Empat Daerah Siap Bayar ”Fee” Buang Sampah ke Lulut Nambo, Bogor
Tempat Pemrosesan dan Pengolahan Akhir Lulut Nambo seluas 55 hektar merupakan proyek jangka panjang Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Tempat Pemrosesan dan Pengolahan Akhir Sampah atau TPPAS Lulut Nambo di Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, siap digunakan Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Tangerang Selatan pada awal 2022. Meski memiliki tempat pembuangan sampah baru, setiap pemerintah daerah tetap berupaya mengelola sampah dari lingkungan rumah tangga.
TPPAS Lulut Nambo seluas 55 hektar merupakan proyek jangka panjang Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dari luasan itu, 15 hektar di antaranya akan menerapkan maximum yield technology (MYT).
Kepala Bidang Persampahan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Ismambar Fadli, Kamis (23/9/2021), mengatakan, Pemerintah Kabupaten Bogor akan mengunakan TPPAS Lulut Nambo sebagai komitmen bersama menjaga lingkungan bersih dan hijau serta energi terbarukan.
MYT bisa mengekstraksi potensi energi maksimum dari sampah rumah tangga dengan kombinasi teknologi pengolahan mechanical separation dan biological drying yang menghasilkan refuse derived fuel (RDF) atau bahan bakar padat (briket), kompos, biogas, listrik, dan produk energi lain.
Melalui teknologi dari perusahan asal Jerman, Euwelle Environmental Technology GmbH, itu, wilayah Jawa Barat diharapkan menjadi provinsi ramah lingkungan. Setiap sampah harus didaur ulang serta memiliki manfaat dan bernilai ekonomi.
Untuk sementara, TPPAS Lulut Nambo direncanakan hanya akan menggunakan 40 persen lahan untuk menampung sampah dari Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Tangerang.
Sampai saat ini, Pemkab Bogor masih menggunakan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga dan sejumlah TPS reuse, reduce, dan recycle (3R) untuk menampung 2.700-3.000 ton sampah per hari. Sampah-sampah itu didominasi sampah rumah tangga.
”Sesuai perjanjian dengan Pemprov Jawa Barat, sampah yang akan kami kelola dan kirim ke TPPAS Nambo maksimal sekitar 600 ton per hari dengan tipping fee Rp 125.000 per ton per hari,” kata Fadli.
Sementara itu, Kepala Bidang Persampahan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bogor Febi Darmawan mengatakan, meski masuk dalam perjanjian penggunaan TPPAS Lulut Nambo sebanyak 400 ton per hari, pihaknya akan lebih fokus pada penguatan program 3R dari hulu, yaitu pengelolaan sampah dari lingkungan rumah tangga.
Setiap harinya, timbunan sampah di Kota Bogor berkisar 500-550 ton. Selain membuang sampah ke TPSA Galuga, DLH Kota Bogor juga mengelola sampah itu di 29 TPS 3R untuk diproses menjadi kompos, budidaya maggot, dan lainnya.
Menurut Febi, residu sampah dari TPS 3R sebanyak 20 persen. Satu hingga dua minggu sekali, petugas DLH Kota Bogor mengirim sampah itu ke TPSA Galuga. Agar pengelolaan sampah maksimal terkelola dari hulu, DLH mengajak warga untuk aktif terlibat melalui bank sampah.
Warga yang mengumpulkan sampah rumah tangga, mengirim atau memberitahu petugas DLH untuk menjemput sampah akan didata untuk mendapat uang tabungan yang bisa dimanfaatkan untuk membeli sembako.
“Kami upaya untuk dari hulu mengelola sampah di TPS 3R. Residunya kami kirim kirim ke TPAS Galuga. Begitu pula melalui TPPAS Nambo, kami akan kelola terlebih dahulu sampahnya dari hulu. Jadi, 400 ton sampah per hari itu tidak semuanya kami kirim ke sana,” kata Febi.
Langkah itu komitmen Kota Bogor agar semakin bebas dari sampah. Febi melanjutkan, selain alasan pengelolaan sampah 3R yang bernilai ekonomis, ada pertimbangan lain Pemkot Bogor tidak langsung membuang sampah basah atau sampah yang belum terkelola di TPSA Galuga, yaitu meminimalisir kapasitas berlebih di TPSA itu.
Begitu pula di TPPAS Lulut Nambo, meski mendapat jatah 400 ton per hari, tidak semua sampah hasil residu atau sampah basah akan dikirim seluruhnya. Itu tak lepas dari beratnya anggaran untuk membayar biaya pengolahan sampah atau tipping fee sebesar Rp 125.000 per ton per hari.
”Belum tahu juga akan berapa ton ke sana (dikirim ke TPPAS Lulut Nambo). Ada dampak, otomatis akan ada anggaran yang harus dikeluarkan Pemkot Bogor. Ada dan siap atau tidak menganggarkan itu,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok Ety Suryahati mengatakan, setelah melakukan dua kali perjanjian dengan Pemprov Jawa Barat, Pemkot Depok akhirnya memberikan sinyal perizinan membuang sampah di TPPAS Lulut Nambo. ”Februari 2022 bisa memakai TPPAS Nambo. Saat ini, kondisi TPA Cipayung sudah overload. Setiap hari 1.300 ton sampah ditampung di TPA Cipayung,” katanya.
Menurut rencana, DLHK Kota Depok akan membuang sampah ke TPPAS Lulut Nambo sebanyak 320 ton per hari. Dengan begitu, selain mengurangi beban sampah, TPA Cipayung juga akan menjadi sentra pengelolaan sampah, seperti menjadi pupuk.
Meski begitu, kata Ety, sejalan dengan program Pemkot Depok yang ingin menjadi kota hijau dan bersih, penanganan sampah tidak bisa sekadar dari alur penanganan di TPS. Perlu ada upaya lebih, seperti melibatkan warga mengelola sampah sedari awal di rumah. Untuk itu, Pemkot Depok menguatkan program bank sampah.
Data saat ini, Kota Depok memiliki 319 bank sampah di 925 RW. Bank sampah ini diharapkan mampu memberikan nilai guna dan ekonomi. Upaya itu juga diharapkan mampu mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA Cipayung.