Hal-hal yang berkaitan dengan perdamaian ataupun konflik sesungguhnya tidak hanya terjadi di ruang fisik. Ruang virtual, terutama media sosial, dapat menjadi potret situasi perdamaian dan konflik di antara sesama warga negara. Apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi, tantangan di ruang digital semakin besar.
Derasnya konten-konten negatif dan meningkatnya kejahatan di ruang digital perlu terus diwaspadai karena dapat menjadi alat ampuh untuk memecah perdamaian di masyarakat. Mengingat tingkat literasi digital masyarakat Indonesia juga masih belum cukup tinggi.
Berdasarkan temuan survei Katadata Insight Center (KIC) bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tahun 2020, secara nasional indeks literasi digital di 34 provinsi belum sampai level baik. Dari skor tertinggi 5, indeks literasi digital nasional baru 3,47. Pada tataran global, Indonesia juga berada di papan bawah daya saing digital, yaitu urutan 56 dari 62 negara berdasarkan World Digital Competitiveness Ranking.
Baca juga: Budaya Literasi Masyarakat Belum Terbentuk
Daya saing digital yang rendah membuat Indonesia menghadapi sejumlah ancaman. Tak hanya hoaks dan ujaran kebencian, tetapi juga perundungan, ragam praktik penipuan, hingga radikalisme. Merujuk data Kemenkominfo, ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Dengan data ini, jelas terlihat betapa pentingnya upaya peningkatan literasi digital.
Hentikan pembiaran
Nyatanya, peredaran hoaks atau berita bohong dan konten bermuatan ujaran kebencian masih berseliweran di jagat maya. Hal ini terpotret dari hasil jajak pendapat Kompas pada 7-10 September lalu.
Hasilnya, sebagian besar responden (72,7 persen) mengaku pernah menemukan hoaks atau konten bermuatan ujaran kebencian dalam bermedia sosial. Sepertiga di antaranya bahkan mendapati konten menyesatkan setiap mengakses media sosial. Sementara 28,5 persen lainnya hanya kadang-kadang saja menemukan konten-konten negatif tersebut.
Ketika didalami, hampir setengah responden setidaknya melihat satu hingga lima konten hoaks atau ujaran kebencian di media sosial setiap kali mengaksesnya. Bahkan, 18,1 persen responden mengaku menemukan lebih dari 10 konten hoaks dan ujaran kebencian di media sosial mereka. Artinya, tingkat peredaran konten negatif, bohong, dan menyesatkan masih terbilang tinggi di masyarakat.
Meski demikian, patut diapresiasi tindakan selanjutnya yang dilakukan warganet setelah melihat konten yang dicurigai berisi informasi palsu. Tiga dari sepuluh responden mengaku tiap kali mendapatkan informasi yang dicurigai kebenarannya, akan memeriksa ulang fakta sebenarnya di kanal media massa arus utama (mainstream) atau bertanya kepada orang yang dianggap lebih memahami informasi tersebut. Bahkan, 16 persen responden memberikan klarifikasi di media sosialnya setelah mengecek fakta.
Sayangnya, masih ada sebagian responden (27 persen) yang tidak memedulikan kecurigaan itu dan cenderung membiarkan saja. Sebagian kecil responden (14,8 persen) juga tidak curiga dan malah 1 persen di antara mereka turut menyebarluaskan informasi tersebut. Asumsinya, responden tidak menyadari konten menyesatkan yang diterima karena dikemas sedemikian rupa, entah berupa gambar, video, atau tulisan, yang terjamin kebenaran faktanya.
Sesungguhnya, tiap aksi pelaku ataupun penyebar hoaks dapat diganjar dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kendati UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ”berita bohong dan menyesatkan”, jika dicermati, peraturan ini khusus mengenai hoaks yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik. Sedangkan untuk hoaks yang bermuatan politik, SARA, dan upaya menakut-nakuti, dapat dijerat dengan Pasal 27 dan 29 UU ITE.
Baca juga: Baleg Sepakati Revisi UU ITE Masuk Prolegnas Prioritas 2021
Dalam penegakan hukum terkait hoaks, Polri telah melakukan digital forensik untuk menindaklanjuti laporan pengaduan yang diterima. Melalui digital forensik ini, berita hoaks dapat ditelusuri pelaku yang membuat dan menyebarkannya pertama kali. Tugas selanjutnya yang dinanti masyarakat, tentu saja, keberanian para penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku hoaks yang sudah tertangkap.
Berkenaan dengan aturan tersebut, polisi siber kini selalu melakukan patroli di media massa dan juga menanggapi pengaduan masyarakat atas konten yang menyesatkan di internet. Dari hasil jajak pendapat, lebih dari setengah responden menyatakan kepuasannya terhadap kinerja polisi siber selama ini. Apresiasi dari masyarakat ini dapat kita lihat dari tindakan cepat yang dilakukan polisi siber dalam menanggapi informasi menyesatkan yang sedang viral atau menindaklanjuti pengunggah konten ujaran kebencian.
Media sosial
Tak hanya penegakan hukum, cara ampuh untuk menangkal hoaks dan ujaran kebencian yang utama adalah dengan meningkatkan literasi digital di masyarakat. Tidak jarang perpecahan di tataran akar rumput terjadi akibat hoaks. Seperti yang terjadi pada April lalu, pihak kepolisian menemukan tiga video tawuran yang viral di daerah Karawang, Jawa Barat, yang ternyata adalah hoaks. Padahal, tayangan video yang tersebar luas itu dapat memicu perselisihan antarwarga di daerah tersebut dan berpotensi menelan korban.
Seturut anjuran PBB untuk memperingati Hari Perdamaian Dunia pada 21 September nanti, seluruh warga dunia diajak menghadirkan keadilan dan kedamaian di tengah kondisi pemulihan dari pandemi. Perdamaian dapat diupayakan dengan melawan tindakan kebencian di dunia maya dengan menyebarkan kasih sayang, kebaikan, dan harapan dalam menghadapi pandemi saat ini. Maka, ciptakan perdamaian yang dimulai dari ibu jari.