Menguji "Mantra" Ganjil Genap Puncak
Kepadatan lalu lintas masih terjadi meskipun ganjil genap diterapkan tiap akhir pekan di jalur menuju Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Antrean kendaraan bahkan berlangsung di hari kerja.
Kebijakan ganjil genap pada akhir pekan di Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dinilai efektif menekan potensi kemacetan parah di akhir pekan. Namun, tetap saja, seiring dengan diterapkannya aturan tersebut, kepadatan lalu lintas masih terjadi, baik di akhir pekan maupun di hari kerja. Jika tidak diantisipasi secara dini, ada potensi penyebaran Covid-19 di sepanjang jalur Puncak.
Pada Minggu (12/9/2021), saat petugas memberlakukan skema ganjil genap dan sistem satu arah dari pukul 12.00 hingga pukul 19.00, terjadi antrean kendaraan bermotor hingga sepanjang 10 kilometer (km).
Padahal, pemberlakuan ganjil genap pada minggu kedua akhir pekan kemarin (10-12/9/2021) diiringi penyekatan di 14 titik yang tersebar di Kota/Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi.
Kemacetan bukan satu-satunya isu yang menghinggapi Puncak, tetapi juga kerumunan wisatawan. Patroli dan teguran petugas satpol PP dan polisi memang membubarkan wisatawan di warung-warung dan di pinggiran trotoar. Namun, ketika petugas pergi, tak berapa lama kerumunan kembali terjadi dan masker pun kembali dilepas warga.
Permasalahan lainnya, demi menghindari ganjil genap, polisi mencatat ada 12 pelanggaran kendaraan yang berusaha mengelabuhi petugas, seperti memalsukan pelat nomor polisi, menempel stiker ambulans, dan memasang serine.
Pada Kamis (16/9/2021), tidak berlakunya ganjil genap ternyata juga dimanfaatkan wisatawan untuk menyerbu Puncak. Antrean kendaraan bermotor roda dua dan roda empat terjadi hingga sekitar 8,5 km, mulai dari kawasan Puncak Gunung Mas hingga Pasar Cisarua.
Selain faktor tingginya mobilitas kendaraan, kemacetan juga terjadi karena ada penyempitan jalan, persimpangan, dan keberadaan pasar. Kemacetan yang mengular itu terjadi sekitar pukul 16.00 hingga malam. Pelat kendaraan B terlihat masih mendominasi jalur Puncak.
Salah satu wisatawan, Al Goz Fajri (43), bersama istri dan tiga anaknya memilih berangkat saat aturan ganjil genap tidak berlaku pada hari biasa atau hari kerja. Mereka berencana menghabiskan waktu di Puncak hingga Sabtu atau Minggu.
”Kalau berangkat Jumat atau Sabtu malas saja kena penyekatan ganjil genap dan diputar balik. Lalu lintas hari Jumat-Minggu pasti lebih padat. Pas pulang ini nanti, kan, pasti tidak kena penyekatan meski siap kena macet. Tidak masalah,” kata pria yang tinggal di Jakarta Selatan itu saat ditemui Kamis lalu.
Saya tidak masalah macet-macetan karena, kan, memang Puncak pasti macet. Sudah kodratnya. Yang penting bahagia dan bisa nikmati alam sejuk Bogor.
Wisatawan lainnya, Setyo (25), warga Jakarta Barat, bersama tiga teman pun lebih memilih berangkat pada hari kerja saat ganjil-genap belum berlaku. Bagi mereka, kemacetan di Puncak sudah menjadi hal biasa dan tidak terlalu mereka pikirkan.
”Saya kerap akhir pekan ke puncak. Paling tidak sebulan dua kali. Kemarin pas lagi ketat tidak main ke Puncak hampir tiga bulan lebih. Saya tidak masalah macet-macetan karena, kan, memang Puncak pasti macet. Sudah kodratnya. Yang penting bahagia dan bisa nikmati alam sejuk Bogor. Suntuk dan bosan di Kota (Jakarta) melulu. Butuh suasana nyaman,” kata Setyo yang berencana di Puncak selama dua hari itu sambil tersenyum.
Tidak hanya dimanfaatkan wisatawan, tidak berlakunya ganjil genap pada hari kerja juga dimanfaatkan para pedagang kaki lima. Umira (29), pedagang kaki lima (PKL) di trotoar sekitar kebun teh Gunung Mas, akhirnya bisa leluasa berdagang tanpa khawatir diusir petugas Satpol PP.
”Sejak dua minggu kemarin tidak boleh berjualan di sini. Nekat pasti diusir petugas. Hari ini lumayan bisa berjualan untuk pemasukan harian karena jujur saja meski ini katanya ada pelonggaran, pengunjung semakin ramai, pendapatan harian saya masih jauh. Hari Senin-Kamis jadi kesempatan saya meraup rezeki. Lumayan pemasukan hari ini. Sudah dapat Rp 200.000,” katanya.
Tina (35), pedagang lainnya yang berjualan di sekitar trotoar Gunung Mas juga tidak mau kehilangan rezeki. Kunjungan wisatawan di hari kerja menjadi kesempatannya berjualan aneka minuman, jagung bakar, dan roti bakar, karena penjagaan dan pemantauan petugas patroli Satpol PP melonggar di hari biasa ini.
”Mau bagaimana, butuh untuk pemasukan kebutuhan harian. Sejak dua minggu lalu hanya bisa berjualan Senin-Kamis saja. Padahal untung paling besar itu di akhir pekan, tapi kami tidak boleh berjualan di sini. Susah, serba susah. Pandemi sudah mukul banget ditambah ada aturan ini itu. Sama sekali tidak ada perubahan penghasilan,” kata ibu dengan dua anak yang berumur 5 tahun dan 10 tahun itu.
Tina harus membantu ekonomi keluarga karena penghasilan suaminya yang bekerja sebagai pemetik teh tidak cukup besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Meski bisa berjualan, Tina tetap khawatir jika suatu waktu ada petugas patroli yang datang. ”Tidak hanya akhir pekan saja dipantau. Hari biasa juga sering. Makanya takut juga ini. Paling ketat memang pada akhir pekan,” ujarnya
Tidak jauh dari tempatnya berjual, setiap sekitar 200 meter terpasang spanduk larangan berkumpul, parkir, dan berjualan. Namun, imbauan spanduk itu hanya seperti hiasan saja, tidak ada yang memedulikannya. Mobil dan sepeda motor bebas parkir, para penumpangnya pun kongkow bersama.
Dongkrak penghasilan
Tidak seperti para PKL, sejumlah warung atau cafe yang memiliki lokasi berjualan tetap dan memiliki tempat parkir, mendapat keuntungan memadai selama PPKM level tiga.
Helmi (25) pengelola Kafe Dede mengaku sejak PPKM level tiga, penghasilnya naik 20 persen, bahkan ketika akhir pekan dalam tiga minggu terakhir bisa mencapai 40-60 persen.
”Alhamdulillah ada peningkatan selama PPKM 3 ini. Memang ada ganjil genap tapi sepertinya tidak pengaruh. Ini bisa meningkat 40-60 persen penghasilan di akhir pekan. Ini jauh lebih untung ketimbang masa PPKM level 4 kemarin,” kata Helmi.
Meski selalu ramai sejak PPKM 3, bukan berarti Helmi bisa tenang berjualan. Jika kedapatan ramai pengunjung dan terpantau oleh petugas, ia siap-siap mendapat teguran dan pengunjung pun disuruh cepat-cepat menghabiskan makanan dan harus segera meninggalkan lokasi.
Wakil Ketua PHRI Kabupaten Bogor Boboy Ruswanto mengatakan, pemberlakuan ganjil genap tidak begitu berdampak pada hotel dan restoran. Bahkan setelah PPKM level 4 tingkat hunian hotel dan kunjungan di restoran di akhir pekan meningkat.
”Untuk akhir pekan saat PPKM level empat dulu, kami untuk mendapatkan okupansi 5-10 persen saja sulit. Setelah PPKM level tiga walaupun ada ganjil genap okupansi bisa sampai 50 persen,” kata Boboy.
Menyikapi kebijakan ganjil-genap, kata Boboy, pihaknya tidak mempermasalahkan selama tidak berdampak pada rencana pemulihan ekonomi. Meski begitu, lanjutnya, upaya menjalankan protokol kesehatan ketat tetap harus berjalan.
Adapun untuk sektor pariwisata, sejumlah hotel dan tempat wisata sudah memiliki sertifikat Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability (CHSE). Sertifikat ini pelaksanaan wisata yang bersih, sehat, selamat, dan kelestarian wisata. Selain itu, sekitar 70 persen pelaku usaha dan pegawai di hotel dan restoran sudah menerima vaksin.
Kaji regulasi ganjil genap
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, saat meninjau pelaksanaan kebijakan ganjil genap di Puncak, Simpang Gadog, Minggu (12/9/2021), menilai uji coba ganjil genap pekan kedua yang dikombinasikan dengan sistem satu arah cukup efektif menekan kemacetan parah.
Budi mengapresiasi kerja dan kolaborasi Polri, Bupati Bogor, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Bogor, Korps Lalu Lintas Polri, Direktorat Lalu Lintas Polda Jabar, dan Dinas Perhubungan. Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan akan kembali mengevaluasi dan mengkaji kebijakan ganjil genap di jalur Puncak sebagai jalan nasional itu.
”Hasil sekarang mudah-mudahan sudah kelihatan formatnya seperti apa, kemudian skemanya seperti apa. Kalau memang ini akan menjadi satu pola yang tetap, itu akan kami percepat menyangkut masalah regulasi. Sambil regulasi kami proses, kalau memang minggu ini (17-19/9/2021) masih belum selesai, kami akan lakukan uji coba lagi,” ujarnya.
Baca juga : Kemenhub Kaji Regulasi Kendalikan Kepadatan Lalu Lintas Puncak
Kebijakan ganjil genap saat ini berlaku di wilayah hukum Kepolisian Jawa Barat, seperti Kepolisian Resor Bogor, Polresta Bogor, Polres Cianjur, Polresta Sukabumi, dan Polres Sukabumi, serta Korlantas Polri. Efektivitasnya terlihat pada minggu kedua, yakni pada Jumat-Minggu, 10-12 September. Pada Sabtu (11/9/2021), jumlah kendaraan yang diputarbalikkan 3.453 kendaraan.
Jumlah itu jauh lebih sedikit dari jumlah kendaraan yang diputarbalikkan pada Jumat dan Sabtu pekan pertama penerapan ganjil genap yang tercatat 11.966 kendaraan. Adapun total selama uji coba ganjil genap dalam dua kali akhir pekan di awal September, ada 2.803 kendaraan roda dua dan 19.753 roda empat yang diputarbalikkan oleh petugas.
Menurut Budi, pada uji coba ganjil genap pertama akhir pekan lalu (3-5/9/2021) masih banyak kekurangan. Banyak kendaraan yang menuju kawasan wisata Puncak via tol dan jalur tikus. Akibatnya, masih terjadi kemacetan cukup panjang, seperti di pintu tol keluar Ciawi menuju Puncak meski tak separah sebelum diberlakukan ganjil genap.
Pada minggu kedua (10-12/9/2021), baru terasa efektivitas ganjil genap setelah Polda Jawa Barat bersama jajaran polres di wilayah di kawasan Puncak dan sekitarnya memperkuat dengan penyekatan di 14 titik di lintas wilayah Bogor, Cianjur, dan Sukabumi.
”Ini langkah yang baik dan strategis dibangun teman-teman polisi dalam penanganan kemacetan dan upaya menekan penyebaran Covid-19. Mitigasi ini kita lihat bisa mengurangi kemacetan 30-40 persen,” ujar Budi.
Selain opsi ganjil genap permanen, ada opsi lainnya yang disiapkan seperti skema sistem satu arah atau skema 4 in 1 atau satu kendaraan diisi empat penumpang.
Baca juga : Demi ke Puncak, Mobil Disulap Jadi Ambulans
Kebijakan ganjil genap memang dinilai efektif menekan potensi kemacetan parah. Tanpa kebijakan ini, mungkin kawasan Puncak akan jauh lebih macet parah dan kerumunan akan terjadi lebih mengerikan. Namun, berbagai kebijakan pengetatan atau aturan ganjil genap tidak akan berjalan sukses di masa pandemi Covid-19 jika tidak ada kesadaran bersama untuk menjalankan protokol kesehatan ketat.
Jika kasus pandemi Covid-19 kembali melonjak karena euforia dan tidak menjalankan protokol kesehatan ketat, siapkah ruang gerak kita kembali dibatasi sehingga berdampak luas ke berbagai sektor seperti ekonomi hingga psikologi?