Serambi Temu Dukuh Atas, Calon Wajah Baru Dukuh Atas
Sebagai kawasan berorientasi transit, Dukuh Atas menjadi titik transit dan pertemuan sejumlah moda angkutan umum. PT MITJ tengah membangun JPM yang menghubungkan antarmoda supaya perpindahan orang lancar dan nyaman.
Saat PT MRT Jakarta mendapatkan penugasan untuk mengelola kawasan berorientasi transit atau transit oriented development pada 2017 melalui Peraturan Gubernur Nomor 140 Tahun 2017 atau sebelum diperbarui dengan Pergub No 65/2021, ada sejumlah lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan berorientasi transit yang akan dikelola PT MRT Jakarta. Salah satunya kawasan Dukuh Atas.
Dalam wawancara dengan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta waktu itu, Tuty Kusumawati, ia menjelaskan alasan Dukuh Atas ditetapkan sebagai kawasan berorientasi transit (KBT). Selain memiliki potensi ruang dan kawasan yang masih bisa dikembangkan sesuai karakteristik KBT, di titik tersebut akan menjadi pertemuan lebih dari satu jenis moda angkutan umum yang mendukung pengembangan sebagai KBT.
Pada 2017, baru kereta komuter dan bus Transjakarta yang saling bertemu di Dukuh Atas, selain ragam angkutan daring dan taksi. Pada tahun itu, fase 1 koridor selatan-utara MRT Jakarta masih dalam proses penuntasan, juga LRT Jabodebek, serta kedua moda itu dirancang melewati Dukuh Atas. Sementara LRT Jakarta masih dalam perencanaan untuk melewati Dukuh Atas, sebelum diubah trasenya menjadi ke Halim Perdanakusuma dari Velodrome.
Tidak mungkin orang jalan kaki panas-panas dari stasiun LRT Jabodebek ke Stasiun KCI Sudirman dan sebaliknya.
Kemudian Stasiun Kereta Bandara Soekarno-Hatta mulai beroperasi di akhir 2017, diikuti MRT Jakarta beroperasi pada 2019. Keduanya beroperasi melengkapi kereta komuter dan Transjakarta, serta membuat kawasan Dukuh Atas makin padat dan ramai. Apalagi pada Juni 2022, dijadwalkan LRT Jabodebek akan beroperasi. Sudah terbayangkan kawasan Dukuh Atas makin menjadi kawasan transit yang hiruk pikuk. Ribuan orang hingga puluhan ribu orang dari berbagai penjuru Jakarta dan sekitarnya akan melewati titik itu.
Menilik pada penataan kawasan Dukuh Atas, khususnya setelah kawasan itu ditata sebagai kawasan stasiun terintegrasi oleh PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (PT MITJ) pada 2020, kemudahan pergantian antarmoda angkutan sejauh ini baru menyentuh Stasiun MRT Dukuh Atas, Stasiun KAI KRL Sudirman, dan Stasiun kereta bandara BNI City. Ketiganya terhubungkan oleh terowongan Kendal. Sementara halte Transjakarta ada di atas, di Jalan Jenderal Sudirman.
Dari semua moda transportasi umum di Dukuh Atas saat ini, belum ada sarana penghubung atau pengintegrasi fisik antarmoda. Masyarakat masih harus berusaha lebih saat harus berganti angkutan umum.
Apalagi, pada Juni 2022 LRT Jabodebek dijadwalkan mulai beroperasi. Stasiun LRT Jabodebek itu terletak persis di belakang Gedung Landmark atau di sisi lain dari Stasiun KRL Sudirman dan terpisahkan oleh Kali Banjir Kanal Barat (BKB). Bila keterhubungan fisik antarmoda masih seperti hari ini, bisa dibayangkan kerepotan para penumpang saat hendak berganti moda.
Baca juga: Integrasi Tarif Antarmoda Transportasi di Jakarta Ditargetkan Terwujud Maret 2022
Aditya Dwi Laksana, Ketua Bidang Perkeretaapian, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menegaskan, keberadaan koridor atau jembatan yang menghubungkan antarmoda angkutan umum itu keharusan. ”Tidak mungkin orang jalan kaki panas-panas dari stasiun LRT Jabodebek ke Stasiun KCI Sudirman dan sebaliknya,” katanya, Sabtu (4/9/2021).
Di satu titik integrasi angkutan umum seperti Dukuh Atas, jelasnya, orang harus bisa berpindah moda angkutan umum dengan nyaman. ”Itu memang harus dibangun koridor penghubung yang nyaman,” katanya.
Tuhiyat, Direktur Utama PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (PT MITJ), dalam paparan pada Forum Jurnalis, Kamis (2/9/2021), menjelaskan, dari jadwal operasi LRT Jabodebek, ada arahan dari Menteri Perhubungan saat mengunjungi kawasan Dukuh Atas menjelang beroperasinya LRT Jabodebek, yaitu membangun sarana penghubung antarmoda untuk memudahkan perjalanan penumpang supaya lancar, aman, dan nyaman.
Penugasan itu juga melalui proses. Adalah Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) selaku kepanjangan tangan Kementerian Perhubungan sebagai regulator dan integrator transportasi umum di Jabodetabek yang awalnya menyurati PT MRT Jakarta untuk melaksanakan pembangunan jembatan penyeberangan multiguna itu.
Surat bertanggal 7 Januari 2021 itu antara lain menyebutkan alasan penugasan tersebut karena PT MRT Jakarta sudah ditetapkan sebagai pengelola KBT Dukuh Atas. Penugasan itu sudah diperbarui melalui Pergub No 65/2021.
BPTJ juga menyurati PT KAI selaku pemilik dan pengelola Stasiun KCI Sudirman dan Stasiun Kereta Bandara meski pada operasionalnya PT KAI menugaskan KAI KCI dan KAI Railink. Surat BPTJ itu menugaskan supaya KAI merevitalisasi Stasiun KCI Sudirman untuk mendukung konektivitas di kawasan Dukuh Atas.
Selanjutnya, baik PT KAI dan PT MRT Jakarta menugaskan PT MITJ untuk melaksanakan pembangunan jembatan dan revitalisasi Stasiun KCI Sudirman. Penugasan ke PT MITJ itu pun memiliki alasan. Seperti diketahui, PT MITJ merupakan anak perusahaan gabungan antara PT KAI dan PT MRT Jakarta yang dibentuk pada 2019.
PT MTIJ dibentuk dengan dua tugas pokok, pertama MITJ akan mengelola integrasi antarmoda di Jabodetabek yang melingkupi enam hal, yaitu integrasi fisik, manajemen, layanan, tiket, sumber informasi, dan branding. Kedua, MITJ dibentuk untuk pengembangan KBT di titik stasiun KCI dengan prioritas awal di tujuh stasiun.
”Pembangunan jembatan penyeberangan multiguna yang Bernama Serambi Temu Dukuh Atas ini akan menjadi integrasi antarmoda dari aspek fisik,” jelas Tuhiyat.
Dengan demikian, selain membangun jembatan penyeberangan multiguna, PT MITJ nantinya juga akan melaksanakan revitalisasi Stasiun KCI Sudirman. Sesuai garis waktu, kata Tuhiyat, perencanaan pembangunan jembatan sudah dimulai sejak Februari 2021 setelah mendapatkan rekomendasi teknis dari pihak-pihak terkait, seperti Direktorat Jenderal Perkeretaapian dan sejumlah dinas di Pemprov DKI Jakarta. Adapun konstruksi pertama dimulai pada 2 September 2021.
Polana B Pramesti, Kepala BPTJ, menjelaskan, pembangunan jembatan penyeberangan multiguna (JPM) Dukuh Atas akan menggunakan skema bundling dengan revitalisasi Stasiun KCI Sudirman. Keputusan tersebut diambil setelah hasil kajian merekomendasikan opsi pembangunan JPM saja kurang menarik minat investor.
”Jadi diputuskan bahwa pembangunan JPM Dukuh Atas satu paket bundling dengan revitalisasi Stasiun KRL Sudirman. Namun, dalam prosesnya, pembangunan JPM Dukuh Atas akan didahulukan menyusul kemudian revitalisasi Stasiun KRL Sudirman,” kata Polana.
Tuhiyat melanjutkan, JPM yang diberi nama Serambi Temu Dukuh Atas itu dikerjakan oleh kontraktor Waskita Bersama Vision First-KSO. Pendanaan dari investor, diperkirakan lebih kurang Rp 100 miliar.
Dengan posisi stasiun LRT Jabodebek yang terletak di belakang Gedung Landmark dan berdekatan dengan Waduk Setiabudi, jembatan dirancang sebagai bangunan dua lantai saat menyusuri Waduk Setiabudi dan sebagai jembatan satu lantai saat menyeberangi Kali Banjir Kanal Barat (BKB) menuju Stasiun KCI Sudirman. Total panjang JPM 265 meter.
Jembatan itu, dijelaskan Tuhiyat, bukan hanya sekadar jembatan yang menghubungkan stasiun LRT Jabodebek dan Stasiun KCI Sudirman, melainkan juga ke moda-moda angkutan umum lainnya di Dukuh Atas. Penumpang dari dan ke Stasiun MRT Dukuh Atas dan Stasiun Kereta Bandara akan dimudahkan. Lalu pesepeda juga akan dimudahkan melintas dengan akan dibangunnya trek sepeda di jembatan itu juga penataan trotoar.
Dari rekomendasi teknis yang diterima PT MITJ, pembangunan JPM dirancang tidak mengganggu waduk dan kali. Untuk waduk, akan ada revitalisasi yang dikerjakan dinas SDA. Untuk kali BKB, jembatan tidak boleh melintang dengan tiang di kali.
Sesuai konsepnya untuk menghubungkan secara fisik antarmoda, kata Tuhiyat, jembatan itu diharapkan bisa menjadi ruang publik inklusif, identitas baru perkotaan, hingga tujuan baru wisata perkotaan. Jembatan itu dikonsep tidak melulu sebagai jembatan, tetapi di dalamnya ada ruang yang bisa dipakai untuk ritel, hingga area temu untuk sekadar bertemu, diskusi kecil, juga untuk bekerja.
Baca juga: 32,5 Persen Waktu Perpindahan Antarmoda Lebih dari 10 Menit
Randy Ilham (35), warga Kota Tangerang, Banten, yang sehari-hari adalah pengguna KRL saat menuju kantornya di Kebon Kacang, Jakarta Pusat, belum bisa membayangkan keberadaan jembatan itu. Ia berpikir, jembatan itu akan sama seperti jembatan penyeberangan orang (JPO).
”Jembatan penyeberangan mungkin membantu pejalan kaki. Tetapi rasanya repot ya. Kaki saya pernah cedera dan susah naik turun JPO. Harapannya nanti tidak menggunakan tangga manual lagi,” katanya.
Namun, lagi-lagi ia merasa ragu karena kalaupun jembatan dilengkapi eskalator dan elevator, pemeliharaan bisa sangat mahal. ”Namun, semoga bisa dikelola baik demi kenyamanan penumpang dan pejalan kaki,” kata Randy yang terbiasa turun di Stasiun KCI Sudirman lalu lanjut bersepeda untuk menuju kantornya.
Aditya pun kembali mengingatkan, integrasi antarmoda bisa menambah porsi penggunaan angkutan umum tetapi dengan catatan. Pertama, integrasi fisik itu harus diikuti integrasi sistem pembayaran, integrasi sistem ticketing, integrasi sistem tarif, hingga integrasi jadwal operasional.
Kedua, kata Aditya, salah satu kelemahan angkutan umum adalah tidak bisa melayani angkutan point to point atau bukan dari titik asal perjalanan ke tujuan sehingga itu menyebabkan adanya perpindahan moda angkutan umum.
Untuk itu, pengelola mesti memperhatikan betul bahwa perpindahan antarmoda harus bisa membuat perpindahan dan perjalanan tersebut menerus dan lancar. ”Syarat orang mau berpindah moda, headway atau waktu tunggu atau jeda antara perjalanannya harus cukup tinggi sehingga waktu tunggu tidak terbuang banyak. Jadi jangan sampai waktu tunggu antarsatu moda dengan moda berikutnya atau perpindahan modanya tidak smooth dan jedanya panjang,” kata Aditya.
Selain itu, Aditya mengingatkan, jembatan penghubung juga bisa memberikan pemasukan dari aspek nontiket (nonfare box/NFB) dari pemanfaatan ruang.