Naik KRL Harus Tunjukkan Aplikasi Peduli Lindungi dan Syarat Perjalanan
Mulai Senin (6/9/2021), KAI Commuter menguji coba aplikasi PeduliLindungi, selain juga penunjukan syarat perjalanan. Sejumlah penumpang merasa kerepotan, sementara Ombudsman mengkritisi keandalan aplikasi itu.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai Senin (6/9/2021), KAI Commuter bekerja sama dengan pemerintah mulai menguji coba penggunaan aplikasi PeduliLindungi bagi para pengguna kereta rel listrik, selain juga menunjukkan dokumen perjalanan. Meski baru uji coba, penumpang mengeluhkan hal itu karena tidak efisien. Sementara Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mengingatkan manajemen KAI Commuter untuk tidak berlaku diskriminatif.
Erni Sylvianne Purba, Vice President Corporate Secretary KAI Commuter, melalui keterangan tertulis, Senin (6/9/2021), menjelaskan, uji coba penggunaan aplikasi PeduliLindungi bagi para pengguna KRL dilakukan di 11 stasiun, yaitu Stasiun Depok, Pasar Minggu, Bekasi Timur, Serpong, Jurangmangu, Jakarta Kota, Juanda, Sudirman, Palmerah, Kebayoran, dan Manggarai.
Dengan aplikasi itu pengguna mencoba memindai kode QR di stasiun. Para pengguna hanya perlu melakukan check in ketika memasuki stasiun dan tidak perlu melakukan check out di stasiun tujuan.
Meski begitu, jelas Purba, uji coba aplikasi tidak mengubah ketentuan untuk menggunakan KRL. Dokumen perjalanan untuk naik KRL harus ditunjukkan pengguna ketika memasuki stasiun sehingga KAI Commuter tetap mewajibkan pengguna membawa dokumen perjalanan sebagaimana yang disyaratkan sesuai Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2021.
Adapun dokumen perjalanan yang dimaksud di antaranya STRP, surat keterangan dari instansi atau perusahaan, dan dokumen lainnya sesuai aturan.
M Robby (30), karyawan swasta yang tinggal di Depok, Jawa Barat, dan mulai bekerja di kantornya di area Gondangdia, Jakarta Pusat, mengatakan, syarat perjalanan itu merepotkan. Itu karena ia masih harus menunjukkan surat keterangan perjalanan, di samping juga mengunduh aplikasi.
”Makan waktu, tidak efisien. Seharusnya begitu kita memakai aplikasi itu, semua data yang diperlukan untuk perjalanan dengan KRL bisa muncul. Jadi tidak kerepotan begini,” kata Robby.
Ia juga mengeluhkan keandalan aplikasi PeduliLindungi. Di saat ia sudah bisa mengunduh aplikasi yang mengelola berbagai hal terkait Covid-19 itu dan membuat akun, ternyata surat atau sertifikat vaksin tidak muncul. Ia menyatakan kerepotan dengan syarat-syarat itu. Padahal, ia bekerja di sektor esensial.
Hal sama juga disampaikan Nasrul (40). Warga Ciputat, Tangerang Selatan, ini hendak menuju Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Senin pagi dan menunjukkan surat keterangan untuk perjalanan di Stasiun Jurangmangu. Saat diberi tahu bahwa untuk naik KRL mesti menunjukkan aplikasi PeduliLindungi, ia merasa kerepotan.
”Telepon saya, telepon yang biasa, tidak bisa untuk membuka aplikasi-aplikasi itu. Saya kira dengan surat keterangan perjalanan saja sudah cukup,” katanya lesu.
Untuk Senin ini, dengan menunjukkan surat keterangan perjalanan, ia masih bisa naik KRL. Ia belum tahu syarat-syarat untuk aktivitas berikutnya.
Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, mengkritisi aplikasi itu. Aplikasi PeduliLindungi seharusnya bisa menjadi dasbor bagi orang yang sudah divaksin, dasbor yang sudah tes swab antigen, dasbor tes polymerase chain reaction (PCR), bahkan menjadi dasbor untuk bantuan sosial.
”Idealnya memang begitu. Tetapi, sekarang belum ideal, masih jauh dari ideal,” kata Teguh.
Belum idealnya aplikasi itu, salah satunya, bisa dilihat dari sertifikat vaksin yang tidak muncul di aplikasi, tetapi justru muncul di layanan pesan pendek (SMS). Itu semua karena aplikasi belum sepenuhnya terintegrasi dengan data administrasi kependudukan (adminduk).
Seharusnya, ujar Teguh, ketika dengan aplikasi itu seseorang bisa menunjukkan data tes cepat antigen atau PCR, atau sudah vaksin atau belum, kemudian ketika aplikasi PeduliLindungi tidak mampu menampilkan itu semua, data yang diperlukan bisa langsung di-scan atau dipindai pihak petugas. ”Petugas bisa memindai data dengan menggunakan aplikasi sederhana untuk membaca barcode,” kata Teguh.
Seperti yang sudah ada di STRP, di surat ini ada kode batang (barcode), tetapi petugas masih melihat secara manual. Itu terjadi karena tidak ada edukasi kepada petugas di angkutan umum untuk membaca kode batang.
Itu sebabnya, ujar Teguh, apabila aplikasi itu hendak dijadikan prasyarat sebagai media untuk mengontrol mobilitas penduduk, mau tidak mau mitigasi harus disiapkan. Khususnya ketika PeduliLindungi gagal menampilkan data.
”Kalau aplikasi PeduliLindungi belum andal, ya, pemerintah harus membuat mitigasi. Dalam hal ini dengan menyiapkan petugas untuk membaca barcode di dalam surat vaksinasi atau barcode STRP dengan menggunakan aplikasi scanner sehingga tidak lagi dengan manual,” kata Teguh.
Teguh melanjutkan, setiap orang berhak tidak mendapatkan diskriminasi saat, sesuai aturan, dia betul masuk ke dalam sektor esensial atau sektor kritikal dan harus bekerja. Namun, data di PeduliLindungi tidak muncul begitu, tapi dia punya data yang lain. ”Maka dia seharusnya bisa difasilitasi,” ucap Teguh.
Orang yang datanya masuk aplikasi PeduliLindungi akan lancar beraktivitas. Namun, orang yang sudah memenuhi semua prasyarat, tetapi datanya tidak muncul di aplikasi PeduliLindungi, jadinya didiskriminasikan.
Untuk itu, Teguh meminta setiap unit kegiatan yang mensyaratkan aplikasi itu menyiapkan betul sarana dan prasarana, termasuk sumber daya manusia, untuk menerapkan kebijakan yang ia nilai belum siap itu. Selain lewat aplikasi PeduliLlindungi, pengelola juga menyiapkan alat pemindai untuk membaca surat vaksin atau sertifikat usap antigen atau PCR.
”Kalau belum siap, ya, harus disiapkan dulu. Jangan langsung diterapkan. Kalau diterapkan, nanti jadinya diskriminatif,” katanya.