Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, lebih dari 80 persen responden menyatakan tidak tertarik untuk menginap di hotel di tengah pandemi.
Oleh
Eren Marsyukrilla (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Perhotelan menjadi satu di antara sekian banyak industri yang sangat terpuruk akibat pandemi Covid-19. Kompleksitas hambatan di masa pandemi mulai dari kebijakan hingga perubahan perilaku konsumen membuat usaha akomodasi ini belum dapat pulih sepenuhnya.
”Seperti pesakitan yang menunggu regu tembak.” Itulah gambaran kondisi industri hotel yang tidak lagi berputar setelah dibelenggu habis oleh pandemi. Pengandaian yang disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) itu menggambarkan betapa sektor akomodasi tengah berada di titik nadirnya.
Seperti pesakitan yang menunggu regu tembak.
Saat ini, kekhawatiran akan penyebaran virus tentulah menjadi hal yang sangat membayangi segala macam aktivitas yang dilakukan di luar rumah. Termasuk pula saat hendak menginap di hotel, jaminan ruang yang bersih dan sehat, serta jauh dari risiko penyebaran virus harus mampu dihadirkan oleh jasa penginapan. Langkah tersebut juga tidak secara instan dapat mengembalikan kepercayaan konsumen pada layanan perhotelan.
Sejumlah ketentuan kesehatan terkait penanganan pandemi memang telah membuat pergeseran perilaku masyarakat dalam mengakses jasa penginapan. Jajak pendapat Kompas merekam hal tersebut dan mendapati mayoritas responden (87,6 persen) menyatakan tidak pernah menginap di hotel dalam kurun enam bulan terakhir.
Okupansi merosot
Terpuruknya kondisi okupansi hotel-hotel saat pandemi tergambar jelas dari usaha penginapan di kota-kota besar ataupun kawasan pariwisata seperti Bali, Jakarta, Yogyakarta, hingga Surabaya yang tak menyentuh lebih dari sepuluh persen. Kondisi usaha penginapan memang jauh lebih memprihatinkan dibandingkan dengan usaha makanan atau restoran yang masih dapat melakukan penyesuaian dengan melayani permintaan secara daring.
Merujuk pada data survei yang dilakukan oleh PHRI, dalam kondisi pandemi setidaknya ada 125 hotel dan 150 restoran yang tutup setiap bulan. Bahkan, terdapat sedikitnya 1.033 tempat usaha hotel dan restoran yang tutup permanen sepanjang tahun 2020. Pengambilan data tersebut dilakukan pada bulan September 2020 lalu terhadap tidak kurang dari 4.469 responden, serta lebih dari 9.000 usaha hotel dan restoran di Indonesia.
Temuan itu pun sejalan dengan data Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel secara nasional yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), di mana sejak kondisi pandemi rata-rata masih pada kisaran 30 persen. Tingkat okupansi ini sebetulnya juga telah cukup membaik jika dibandingkan dengan dua bulan awal pandemi yang hanya di bawah 15 persen.
Hingga lebih dari satu tahun berlalu, TPK hotel masih terus fluktuatif. Pada Juli 2021 lalu, BPS mencatat TPK hotel sempat kembali anjlok menjadi 22,38 persen. Terjadinya penurunan drastis okupansi itu tak terlepas dari adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di sejumlah wilayah, termasuk kota-kota besar dan area pariwisata.
Perputaran roda bisnis yang tak kunjung membaik dalam jangka waktu lama dan belum menentu membuat banyak pengusaha hotel tak punya banyak pilihan. Beban biaya operasional, perawatan, hingga gaji para karyawan pun tak dapat lagi ditopang karena ketiadaan pelanggan yang menginap. Sebagian besar pemilik usaha perhotelan terpaksa mengambil langkah-langkah efisiensi untuk tetap dapat bertahan.
Bahkan, sejumlah strategi pemasaran yang coba dilakukan seperti dengan memberikan potongan harga hingga penawaran bonus menarik lain tampaknya juga tak secara mudah dapat menggugah keinginan orang untuk mengakses hotel-hotel favorit mereka.
Daya tarik
Perihal ketidaktertarikan masyarakat menginap di hotel juga ditangkap oleh jajak pendapat Kompas. Hasilnya, lebih dari 80 persen responden menyatakan tidak tertarik untuk menginap di hotel di tengah pandemi.
Sebagian besar ketidaktertarikan tersebut memang dipengaruhi faktor-faktor yang berhubungan langsung dengan penyesuaian yang dilakukan dalam kenormalan baru. Tidak kurang dari sepertiga responden pun mengamini hal itu karena sedang mengurangi aktivitas di luar rumah.
Hal lain yang juga cukup menjadi pertimbangan orang dalam mengakses hotel di masa pandemi adalah faktor ekonomi. Ketidakmenentuan pandemi yang memukul perekonomian secara luas secara langsung juga memengaruhi gaya hidup untuk lebih berhemat. Hal tersebut terekam dari suara sekitar 41,3 persen responden jajak pendapat. Mereka berpandangan bahwa menginap di hotel merupakan kebutuhan yang dapat ditunda untuk menekan biaya pengeluaran di tengah kondisi sulit sekarang.
Dengan berbagai alasan terdapat sekitar 18 persen responden yang tertarik menginap di hotel dalam kondisi pandemi. Pada satu sisi pandemi memang membuat keinginan untuk menginap di hotel justru menjadi kian besar.
Menurut 45 persen responden, daya tarik untuk menginap di hotel-hotel favorit muncul karena adanya kejenuhan dalam menjalankan aktivitas yang serba terbatas. Ditambah pula dengan adanya penawaran diskon harga yang jauh lebih murah hingga penerapan protokol kesehatan yang ketat dapat memberikan jaminan kualitas kenyaman dan keamanan dari bahaya penularan Covid-19.
Kondisi tersebut sebetulnya menjadi celah harapan bagi usaha perhotelan untuk tetap optimistis melihat potensi pasar di masa pandemi ini. Kepercayaan pelanggan pun tentunya tetap harus dihidupkan oleh para pelaku usaha perhotelan dengan melakukan berbagai langkah adaptasi untuk memberikan jaminan pelayanan yang terstandardisasi.
Terkait hal itu, penginapan yang telah terstandar beroperasi di era pandemi akan diberikan sertifikasi CHSE (cleanliness, hygiene, sanitation, and environment) dari pemerintah. Segala upaya dan penyesuaian itu perlu dilakukan agar industri akomodasi dapat pulih dan tumbuh lebih membaik di waktu mendatang.