Berpijak dari pentingnya peran satpol PP dalam menegakkan perda dan peraturan kepala daerah, terutama saat penerapan PPKM ini, penting kiranya membangun budaya kinerja yang lebih humanis ketika menghadapi masyarakat.
Oleh
Yohan Wahyu (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Keberadaan satuan polisi pamong praja atau biasa dikenal dengan satpol PP tak pernah lepas dari pro dan kontra. Di satu sisi, perannya dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban. Namun, di sisi lain, tindakannya yang kerap dilekatkan dengan kekerasan tak mudah untuk dihapuskan.
Setidaknya hasil jajak pendapat Kompas, akhir Juli lalu, menangkap dilema tersebut. Sebagian besar responden (78,1 persen) menyebutkan, hal yang paling berpotensi menimbulkan ketegangan di lapangan yang melibatkan aparat satpol PP adalah ketika melakukan penertiban pedagang kaki lima (PKL).
Persepsi responden ini mengindikasikan bahwa satpol PP sejauh ini memang dekat dengan urusan penertiban PKL, terutama terkait lokasi mangkal para pedagang yang tidak sesuai dengan peruntukan. Di sebagian besar wilayah kota, ketegangan antara satpol PP dan para PKL ini urusannya tidak lepas soal kawasan yang menjadi tempat jualan para PKL.
Sebanyak 43,1 persen responden mengakui pendekatan satpol PP di wilayah mereka tinggal cenderung keras dan kaku di lapangan.
Memang menjadi dilema, di satu sisi pemerintah daerah harus menegakkan aturan soal kawasan. Namun, di sisi lain, pemerintah juga harus memikirkan nasib para PKL yang menggantungkan penghasilan dari jualan sehari-hari. Tak jarang di beberapa daerah dibangun pusat kawasan khusus untuk PKL sebagai jalan tengah meski terkadang lokasinya justru menjauh dari pusat keramaian.
Selain urusan PKL, umumnya aparat satpol PP dipersepsikan oleh responden juga dihadapkan pada urusan kepatuhan dan tertib administrasi warga. Sebut saja soal operasi yustisi yang kerap melibatkan satpol PP. Hal lainnya terkait penertiban reklame atau iklan yang tidak berizin atau habis izinnya sehingga harus dibersihkan dari ruang publik.
Terakhir, sebagian responden juga melihat di tengah pandemi ini peran satpol PP juga dilibatkan dalam operasi penertiban terkait protokol kesehatan. Apalagi di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), peran satpol PP juga sering terlihat di lapangan.
Apresiasi
Meskipun dalam persepsi responden peran satpol PP identik dengan terjadinya ketegangan, bahkan kekerasan di lapangan, khususnya dengan para PKL, secara umum kinerja mereka sudah dipandang relatif baik. Apresiasi diberikan setidaknya pada tiga tugas yang diamanahkan kepada satpol PP sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja meski sebagian responden lainnya masih menyatakan sebaliknya.
Dari ketiga tugas satpol PP, yakni menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, serta melakukan perlindungan terhadap masyarakat, tugas pertama lebih banyak diingat oleh publik dan mendapatkan apresiasi paling tinggi. Boleh jadi ini tidak lepas dari lekatnya memori publik terkait satpol PP dengan penertiban PKL di atas yang kerap dilatarbelakangi oleh penegakan perda soal larangan lokasi tertentu dipakai untuk PKL berjualan.
Namun, tidak sedikit juga responden yang menyatakan kinerja satpol PP sejauh ini belum dilaksanakan dengan baik meski porsi responden yang menyatakan ini lebih kecil. Hal itu tidak lepas dari anggapan umum yang menempatkan satpol PP kerap kali bersentuhan dengan tindak kekerasan, terutama saat menghadapi masyarakat yang dinilai tidak tertib atau melanggar peraturan.
Kasus kekerasan yang dilakukan satpol PP di Kelurahan Panciro, Kecamatan Bajeng, Gowa, Sulawesi Selatan, yang memukul pasangan suami istri saat merazia kafe pada 14 Juli 2021 adalah contoh bagaimana dalam menjalankan tugasnya satpol PP kerap di luar kontrol, bahkan rawan melanggar hukum. Kasus ini sempat viral di media sosial dan oknum anggota satpol PP itu pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan setelah korban melaporkan kasus ini ke polisi.
Setelah kasus ini, operasi penertiban warga selama penerapan PPKM di sejumlah daerah dilakukan satpol PP dengan cara yang lebih humanis. Sebut saja di Kota Surabaya, Satpol PP Kota Surabaya mengedukasi kepada warga, terutama kepada para PKL dengan memberikan bantuan bahan makanan.
Melekatnya tindakan kekerasan saat bertugas di lapangan ini diakui oleh responden jajak pendapat. Sebanyak 43,1 persen responden mengakui pendekatan satpol PP di wilayah mereka tinggal cenderung keras dan kaku di lapangan. Isu ini lebih banyak diakui oleh responden dibandingkan dengan isu tindakan pungutan liar yang dilakukan oknum petugas satpol PP dan perlakuan diskriminatif di lapangan.
Humanis
Berpijak dari pentingnya peran satpol PP dalam menegakkan perda dan peraturan kepala daerah, terutama saat penerapan PPKM ini, penting kiranya membangun budaya kinerja yang lebih humanis ketika menghadapi masyarakat.
Apa yang sudah dilakukan satpol PP di sejumlah daerah dengan membagikan bahan makanan sebagai bagian dari edukasi penerapan PPKM, misalnya, bisa menjadi standar bagaimana institusi ini menjalankan tugasnya. Apalagi salah satu tugas satpol PP adalah menyelenggarakan ketertiban umum. Jika dilakukan dengan cara-cara kaku, bahkan dengan kekerasan, tentu malah mengganggu ketertiban umum itu sendiri.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dalam rapat koordinasi secara virtual bertajuk ”Inspirasi Komunikasi Publik untuk Penguatan Satpol PP dalam Penegakan Protokol Kesehatan dan Percepatan Pemberian Vaksin bagi Masyarakat”, meminta jajaran satpol PP bekerja dengan empati dan hati agar mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari masyarakat (Kompas.id, 22/7/2021).
Tentu, satpol PP adalah wajah dan representasi pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Dengan menampilkan satpol PP yang lebih humanis, secara tidak langsung sekaligus menampilkan wajah pemerintahan daerahnya yang humanis dan berpihak kepada masyarakat.