya juga udah lama enggak lewat sini,” tutur Rini.
Bayangkan jika ada baju yang rusak dan tukang jahit keliling tidak nongol. Rini yang tengah sibuk merawat pasien mesti meluangkan waktu menjahit pakaian. Bagi Rini, urusan permak pakaian bukan perkara sepele.
Meski di rumah ada mesin jahit, ia tidak bisa memotong sendiri celana yang kepanjangan atau memasang sendiri kancing celana yang lepas karena kebutuhan jarum yang berbeda. Apalagi jika bahan atau kain yang digunakan tergolong keras. ”Jadi, tetap saja harus dikasih ke abang permak.”
Rini telah sepuluh tahun menjadi pelanggan tukang jahit keliling. Seperti konsumen lain, ia biasanya mengumpulkan terlebih dahulu pakaian yang akan dipermak. ”Pas abangnya lewat, sekalian ngerjainnya. Bisa punya Bapak, bisa punya Hendro (suami). Jadi, tuh Abang bisa seharian (menjahit),” tambahnya.
Noek Harahap (47), warga yang tinggal di kawasan Jatisari, Jatiasih, Bekasi, sudah cukup lama bergantung pada tukang jahit keliling untuk urusan permak pakaian. Apalagi, Noek tak bisa menjahit. ”Meski cuma jahit bolong atau lepas kancing, kehadiran mereka membantu banget. Kan, bisa ditungguin,” ucap Noek.
Karena tukang jahit keliling tidak diperbolehkan masuk ke dalam kluster perumahan yang ditinggalinya sejak 2008, Noek meminta tolong petugas satpam kluster untuk memanggil tukang jahit keliling yang lewat di sekitar kluster. Biasanya, ia perlu bantuan untuk memasang label di seragam sekolah anaknya, menjahit baju yang sobek, juga memotong celana yang baru dibelinya.
”Kalau jadi orang pendek itu, kalau habis beli celana jins, ’hobinya’ motong celana yang kepanjangan. Dulu ongkosnya sampai Rp 25.000,” katanya seraya tertawa.
Selama pandemi, ia tidak banyak menggunakan jasa tukang jahit keliling karena tidak ada pakaian baru yang ia beli dan tidak ada pakaian lama yang perlu diperbaiki.
Pelanggan Amerika
Tidak hanya ibu-ibu penghuni kompleks perumahan, bapak-bapak anggota TNI, bahkan tentara asal Amerika Serikat yang tinggal di perumahan mewah Simprug Permata Hijau, Jakarta Selatan, juga menjadi pelanggan setia tukang jahit keliling.
Akas (42), penjahit keliling asal Comal, Jawa Tengah, adalah satu dari sekian tukang jahit keliling yang memiliki pelanggan tentara. Saking sering dimintai jasa permak pakaian militer, Akas hafal pangkat para pelanggannya. ”Kan, saya lihat pangkatnya di seragam yang dipermak. Kalau mereka bukan permak baju sobek. Biasanya hanya pasang emblem di lengan, dada, atau kerah,” tutur Akas, Jumat (24/9/2021), di Pulo Kenanga Raya, Grogol, Jakarta Pusat.
Meski sering mengerjakan permak pakaian seragam anggota TNI berpangkat tinggi pelanggannya, Akas mengaku jarang berkomunikasi dengan mereka. Mereka hanya kasih order, Akas mengerjakannya.
Akas maklum dengan kondisi seperti itu. Mungkin mereka memang sedang sibuk atau ingin beristirahat di rumah tanpa gangguan siapa pun. Meski begitu, ada juga pelanggannya di perumahan mewah itu yang justru doyan ngobrol. Dia orang Amerika yang terheran-heran melihat ada jasa permak pakaian.
”Biasanya ngerjainnya sebentar, tapi ngobrolnya lamaaaa.... Dia banyak nanya ini-itu. Dia shooting lagi, karena dia baru lihat yang kayak gini (penjahit keliling),” kata Akas. Pelanggan asal AS itu paling sering memberi order potong bagian bawah celana atau lengan kemeja.
Karena senang melihat dan ngobrol dengan tukang jahit keliling, warga AS itu sering royal memberi upah. ”Misalnya ongkos kerja hanya Rp 20.000 atau Rp 30.000, tapi dia kasih Rp 50.000 atau Rp 100.000, he-he-he,” ujarnya.
Akan tetapi, kesenangan dan cerita-cerita manis itu terhenti sejak pandemi. Akas tidak bisa lagi masuk ke perumahan mewah Simprug Permata Hijau. Hampir semua akses jalan menuju perumahan itu dihalangi portal. Maka, menguaplah sebagian sumber penghasilannya. Nasib lebih baik dialami Yoyok (43), tukang jahit yang biasa keliling di sebuah perumahan di Petukangan Selatan. Akses ke perumahan itu telah dilonggarkan.
”Saya baru masuk kompleks lagi, ya, ini karena abang tukang sapu bilang, saya dicariin ibu-ibu. Saya baru berani masuk sini lagi,” kata Yoyok. Pada siang bolong itu, Yoyok muncul kembali memenuhi panggilan ibu-ibu yang telah lama menjadi pelanggannya.
Mari kutambal pakaian sobekmu! (BSW)