Insiden ini hendaknya menjadi bahan evaluasi bagi pemangku kepentingan agar lebih peduli dan mengantisipasi segala situasi yang mungkin terjadi. Nyawa setiap orang, siapa pun itu, begitu berharga.
Oleh
Erika Kurnia/Melati Mewangi/Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany/Stefanus Ato
·4 menit baca
Air mata Upi Hartati (44) tumpah setelah keluar dari ruang posko krisis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021) siang.
”Anak saya masuk dalam daftar 41 korban yang meninggal. Semalam, kami masih mengobrol lewat telepon, dia hanya minta dikirimi pulsa,” ucapnya terbata-bata.
Tak mudah untuk melepas kepergiaan anak pertamanya, RK (23), yang divonis penjara 5 tahun 6 bulan pada kasus narkotika. Selama ini telah dipupuk harapan kelak RK akan meneruskan pendidikan dan melanjutkan usaha warung makan Padang di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, setelah masa pembinaan di lapas tersebut usai.
Saya yakin masih bisa mengenal anak saya.
Selepas menyerahkan berkas kartu keluarga dan identitas, mereka berjalan menuju ke parkiran motor. Kali ini, mata Nursin (47), suami Upi, memerah. Ia menangis. Geram sekaligus sedih tak kepalang. Nursin menyayangkan insiden ini kenapa bisa terjadi di dalam penjara yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi warga binaan.
”Penyebab kebakarannya itu apa? Apa benar korsleting listrik? Semoga segera diketahui dan jangan sampai terulang lagi. Cukup, ini yang terakhir,” katanya sembari menarik napas panjang.
Pasangan Upi dan Nursin dan keluarga dari warga binaan lain yang sudah dipastikan meninggal dalam kebakaran pun segera menuju Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur, tempat 41 korban tewas dalam musibah itu dirujuk. Di rumah sakit tersebut, jasad-jasad yang mengalami luka bakar lebih dari 50 persen dan susah dikenali akan diidentifikasi oleh Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri sebelum bisa diserahkan kepada keluarganya.
Titin, perempuan berusia sekitar 50 tahun, berusaha menerobos barikade polisi, saat jenazah para korban kebakaran tiba di RS Kramatjati. Ajakan keluarga dan permintaan polisi untuk menjauh membuatnya makin histeris.
”Saya yakin masih bisa mengenal anak saya,” kata perempuan yang berdomisili di Jakarta Selatan itu.
Titin adalah ibu kandung Eka Putra (25), salah satu warga binaan yang turut jadi korban meninggal dalam kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang. Pada Selasa (7/9/2021) malam, ia masih berkomunikasi dengan putranya melalui panggilan video Whatsapp. Eka kala itu mengeluh bosan di lapas. Ia ingin segera kembali ke rumah dan bertemu keluarga. Eka masuk ke Lapas Tangerang sejak 2017 akibat tersandung kasus narkotika. Korban bakal bebas pada Februari 2022, lima bulan lagi.
Suasana yang tak kalah menyedihkan menyergap area Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tangerang. Kemarin, IGD itu juga penuh pasien dengan luka bakar.
Di salah satu tempat tidur, terbaring pasien yang memakai alat bantu napas. Sebagian tubuh pasien itu ditutupi selimut. Tubuh atasnya dililit perban putih. Kulit wajahnya gelap akibat terpanggang api. ”Haus, haus, haus,” kata pasien tersebut berulang dengan suaranya yang lemah.
Di sekitar IGD, banyak orang berusaha mencari anggota keluarganya. D (43), kakak perempuan salah satu korban berinisial TY (40), bersama empat kerabatnya menunggu dengan gelisah. Warga Tangerang itu khawatir dengan kondisi adiknya setelah mendapat kabar adiknya menjadi korban kebakaran lapas.
TY sudah hampir 4 tahun dibui karena tindak pidana narkoba. Desember nanti, TY dijadwalkan kembali menghirup udara bebas.
”Saya baru mau ke sana (lapas) untuk mengurus berkas pembebasan. Eh, malah ada kejadian ini,” kata D yang memilih tidak disebutkan nama lengkapnya ini.
Berdasarkan informasi dari dokter, TY alami luka bakar 50 persen dan trauma saluran pernapasan.
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Tangerang Naniek Isnaini Lestari mengatakan, pihak rumah sakit belum mengizinkan keluarga untuk menjenguk korban luka berat. Hal ini mengikuti aturan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 ini.
”Kita akan berkomunikasi intens dengan keluarga untuk memberi info kepada mereka tentang perkembangan pasien,” jelasnya saat ditemui wartawan di rumah sakit.
Adapun delapan korban luka berat yang kini mereka tangani akan ditempatkan di unit perawatan intensif. Korban seluruhnya laki-laki warga negara Indonesia, usia antara 27-51 tahun, luka bakar 13,5 persen hingga 98 persen. Mayoritas juga alami trauma saluran napas karena banyak menghirup asap kebakaran. Selain TY, korban lainnya berinisial H (42), NA (34), T (45), AM (29), IS (27), M (44), dan HR (51).
Kebakaran terjadi di Blok C yang dihuni 122 orang. Total jumlah korban 73 orang. Sebanyak 27 orang luka ringan, 8 orang luka berat, dan 41 orang meninggal dunia. Korban meninggal diduga akibat terjebak dalam sel terkunci.
Api, yang menurut Menkumham Yasonna Laoly diperkirakan dari korsleting arus listrik, begitu cepat membesar dan kemungkinan atap bangunan berusia 40 tahun itu segera ambruk sehingga menyulitkan evakuasi. Saat kebakaran, seluruh kompleks lapas dihuni 2.072 napi. Kapasitas normal Lapas Tangerang tersebut hanya sekitar 600 orang.
Insiden ini hendaknya menjadi bahan evaluasi bagi pemangku kepentingan agar lebih peduli dan mengantisipasi segala situasi yang mungkin terjadi. Nyawa setiap orang, siapa pun itu, begitu berharga.