Hari Statistik: Momen Percepatan Satu Data Indonesia
Di tengah banjir informasi yang sering kali disusupi kabar bohong dan tidak terverifikasi, masyarakat mulai mempertimbangkan data statistik sebagai rujukan.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Peringatan Hari Statistik Nasional setiap 26 September menjadi momen yang tepat untuk mengakselerasi program Satu Data Indonesia. Apalagi, publik menunjukkan animo pada pemanfaatan data yang disediakan pemerintah untuk kebutuhan pendidikan dan usaha.
Data statistik menjadi bagian penting dalam kebijakan tata kelola Satu Data Indonesia atau SDI, yang tercetus melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 dan disahkan Presiden Joko Widodo pada 12 Juni 2019.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, data statistik diartikan sebagai keterangan berupa angka yang memberikan gambaran dari ciri-ciri, kegiatan, dan keadaan masyarakat. Oleh karena itu, pengumpulan data statistik dari berbagai instansi menjadi bagian penting dari program SDI. Inisiatif pemerintah ini berupaya untuk mewujudkan tata kelola data yang terstandardisasi dan terpadu. Harapannya, tidak ada lagi tumpang tindih atau perbedaan data antar-instansi.
Menjejak tahun ketiga, progam SDI sudah dikenal publik meskipun belum menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Paling tidak hal ini tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas pekan ini. Terpotret 27 persen publik telah mengetahui program SDI. Kalangan berpendidikan tinggi dan kelompok usia di atas 60 tahun menunjukkan kecenderungan telah mengetahui program ini dibandingkan kategori lain.
Sebanyak 3,7 persen publik bahkan pernah mengakses data melalui laman Data.go.id, yaitu portal resmi SDI yang dikelola oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan terbuka untuk umum.
Hingga 22 September 2021, tercatat 73 kementerian dan lembaga (K/L) yang hadir dan 17 K/L yang tidak hadir dalam daftar data identifikasi. Dari daftar tersebut, baru 35 persen K/L yang sudah mengisi formulir.
Potret tersebut dapat dimaknai bahwa diseminasi informasi program SDI belum dikenal oleh semua lapisan masyarakat. Sebanyak 73 persen responden belum mengetahui program SDI, khususnya masyarakat berpendidikan dasar-menengah, demikian pula kelompok masyarakat usia produktif.
Tidak hanya itu, komitmen setiap lembaga menjadi bagian dari SDI juga dibutuhkan untuk segera menghadirkan kepaduan data. Selain untuk kebutuhan pembuatan kebijakan pemerintah yang strategis, kepaduan data juga bermanfaat untuk masyarakat luas.
Masyarakat data
Urgensi ini tidak lepas dari animo publik dalam pemanfaatan data statistik. Sebanyak 23,9 persen responden menyatakan pernah mengakses ataupun menggunakan data statistik dari kementerian, lembaga, atau Badan Pusat Statistik (BPS). Hampir 10 persen memanfaatkannya untuk kebutuhan pekerjaan dan usaha.
Data statistik juga dimanfaatkan untuk kebutuhan pendidikan. Animo yang besar terutama ditunjukkan oleh kelompok usia di bawah 23 tahun. Begitu pula kebutuhan data statistik untuk menambah pengetahuan yang terekam di hampir setiap kalangan.
Hasil jajak pendapat ini menyumbang narasi penting dalam konteks kedekatan data dengan masyarakat. Data tidak lagi eksklusif dikonsumsi oleh kalangan ”atas”, tetapi juga masyarakat umum. Di tengah banjir informasi yang sering kali disusupi kabar bohong dan tidak terverifikasi, masyarakat mulai mempertimbangkan data statistik sebagai rujukan.
Animo masyarakat terkait data statistik juga tampak dari tren kunjungan ke situs bps.go.id yang naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016, jumlah kunjungan ke laman BPS tidak lebih dari 3,8 juta kunjungan. Namun, empat tahun berselang, BPS membukukan 17,9 juta kunjungan sepanjang tahun 2020. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun 2019. Tak dapat dimungkiri, kondisi pandemi membuat semua kegiatan dilakukan secara daring, termasuk pencarian data statistik yang disediakan BPS.
Direktur Diseminasi Statistik BPS Pudji Ismartini menyampaikan, peningkatan kunjungan ini juga tidak lepas dari komitmen BPS untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Upaya yang dilakukan, di antaranya, adalah penambahan konten dan pemutakhiran infrastruktur situs.
Peningkatan jumlah konten didukung oleh koordinasi kerja yang baik antara para produsen data dan ketepatan waktu rilis. Kini, tiap tahun BPS memublikasikan 200-an judul, 100-an judul berita resmi statistik, serta ribuan judul tabel statistik yang dapat diakses secara gratis.
Dukungan infrastuktur juga diperkuat sehingga dapat memberikan layanan akses 24 jam dan kepastian keamanan situs. Sejak 2017, BPS juga menggunakan situs web 4.0 yang mengusung kemampuan interoperabilitas data sehingga seluruh konten BPS dapat dibagipakaikan antarsistem.
Dalam konteks program SDI, BPS pun telah mengeluarkan dua peraturan yang menjadi pedoman dalam standardisasi data statistik serta struktur baku metadata statistik sehingga data menjadi lebih mudah dan tepat untuk dimaknai.
Animo masyarakat pada pemanfaatan data tersebut menjadi pelecut untuk percepatan program SDI. Tidak hanya itu, keterpaduan data juga akan menjadi pedoman kebijakan strategis pemerintah yang berlandaskan data terstandar. Perbaikan tumpang tindih data kependudukan, data kesejahteraan sosial, dan data UMKM, misalnya, makin mengemuka di tengah pandemi Covid-19.
Laporan Kompas juga turut menyebut ketidakpaduan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Padahal, DTKS makin dibutuhkan untuk distribusi bantuan sosial (bansos) di tengah pandemi Covid-19. Jumlah lima bansos pemerintah saja mencapai Rp 64,67 triliun. Apabila didistribusikan tepat sasaran, bantuan itu bisa menjangkau 52,8 juta keluarga atau hampir 69 persen dari total keluarga nasional.
Akhirnya, data yang padu dan terstandar mengambil peran fundamental dalam pengambilan keputusan. Tidak hanya untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat, data pun turut andil dalam mencerdaskan bangsa. (LITBANG KOMPAS)