Elegi di Sungai Bekasi
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, daerah yang kaya dengan aliran sungai. Ada 16 sungai besar yang melintasi wilayah itu. Namun, kerusakan lingkungan membuat keberadaan sungai justru menjadi bencana.
Sungai yang seharusnya jadi sumber kehidupan warga di Kabupaten Bekasi, justru belum dikelola dengan baik. Keberadaannya malah acap kali menjerumuskan warga dalam ancaman bencana. Warga kini hidup dalam intaian bencana alam maupun bencana kesehatan.
Banjir berskala besar yang terjadi pada Februari 2021 masih segar dalam ingatan warga. Saat itu, 8.124 keluarga yang terdampak banjir akibat luapan sejumlah sungai besar yang melintasi daerah itu.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, kerugian akibat banjir pada Februari 2021 itu sebesar Rp 250 miliar. Sampai hari ini, pemerintah daerah setempat tidak pernah mengumumkan jumlah korban jiwa akibat musibah tersebut.
Musim hujan berlalu, kemarau tiba. Sungai kembali lagi jadi persoalan. Air dari Kali Cilemahabang berwarna hitam pekat. Sungai itu selama ini masih digunakan warga untuk mandi, mencuci pakaian, hingga untuk mencuci beras.
Selasa (7/9/2021) sore, Nyai (85), warga yang tinggal di Bantaran Kali Cilemahabang, Desa Karangasih, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, sedang mencuci pakaian di aliran sungai itu. Air sungai yang dipakai untuk mencuci itu warnanya mirip bahan pelumas cair atau oli kendaraan bermotor. ”Dari dulu pakai air ini untuk mandi, cuci. Dulu airnya bersih,” kata Nyai.
Meski air sungai itu berwarna hitam, Nyai mengaku selama ini air yang digunakan itu tak berdampak pada kesehatan kulitnya. Selama 10 tahun terakhir, setiap musim kemarau, dia selalu memanfaatkan air sungai yang tercemar itu.
Baca juga : Polisi Usut Perusahaan Pembuang Limbah ke Sungai Cilemahabang Bekasi
Nyai berkisah, aliran Sungai Cilemahabang mulai rutin menghitam setiap musim kemarau selama 10 tahun terakhir. Sungai itu biasanya hanya bersih selama satu atau dua hari atau ketika saat musim hujan rutin mengguyur wilayah Kabupaten Bekasi.
Warga tidak punya pilihan lain selain harus menggunakan air tersebut karena di wilayah mereka tak ada sumur. Jaringan pipa air bersih juga belum sampai di sana. Warga biasanya mengeluarkan uang untuk membeli air galon demi memenuhi keperluan minum sehari-hari. Satu air galon seharga Rp 5.000.
Sementara itu, Odah Marsini (60) warga lain di Desa Karangasih, memilih untuk tak mencuci pakaian selama air sungai berwarna hitam. Dua bulan terakhir, pakaiannya hanya dijemur ketika kotor dan akan kembali dipakai keesokan harinya. Ia biasanya baru mencuci pakaian ketika air sungai bersih, yakni saat hujan dan setelah banjir di Kali Cilemahabang surut.
”Saya dan suami untuk masak dan mandi pakai air galon. Dulu sempat mandi pakai air kali, tapi setelah mandi kulit saya, kok, gatal-gatal,” katanya.
Untuk memenuhi keperluan masak dan mandi, Odah setiap minggu menghabiskan biaya untuk membeli air galon mencapai sekitar Rp 25.000. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli air bersih ini membebani lantaran keluarga tersebut hanya bekerja sebagai pemulung.
Baca juga : Menyusuri Pekatnya Kali Cilemahabang
Penghasilan dari pemulung setiap minggu berkisar Rp 30.000-Rp 50.000. Perempuan yang memiliki dua anak itu ketika ditanya tentang cara memenuhi kebutuhan lain keluarga, termasuk membeli beras, ia hanya menjawab singkat, kalau rezekinya sudah ada yang mengatur.
Respons pemerintah daerah
Kesulitan warga akan kebutuhan air bersih mendapat respons positif dari pemerintah daerah. Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan mendatangi langsung warga yang masih memanfaatkan air sungai yang tercemar, pada 6 September 2021.
Dani saat itu, sempat berkomunikasi dengan warga serta memberi solusi jangka pendek dengan memerintahkan BPBD Kabupaten Bekasi untuk memasok air bersih ke warga sekitar. Adapun untuk solusi jangka panjang, pemerintah daerah berencana membangun jaringan pipa air bersih yang terhubung dengan PDAM.
Pemerintah Kabupaten Bekasi juga berjanji untuk serius menyelesaikan pencemaran sungai di Kali Cilemahabang. Dari hasil penelusuran, diduga sumber pencemaran berasal dari dua perusahaan di kawasan industri Cikarang.
”Dari beberapa titik yang kami telusuri, dari hilir, tengah, sampai hulu, terlihat penyebab masalahnya, yaitu pembuangan limbah. Pembuangan limbah ini diduga dari dua kawasan industri di daerah Cikarang. Ini yang akan segera kami tindak lanjuti dengan memberikan sanksi sesuai perundang-undangan,” kata Dani, Selasa (7/9/2021), di Bekasi.
Baca juga : Angin Segar Upaya Perbaikan Pencemaran Lingkungan di Bekasi
Menyikapi permintaan pimpinan daerah, Kepolisian Resor Metro Bekasi mulai terlibat untuk mengusut kasus pembuangan limbah yang mencemari Sungai Cilemahabang. ”Sedang dalam proses penyelidikan,” kata Kepala Polres Metro Bekasi Komisaris Besar Hendra Gunawan, Kamis (9/9/2021).
Sementara itu, menurut Kepala Seksi Penegakan Hukum Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, David, pemerintah daerah sedang menyusun tim penegakan hukum terpadu agar penyelesaian pencemaran sungai dilakukan menyeluruh. Tim penegakan hukum terdiri dari penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, hingga kejaksaan.
”Dalam proses penegakan hukum, penerapan pidana sebagai upaya terakhir. Jadi, kalau sanksi administrasi tidak berhasil, maka bisa naik tingkatan ke pidana,” ucapnya.
Di tengah upaya pemangku kebijakan menelusuri dugaan pencemaran sungai itu, para pihak di kawasan industri sepatutnya turut bekerja sama mengatasi persoalan lingkungan di wilayah Kabupaten Bekasi. Sebab, pada Februari 2021, saat bencana banjir terjadi di wilayah Kabupaten Bekasi, kawasan industri di daerah itu ikut terdampak dengan total kerugian akibat banjir miliaran rupiah.
”Tahun ini, ada salah satu kawasan industri yang juga terdampak banjir. Dan teridentifikasi di salah satu kawasan industri saja, kerugiannya hampir Rp 300 miliar,” kata anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Budiyanto, (Kompas, 21/3/2021).
Baca juga : Ancaman Wabah di Balik Kerusakan Daerah Aliran Sungai
Bencana kekeringan
Kabupaten Bekasi juga menghadapi persoalan kekeringan di musm kemarau. Dari data BPBD Kabupaten Bekasi pada 8 September 2021, ada ribuan warga di sembilan kecamatan terdampak bencana kekeringan.
Sembilan kecamatan dimaksud adalah Cibarusah, Cikarang Pusat, Serang Baru, Cikarang Timur, Sukawangi, Sukatani, Cabang Bungin, Muaragembong, dan Karangbahagia. Adapun untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga, pemerintah daerah mengirimkan bantuan air bersih di wilayah yang terdampak kekeringan.
”Selain banjir, Kabupaten Bekasi kerap kekeringan. Kami terus menyuplai air bersih kepada warga yang terdampak kekeringan,” kata Kepala BPBD Kabupaten Bekasi Hendri Lincon.
Di Desa Sukaringin, Sukawangi, Kabupaten Bekasi, misalnya, ada 300 hektar areal sawah petani yang gagal panen. Kekeringan itu disebut terjadi lantaran sumber air irigasi dari Kali Cikarang kian mengecil lantaran banyaknya sampah dan lumpur yang menghambar aliran air sungai.
”Sawah petani yang gagal panen di atas 300 hektar. Kalau air lancar, kami tidak kesulitan air bersih karena Kali Cikarang itu sumber air untuk kebutuhan sehari-hari dan juga penyuplai utama untuk pertanian,” kata Sekretaris Desa Sukaringin, Markim Sariputra.
Baca juga : Banjir Periodik di Kabupaten Bekasi Belum Juga Teratasi
Bencana kekeringan, limbah industri, sampah rumah tangga yang terjadi di Bekasi berasal dari satu sumber yang sama, yaitu sungai. Tanpa ada keseriusan dan upaya berkelanjutan untuk dapat memperbaiki kerusakan lingkungan, bencana lain termasuk wabah bakal terus mengintai warga.