Macet Sekarang Tak Mengapa, Asal Pakai Mobil Listrik
Demam mobil listrik bak mimpi yang terwujud cepat. Jika pembangunan transportasi publik perkotaan selambat siput, mobil bebas emisi itu bersama mobil konvensional kelak merajai jalanan. Bom waktu baru bagi dunia.
Sepanjang tahun lalu hingga sekarang, pasar otomotif yang lesu terimbas pandemi Covid-19 bukan halangan bagi para produsen menghujani pasar dengan kendaraan-kendaraan berbahan bakar listrik. Mobilnya didesain menarik, tanpa asap, dan minus suara. Kian futuristis dengan terobosan teknologi mesin terbaru maupun kelengkapan fitur di dalamnya.
Karakter-karakter itu memunculkan hasrat publik untuk memiliki mobil listrik. Tak heran apabila di benak sebagian kaum urban tertanam gambaran bahwa kehadiran mobil listrik di garasi rumah bakal membawa hidup mereka naik tingkat. Para pemilik mobil listrik ini merasa menjadi bagian dari warga urban yang punya andil mencegah dunia makin rusak.
Penggunaan listrik sebagai bahan bakar berbagai jenis mesin telah direstui dan didukung publik. Apalagi sejak muncul kesadaran bahwa bahan bakar fosil adalah sumber pencemaran lingkungan. Mulai dari aktivitas penambangan, proses produksi, sampai saat digunakan, bahan bakar fosil menyumbang kerusakan pada tanah, air, dan udara. Pemanasan global dan bolongnya lapisan ozon yang mengancam hidup umat manusia saat ini terkait erat dengan masifnya eksploitasi sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui ini.
Akan tetapi, listrik saat ini pun bukan berarti segalanya lebih baik. Sampai sekarang, sumber pembangkit listrik masih bergantung bahan bakar fosil. Namun, seiring waktu, isu ini dikikis mulai maraknya pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan, antara lain berbasis air, angin, serta cahaya matahari. Sudah banyak pula negara yang berproses menuju nol penggunaan batubara untuk pembangkit listriknya dalam beberapa tahun ke depan.
Perkembangan pesat teknologi pembangkit listrik dan kendaraan listrik, menurut prediksi Bloomberg, membuat nasib industri bahan bakar fosil dan semua produk mesin yang bergantung padanya segera berada di ujung tanduk. Terlebih, persoalan teknologi baterai kendaraan listrik berkembang menuju arah yang benar. Setidaknya dari sisi durasi pemakaian, baterai EVs sekarang lebih tahan lama dan pengolahan usai habis masa pakai lebih ramah lingkungan. Di masa depan, terobosan baru terkait isu baterai ini terus diupayakan terwujud.
Fokus utama riset kami adalah implikasi potensial pada volume lalu lintas dari penggunaan mobil listrik yang lebih besar.
Bloomberg pun menyatakan, era 2020-an adalah masa kebangkitan kendaraan listrik (electric vehicle/EVs). Di awal dekade ini, prediksi harga EVs tanpa subsidi sudah hampir setara dengan mobil pribadi konvensional keluaran paling anyar, tidak meleset. Di Indonesia saja, tahun 2021 ini, mobil listrik termurah di pasaran seharga sekitar Rp 400 juta per unit. Sejumlah produsen menjanjikan makin murah pada tahun-tahun mendatang.
Pada 2023, Bloomberg mengalkulasi keberadaan EVs dapat menggantikan konsumsi bahan bakar minyak bumi sebanyak 2 juta barel per hari. Pada 2040, sebesar 35 persen mobil baru di dunia ini adalah kendaraan dengan colokan listrik di bodinya.
Kebijakan tidak seimbang
Masyarakat mulai gandrung dengan kendaraan tanpa asap dan senyap ini. Namun, kalau hasrat penggunaan EVs secara individu itu nantinya justru berkembang pesat, ada potensi besar dunia akan mengulang kembali kegilaan penggunaan bahan bakar fosil dalam versi berbeda.
Mari melihat lagi sumber pembangkit tenaga listrik. Permintaan pasokan listrik pasti meningkat seiring penambahan jumlah penduduk dan aktivitasnya. Ditambah gaya hidup hijau yang sedang menginfeksi makin banyak orang, termasuk pemakaian EVs, pembangkit-pembangkit listrik baru menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi setiap negara.
Nantinya, sekadar memanen air, gelombang laut, angin, dan sinar surya secara alami mungkin tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan listrik. Desakan merekayasa lingkungan, seperti pembuatan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga (PLT) air, pasti menguat. Untuk PLT surya, angin, gelombang laut, entah bentuk-bentuk rekayasa apa yang akan muncul. Apakah dapat dijamin rekasaya lingkungan di era modern ini tidak akan berdampak buruk? Memitigasi segala kemungkinan sejak dini tak henti dilontarkan dalam forum-forum resmi yang membahas nasib Bumi.
Terkait dengan mitigasi bencana pascakonsumsi bahan bakar fosil ini turut perlu diperhitungkan kota-kota yang mulai merasakan euforia kendaraan listrik di wilayahnya.
Baca juga : Kabul dan Legenda ”Phoenix” yang Bangkit dari Kehancuran
Yang lantas memantik waswas adalah negara seperti Indonesia yang menyatakan ikut andil aktif dalam industri energi hijau dan menjadi produsen baterai kendaraan listrik, tetapi sejauh ini tidak terlihat nyata berpihak pada upaya mengendalikan polusi perkotaan. Polusi perkotaan, seperti di Jakarta, sebagian besar disumbang dari asap kendaraan bermotor dan lebih tepatnya adalah kendaraan bermotor pribadi yang masih mendominasi kawasan urban terbesar di Indonesia.
Indonesia juga lemah dalam pembangunan sistem transportasi publik perkotaan. Pembangunan layanan angkutan umum secara besar-besaran baru tampak di ibu kota negara kurang dari 10 tahun terakhir. Itu pun setelah ancaman kemacetan total, kerugian puluhan triliun rupiah, dampak serius pada kesehatan publik, dan tak hentinya sorotan tajam di kancah internasional.
Di kota-kota lain, transportasi publik baru sebatas ada. Bus-bus bersih mentereng paling hanya wira-wiri di ruas-ruas utama. Selebihnya, yang tersedia adalah sekelas angkot atau mikrolet, jenis angkutan umum yang dioperasikan perorangan. Semua masih jauh dari target terciptanya layanan publik berbasis sistem integrasi antarmoda angkutan umum yang diorkestrasi baik oleh pemerintah. Layanannya menjangkau pelosok kawasan urban dengan menjamin keamanan serta kenyamaman warga saat bermobilitas.
Padahal, di luar daerah perkotaan eksisting, Indonesia memiliki program pengembangan 10 kawasan perkotaan baru. Baik yang sudah ada maupun pendatang baru, pertumbuhan kawasan urban di negeri ini tak menunjukkan tanda-tanda melambat. Ekses langsungnya adalah peningkatan pergerakan warga yang terjadi merata. Sadar atau tidak, kendaraan pribadi masih menjadi satu-satunya yang siap menjawab kebutuhan warga itu.
Baca juga : Menolak Terhanyut dalam Pemeringkatan Kota-kota Dunia
Di Ibu Kota, Badan Pusat Statistik DKI mencatat. pada 2015 saja ada 1,4 juta pelaju dari daerah sekitar ke Jakarta setiap hari. Jumlah itu menambah sesak kota yang telah dihuni 10,56 juta orang ini. Layanan transportasi publik berbasis rel (MRT, KRL, dan LRT) dan berbasis jalan berupa jaringan bus Transjakarta baru melayani 24 persen dari total perjalanan orang di Jakarta. Selebihnya, mobilitas warga terserap keberadaan 18,6 juta kendaraan bermotor pribadi.
Kebijakan ganjil genap yang hanya membolehkan mobil pribadi berpelat nomor genap melaju di ruas-ruas jalan tertentu di tanggal genap dan sebaliknya belum mampu menekan jumlah kendaraan bermotor pribadi mengaspal setiap harinya. Kemacetan masih menjadi momok di Jakarta. Selama pandemi, selain karena adanya berbagai pembatasan, kendaraan pribadi makin menjadi pilihan utama warga untuk bergerak.
Di tengah kondisi tersebut, rayuan EVs seperti tidak bisa ditolak. Dengan mobil listrik, kampanye agar warga beralih menggunakan transportasi publik dan meninggalkan kendaraan pribadi agar tidak semakin mengotori lingkungan kehilangan ”nyawanya”.
Penelitian satu dekade silam menunjukkan, warga Norwegia antusias ingin memiliki EVs. Christian Andreas Klöckner dan dua rekannya dari Norwegian University of Science and Technology, Trondheim, Norwegia, menyatakan, hasil penelitian mereka cenderung menunjukkan di tingkat makro karena cara listrik dihasilkan, dampak maraknya mobil listrik di lingkungan global bisa menjadi lebih buruk dibandingkan dengan mobil konvensional yang modern dan hemat bahan bakar.
Meskipun demikian, di area yang lebih kecil, seperti kota, mobil listrik berpeluang mengurangi produksi emisi lokal, juga polusi suara karena tingkat kebisingan mesinnya yang amat rendah. ”Namun, fokus utama riset kami adalah implikasi potensial pada volume lalu lintas dari penggunaan mobil listrik yang lebih besar,” tulis Klöckner.
Baca juga : Antara Pantai Pasir Putih Kita Maju dan Kisah Teluk Tokyo
Klöckner menunjukkan kecenderungan orang menambah jumlah mobil yang dimiliki dengan membeli mobil baru. Tujuan mengganti mobil konvensional ke mobil listrik belum tercapai. Penggunaan kendaraan pribadi menunjukkan tren naik setelah rumah tangga-rumah tangga yang menjadi responden risetnya membeli mobil baru, termasuk mobil listrik.
Penelitian terbaru dari Institute for Research in Technology (IIT) di Madrid, Spanyol, yang terbit pada 8 September 2020 mendukung hasil riset di Norwegia. Teknologi mobil listrik terbaru yang memanjakan konsumen memikat masyarakat untuk menggunakannya sehari-hari. Sangat mungkin kelak setiap rumah tangga memiliki lebih dari satu mobil listrik.
Rekomendasi dari hasil riset di Madrid menyatakan, kalaupun menjadi alat bertransportasi pribadi sehari-hari, sebaiknya dikembangkan desain mobil fungsional yang mungil dan tidak memakan tempat parkir serta konsumsi listriknya pun kecil.
Di luar itu, demi kebaikan bersama menanggapi rongrongan pemanasan global dan kerusakan lingkungan, penggunaan kendaraan pribadi, apa pun bahan bakarnya, tetap harus dikendalikan. Kendaraan berbahan bakar nonfosil disarankan diutamakan untuk pengembangan moda angkutan umum.
Kedua kebijakan ini sepatutnya bersinergi dan tak terpisahkan dari kebijakan pengembangan penggunaan energi terbarukan. Mengomunikasikan esensi kebijakan tersebut kepada masyarakat luas agar terbentuk kesadaran bersama menjadi amat penting. Itu agar tiap individu tak merasa bahwa dirinya dan dunia ini baik-baik saja saat terjebak macet di dalam mobil listriknya.
Baca juga : Toko ”Pop Up”, ”Cloud Kitchen”, hingga Ruang Terbuka Penyelamat Mal