Kisah Tukang Jahit, Kaki Bergoyang Duit Datang
Banyak orang mengira, penjahit keliling hanya jebolan konfeksi rumahan. Kemampuan menjahit mereka dianggap ala kadarnya. Padahal, ada yang mampu membuat penutup tas golf.
Penjahit keliling menyebar dari desa ke kampung-kampung dan kompleks perumahan di kota besar. Mereka berbagi identitas kelokalan dan impian yang sama untuk menaklukkan kerasnya kehidupan. Selama kaki bergoyang, penghasilan untuk keluarga akan berdatangan.
Darwoto (47) dengan cekatan menyongsong tumpukan pakaian lalu menjahitnya. Ganti karet, potong jins, dan menyambung sobekan, masing-masing tuntas kurang dari 5 menit saja. Hawa masih segar saat ia menjejakkan kakinya mundur maju di pijakan mesin jahit.
Ia spontan menyebut Rp 50.000 untuk tarifnya. Warga Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat, itu tak perlu menghitung dengan mengecek ongkos setiap busana yang dijahitnya. ”Sudah biasa,” ujar Darwoto seraya menyambut upah dan terkekeh, Rabu (22/9/2021).
Ia kembali mengincar pelanggan dengan menyusuri gang-gang sempit. Darwoto mewara-warakan kehadirannya dengan klakson manual yang biasa dipakai penjaja es krim. ”Jahit, jahit, permak…,” jeritnya seraya memencet bulatan tuter bersuara fals.
Tampilan Darwoto sekilas kocak. Ia mengenakan topi koboi lebar dengan payung yang siap menaunginya dari terik dan hujan. Mesih jahit dipasang di belakang sepeda motor dengan stiker bertuliskan ”Mari berburu rupiah” melekat di sebilah tripleks.
”Ceritanya, koboi pemburu rupiah. Kecil-kecilan demi mencukupi kebutuhan yang semakin besar,” ucapnya sambil tersenyum. Ia punya tiga anak. Impitan ekonomi dan rendahnya pendidikan pula yang memaksa buruh tani itu tak menampik ajakan sepupu merantau ke Ibu Kota pada tahun 1995.
”Saya kerja di pembuatan konfeksi dan diajari teman dari Pekalongan (Jawa Tengah), menjahit,” ucap lulusan SD asal Banyumas, Jateng, itu. Jejaring tersebut lantas merepresentasikan ekosistem penjahit keliling dengan uluran tangan yang tiada henti terjalin.
”Saya berhenti kerja karena diajak ikut keliling. Teman pakai sepeda yang disambung gerobak. Saya di belakang naik sepeda juga,” ucapnya. Lambat laun setelah mahir, ia berputar-putar sendiri. Selang tiga tahun, Darwoto bisa membeli sepeda motor.
Setiap hari, ia mengumpulkan rata-rata Rp 50.000. Jumlah itu anjlok dibandingkan sebelum pandemi atau lebih dari Rp 100.000. Bagaimanapun, Darwoto melakukan apa saja demi keluarga, terutama anak-anaknya agar bisa mengenyam pendidikan tinggi.
”Anak sulung sedang skripsi di UIN Purwokerto (Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri). Sama juga anak tengah baru masuk di sana,” katanya. Sementara, anak bungsu Darwoto duduk di SMK di Bekasi dengan program studi farmasi.
Di Duren Sawit, Jakarta, relasi serupa dilakoni Reso (48). Urban yang mengadu nasib sejak tahun 2005 itu juga berasal dari Pekalongan. ”Banyak penjahit dari Pekalongan karena usaha konfeksinya subur. Tadinya, pegawai lalu bisa menjahit,” ucapnya.
Ia ikut juragan konfeksi di Pekalongan dengan upah Rp 300.000 per minggu. Reso bertolak ke Jakarta lantaran taraf hidupnya tak juga berubah. ”Sekarang, pendapatan saya Rp 100.000 per hari. Dapur tetap ngebul,” ucapnya sambil tersenyum.
Meski pendapatan meningkat, ia menganggap jumlah itu sekarang pas-pasan seiring masuknya anak kedua ke perguruan tinggi. ”Ambil jurusan sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan (Yogyakarta). Itu pun dapat beasiswa,” kata Reso yang berupaya menyediakan pendidikan setinggi mungkin untuk ketiga anaknya.
Roni (47) turut menjajal peruntungannya. Suara penjahit asal Pekalongan itu membelah siang yang sepi di kompleks perumahan. ”Permak jins…, permak…,” ucapnya sembari mengayuh gerobak mesin jahit di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
Setiap hari, Roni mendapatkan setidaknya Rp 100.000. Dengan penghasilan itu, ia bisa membiayai kuliah anak pertamanya. ”Alhamdulillah, asal ada kemauan pasti ada rezeki. Modal saya hanya keliling dan beli peralatan jahit dua minggu sekali,” katanya.
Mengaveling permukiman
Di Pekalongan, Roni bekerja di usaha konfeksi, tapi tak puas dengan upahnya. Ia merantau dan memikirkan profesinya. Pilihan jatuh pada penjahit keliling mengingat beberapa teman sekampung lebih dulu menekuninya.
Ia membeli gerobak mesin jahit seharga Rp 1,5 juta untuk dimodifikasi dengan sepeda BMX yang dipakai sampai sekarang di Legoso, Ciputat. Rutenya tak banyak berubah karena setiap permukiman sudah ada yang mengaveling. ”Mereka orang Pekalongan juga,” ujarnya.
Menurut Roni, setidaknya ada 30-40 penjahit keliling asal Pekalongan di Ciputat saja. Sebagian besar penjahit keliling berasal dari Kecamatan Kesesi dan Kecamatan Kajen, Pekalongan.
Roni menceritakan, perantau asal Pekalongan yang merintis usaha jahit keliling di Jabodetabek berasal dari Bojong, Kecamatan Kajen, yang berbatasan dengan Kesesi. Tapi, ia tak tahu persis namanya. Orang itu yang pertama membuat gerobak jahit modifikasi dengan sepeda. Ternyata, usahanya berhasil. Dari situ, sebagian perantau Pekalongan mengikuti jejaknya.
Sejumlah penjahit keliling bukan pula pengais rupiah dengan hasil abal-abal. Akas (41), asal Pemalang, Jateng, umpamanya, punya pelanggan perusahaan asuransi yang memesan tas suvenir, hingga warga Amerika Serikat yang tinggal di perumahan mewah Permata Hijau, Jakarta.
Seperti penjahit asal Pemalang, Pekalongan, dan Brebes pada umumnya, ia belajar menjahit dengan magang di usaha konfeksi kakaknya. Sejak kecil mencoba menjahit, Akas pun lumayan mahir.
Akas yang sudah sekitar 25 tahun menggeluti pekerjaannya terus belajar dengan memanfaatkan teknologi dengan ponsel. Beberapa waktu lalu, ia mendapat pesanan tutup tas golf. Ia meminta dikirimkan video pembuatannya. ”Saya juga belajar dari internet,” ujar Akas sambil menunjukkan tutup tas yang ongkos jahitnya Rp 200.000 itu.
Karakter daerah
Demikian pula Majudin (63) asal Pemalang yang biasa mangkal di Grogol Utara, Jakarta. Ia pernah menjadi penjahit andalan di perusahaan besar yang mengekspor baju ke Amerika Serikat. Tak heran, ia menjadi penjahit khusus pembuat baju contoh untuk ditawarkan ke perusahaan raksasa dunia.
Sejumlah penjahit pun bersiasat demi meraih lebih banyak pelanggan. Sejak tiga tahun lalu, Akas membuka jasa sampai pukul 21.00. Pelanggan membawa baju pada pagi hari dan mengambilnya seusai bekerja. ”Mereka waktunya hanya itu, ya, sebagai penjual jasa, harus nunggu,” lanjut Akas.
Melihat pasar yang lumayan besar, Adek (42), asal Pekalongan khusus menyediakan permak sejak sore hingga tengah malam. ”Pagi sampai siang, saya bantu istri jual makanan,” kata penjahit yang sering mangkal di Jalan Pulo Kenanga Raya, Jakarta, itu.
Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, berpendapat, masyarakat acap kali memperoleh pekerjaan lewat jejaring sosial. ”Termasuk, asal daerah. Profesi juga bisa menjadi karakter daerah tertentu. Penjahit keliling itu profesi kreatif yang jeli membaca kebutuhan,” katanya.
Keahlian tersebut menjadi kekuatan yang disosialisasikan terus-menerus, baik antarkeluarga, generasi, maupun jejaring sosial. ”Penjahit keliling bagian dari sektor informal yang menyokong kehidupan kota. Mereka menjahit baju sekaligus merajut relasi,” katanya.