Bertaruh Nyawa demi Buang Hajat di Kabupaten Bekasi
Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam kajian tahun 2020 mendapati sekitar 10.000 keluarga yang rumahnya belum memiliki jamban sehat. Mereka masih buang air besar di sungai sehingga mencemari lingkungan.
Meski membuang air besar menjadi bagian dari keseharian hidup manusia, hal itu tidak sederhana bagi ribuan keluarga di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Ketiadaan jamban di rumah membuat mereka tak jarang bertaruh nyawa untuk buang air besar di pinggir sungai.
Jalan Inspeksi Kalimalang, di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, selalu riuh rendah dengan kendaraan dari dan ke kawasan industri terbesar di Tanah Air itu. Ironisnya, di tengah keriuhan itu masih banyak dijumpai bilik jamban di pinggiran Sungai Kalimalang, tempat warga mandi dan membuang air besar.
Bilik jamban tanpa atap itu berukuran 1 meter x 1 meter. Dindingnya? Ada yang terbuat dari terpal, karung plastik, tripleks, seng, serta bekas spanduk atau baliho. Warga menyebutnya jamban ”helikopter”.
”Jangan foto, Mas. Entar aja,” kata Dinda (35), dari balik bilik berdinding seng itu, Rabu (1/9/2021).
Perempuan Desa Pasirsari, Cikarang Selatan, sore itu, sedang membersihkan diri. Seusai mandi dan bersolek, ia mempersiapkan peralatan perawatan kecantikan sembari menanti mentari terbenam. Perempuan itu bakal berangkat ke tempatnya bekerja di salah satu tempat hiburan yang tak jauh dari desanya saat hari gelap.
Perempuan kelahiran Karawang tersebut sudah rutin menggunakan bilik itu untuk mandi hingga buang hajat selama dua tahun terakhir. Bilik dan rumah yang ia tempati merupakan rumah kontrakan milik salah satu warga sekitar.
”Toiletnya, emang seperti ini. Kalau mau cari yang bagus, mahal,” ucapnya.
Masih di sepanjang saluran Kalimalang, tepatnya di Desa Mangunharja, Cikarang Selatan, sebagian jamban warga berupa bilik kecil juga berdiri di atas saluran Kalimalang. Bilik warga yang digunakan untuk buang hajat itu tak dilengkapi dengan tempat penampung kotoran. Otomatis, kotoran dari bilik itu dibiarkan hanyut bersama air Kalimalang.
Baca Juga: Elegi di Sungai Bekasi
Isah (60), salah satu warga Desa Mangunharja, pengguna jamban helikopter, mengatakan, dia sudah tinggal di bantaran Kalimalang selama 20 tahun. Perempuan yang memiliki dua anak itu nyaman menggunakan bilik itu lantaran tak mampu membangun jamban sehat.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi, warga yang hanyut dan tenggelam saat buang air besar merupakan kejadian berulang.
Perempuan itu merupakan warga Bekasi yang dahulu kala menetap di salah satu wilayah di Cikarang yang kini telah berubah jadi pusat aktivitas industri. Uang ganti rugi lahan yang didapatkan saat itu hanya cukup untuk membangun rumah.
”Dulu tidak sempat berpikir untuk buat toilet. Rata-rata warga sini dulu toiletnya memang seperti ini,” katanya.
Penggunaan jamban dari bilik kecil itu tak hanya mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan warga, tetapi kondisi bilik itu juga membahayakan warga terutama anak-anak. Jika tak berhati-hati, anak-anak bisa saja terperosok ke aliran Kalimalang dan hanyut terbawa arus.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, warga yang hanyut dan tenggelam saat buang air besar merupakan kejadian berulang. Pada 5 Maret 2021, tepatnya di Kampung Poncol Sawah, Desa Telaga Murni, Cikarang, seorang bocah berinisial DL (5) tewas setelah hanyut terbawa arus Kalimalang. Bocah itu diduga terperosok ke aliran sungai ketika akan buang air besar di bilik yang berdiri di atas saluran Kalimalang.
BPBD Kabupaten Bekasi pada 23 Agustus 2021 juga mencatat ada dua anak yang tenggelam di Sungai Citarum. Dua bocah dari Desa Bantar Jaya, Pebayuran, yang tewas itu berinisial P (8) dan I (9). Petaka tewasnya dua bocah itu diduga berawal saat salah satunya buang air besar di tepi Citarum dan terpeleset. Teman sebaya yang melihat korban tenggelam kemudian ikut menyebur ke sungai untuk menolong. BPBD menemukan kedua korban beberapa jam kemudian dalam keadaan meninggal.
Sumber air baku
Kebiasaan sebagian warga di Bekasi yang masih buang air besar sembarangan termasuk di Saluran Tarum Barat atau Kalimalang turut berperan memperparah pencemaran air Kalimalang. Air dari saluran itu merupakan sumber air baku air minum warga Jakarta dan sebagian Bekasi.
Baca Juga: Air Baku Tarum Barat Kian Tercemar
Pasokan air Kalimalang bernilai strategis karena menjadi tumpuan utama warga Jakarta mendapatkan air bersih dari jaringan pipa. Pasokan air baku dari Kalimalang per 2018 sebanyak 532 juta meter kubik. Selanjutnya Perusahaan Air Minum Jaya selaku operator membagikan air itu ke mitra swastanya, yakni 389 juta meter kubik untuk PT Aetra dan 193 juta meter kubik untuk PT Palyja.
Air Kalimalang yang menjadi sumber utama air baku DKI kualitasnya beberapa tahun sebelumnya tak menunjukkan perbaikan.
Pada 22 November 2019, Kompas pernah mengambil sampel air Kalimalang dan mengujinya di laboratorium PT ALS Indonesia di Sentul, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan oleh tenaga laboratorium PT ALS Indonesia di ruas aliran Kalimalang dekat Jalan Mayor Madmuin Hasibuan, Kota Bekasi, pada 22 November 2019 pukul 14.30. Saat sampel diambil, cuaca dalam kondisi hujan rintik. Beberapa jam sebelum sampel diambil, wilayah Bekasi diguyur hujan deras sejak pukul 11.00 (Kompas.id, 3/2/2019).
Hasil pengujian sampel air Kalimalang yang diambil Kompas itu menunjukkan konsentrasi koli tinja sebesar 3.000 jumlah sel (jml)/100 mililiter (ml). Konsentrasi itu pun melampaui baku mutu koli tinja untuk air baku untuk air minum, 1.000 jml/100 ml.
Sementara dari catatan Kompas, pada 2018 Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menemukan konsentrasi koli tinja 390.000 jml/100 ml dan 1 juta jml/100 ml di dua titik pengambilan sampel. Sementara baku mutu konsentrasi koli tinja atau escherecia coli (e-coli) menurut Dinas Lingkungan Hidup DKI 1.000 jml/100 ml. Ambang batas ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Air Kalimalang yang menjadi sumber utama air baku DKI kualitasnya beberapa tahun sebelumnya tak menunjukkan perbaikan. Berdasarkan data Dinas LH DKI selama 2012-2017, konsentrasi koli tinja pada air Kalimalang itu paling rendah 5.750 jml/100 ml air dan selebihnya mulai dari 150.000 sampai 340.000 jml/100 ml. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada 2018, sebanyak 1 juta jml/100ml, mencapai 1.000 kali dari baku mutu yang diterapkan Dinas LH DKI, yakni sebesar 1.000 jml/100 ml.
Ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor, Suprihatin, menilai, baku mutu yang diterapkan Dinas LH DKI itu sudah longgar. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 mengklasifikasikan mutu air dalam beberapa kategori. Kelas 1 adalah air dengan kandungan koli tinja 1.000 jml/100 ml, sedangkan baku mutu koli tinja 5.000 jml/100 ml itu masuk Kelas 2, berlaku bagi air yang digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air (Kompas.id, 3/2/2019).
Baca Juga: Stop Buang Air Besar Sembarangan
10.000 keluarga
Pencemaran bahan baku air minum dan perilaku warga yang masih buang air besar sembarangan merupakan pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan pemerintah. Di masa pandemi Covid-19, sanitasi layak merupakan fasilitas penunjang utama yang mestinya dimiliki masyarakat agar pelaksanaan protokol kesehatan bisa berjalan baik di seluruh lapisan masyarakat.
Perbaikan fasilitas sanitasi sebenarnya sudah mendapat perhatian besar dari pemerintah. Pada 2019, alokasi anggaran dari pemerintah pusat mencapai Rp 20 triliun untuk perbaikan sektor vital kesehatan masyarakat itu. Pembangunan sanitasi juga masuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Targetnya, semua orang memiliki kamar kecil layak dan tidak ada lagi praktik buang air besar sembarangan pada 2030.
Di Kabupaten Bekasi, pemerintah daerah dalam kajiannya pada 2020 menemukan kalau jumlah rumah warga di Bekasi yang belum memiliki jamban sehat atau masih buang air besar sembarangan mencapai 10.000 keluarga. Hasil kajian tahun lalu itu jadi dasar pijakan pemerintah daerah untuk menuntaskan perilaku buang air besar sembarangan puluhan ribu warga di daerah itu. Di 2021 ini, pemerintah daerah menganggarkan Rp 23,7 miliar untuk membangun 2.487 jamban di 10 wilayah kecamatan.
Anggaran itu berasal dari dua sumber, yakni dana alokasi khusus (DAK) dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2021. DAK dari pemerintah pusat sebesar Rp 10,9 miliar untuk membangun 1.557 jamban di delapan desa di tujuh kecamatan. Sementara itu, anggaran Rp 12,8 miliar dari APBD Kabupaten Bekasi untuk membangun 930 jamban di tujuh desa yang ada di tiga kecamatan.
”Proyeksi pembangunan jamban ini sampai 2024. Jadi, sepanjang itu diharapkan penggunaan helikopter ini sudah tidak ada lagi,” ucap Kepala Bidang Kawasan Permukiman Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Kabupaten Bekasi Yayan Yuliandi.
Baca Juga: Darurat Sanitasi, Baru Satu Kelurahan di Jakarta Utara Tanpa BABS
Pembangunan jamban sehat bagi warga dilakukan dengan sistem swakelola dengan melibatkan warga sekitar. Artinya, warga yang menerima bantuan itu dapat mengawasi secara langsung agar jamban sehat yang dibangun sesuai spesifikasi yang ditetapkan pemerintah.
Langkah Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menuntaskan perilaku warga yang masih buang air besar sembarangan melalui pembangunan jamban sehat akan terus dilakukan secara bertahap dan ditargetkan tuntas pada 2024. Program ini memberi harapan untuk tak sekadar mencapai target SDGs, tetapi juga bakal berkontribusi penting dalam mengurangi pencemaran bahan baku air minum di Kalimalang. Warga Bekasi juga tidak lagi harus bertaruh nyawa saat menunaikan urusan belakang.