40 Persen Wilayah Utara Jakarta Berada di Bawah Permukaan Laut
Pemprov DKI Jakarta melalui konsep NCICD berupaya menangani dan mengantisipasi kenaikan muka laut yang berpotensi membuat Jakarta tenggelam. Di hilir membangun tanggul pantai, di darat mengurangi penyedotan air tanah.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 40 persen kawasan di utara Jakarta saat ini kondisinya berada di bawah muka air laut. Di kawasan ini, tingkat rata-rata subsidence atau penurunan muka tanah mencapai 7,5 cm per tahun. Tingginya ekstraksi air tanah dalam juga masih belum optimalnya layanan air bersih yang saat ini baru mencapai 64 persen, menjadi salah satu pemicu cepatnya laju penurunan tanah Jakarta. Sebagian besar kawasan Ibu Kota Indonesia pun terancam terendam air laut di masa depan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono menyatakan, dampak perubahan iklim sudah semakin nyata dirasakan dari waktu ke waktu. DKI Jakarta sudah menyusun sejumlah strategi antisipasi dan mewujudkannya bersama pemerintah pusat, yaitu melalui National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dengan membangun tanggul pantai, serta mengatur antisipasi melalui instruksi gubernur.
Dalam keterangan tertulis, Jumat (6/8/2021), Nasruddin menjelaskan, kenaikan muka air laut ini berdampak pada meningkatnya kerentanan kota-kota pesisir dunia, termasuk Jakarta dan kota-kota di pesisir Jawa, seperti Pekalongan, Semarang, dan Demak.
Pernyataan Presiden Amerika Joe Biden beberapa waktu lalu, yang diperkuat pernyataan NASA, pakar geodesi ITB Heri Andreas, dan data Climate Central melalui peta interaktifnya, menurut Nasruddin, mengingatkan kembali kewaspadaan akan dampak perubahan iklim yang dapat menyebabkan kota Jakarta, utamanya pesisir utara, terancam tenggelam.
Ancaman tenggalam, dijelaskan Nasruddin, kondisi utara Jakarta saat ini 40 persen wilayahnya ada di bawah muka air laut dengan tingkat rata-rata subsidence atau penurunan muka tanah mencapai 7,5 cm per tahun. Tingginya ekstraksi air tanah dalam juga masih belum optimalnya layanan air bersih yang saat ini baru mencapai 64 persen, menjadi salah satu pemicu cepatnya laju penurunan tanah Jakarta.
Hal ini dipertegas kajian Prof Masyhur Irsyam (2016) yang menyatakan land subsidence Jakarta disebabkan oleh ekstraksi air tanah (40-70 persen atau 4.0-6.0 cm/tahun); beban bangunan bertingkat tinggi (10 persen atau 1.0 cm/tahun); kompaksi natural urugan tanah (20-50 persen atau 1.5-5.0 cm/tahun); dan aktivitas tektonik (5 persen atau < 0,5 cm/tahun).
”Itu menyebabkan air dari daratan menjadi sulit mengalir dengan baik saat musim hujan dan akan semakin diperparah apabila terjadi saat pasang laut,” kata Nasruddin.
Jakarta memang berkontur dataran rendah, kemudian juga terjadi penurunan muka tanah. Meski demikian, Pemprov DKI Jakarta tetap mengupayakan agar Jakarta tidak tenggelam.
Untuk pengendalian banjir akibat dampak perubahan iklim di kawasan pesisir Jakarta, Nasruddin mengatakan, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta berkomitmen dan berkolaborasi melaksanakan strategi Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN)/National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) tahap A untuk mengurangi dampak bencana sampai dengan tahun 2033.
Sejumlah strategi yang dilakukan, disebutkan Nasruddin, ialah melalui pengendalian dan pemantauan penurunan muka tanah. Kedua, pengendalian banjir rob dan pengelolaan sumber daya air melalui pembangunan tanggul pantai sepanjang 46,2 km di Pantai Utara Jakarta yang merupakan kolaborasi Pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. Saat ini tanggul pantai telah terbangun 12,664 km.
Ketiga, melalui upaya penyediaan air baku dan air bersih perpipaan. Di antaranya melalui pengembangan SPAM Regional Jatiluhur, Karian dan Buaran 3, serta SPAM Hutan Kota (skala lokal). Kemudian secara paralel diikuti pengetatan penggunaan air tanah dalam bagi daerah-daerah yang telah terlayani air perpipaan dengan memadai.
Keempat, pengendalian dilakukan melalui penanganan sanitasi dan lingkungan. Di antaranya melalui pembangunan Jakarta Sewerage System (JSS), SPALD, dan revitalisasi tangki septik.
Kelima, upaya perlindungan dan penataan kawasan pesisir Jakarta. Di antaranya melalui penanaman mangrove baik yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta maupun secara kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan strategis lainnya.
Nasruddin melanjutkan, pengendalian banjir bukan hanya antara DKI Jakarta dan pemerintah pusat, melainkan juga menjadi program seluruh kawasan Jabodetabekpunjur. Program-program strategis tersebut juga tertuang dalam Komitmen Bersama Penanggulangan Banjir dan Longsor Kawasan Jabodetabekpunjur 2020-2024 yang ditandatangani secara elektronik oleh 6 kementerian/lembaga, 3 gubernur, dan 9 bupati/wali kota pada 2 Juni 2020.
Khusus untuk DKI Jakarta, untuk percepatan peningkatan sistem pengendalian banjir yang responsif, adaptif, dan memiliki resiliensi atas risiko banjir, Pemprov DKI Jakarta menyusun Ingub 52 Tahun 2020 tentang Percepatan Peningkatan Sistem Pengendalian Banjir di Era Perubahan Iklim.
Melalui Ingub tersebut, menurut Nasruddin, DKI Jakarta hendak membangun sistem deteksi dan peringatan dini kejadian banjir serta sistem penanggulangan bencana banjir yang antisipatif, prediktif, cerdas (smart) dan terpadu. Tujuannya berikutnya adalah untuk memastikan infrastruktur pengendalian banjir eksisting selalu beroperasi dalam kapasitas optimal. Di antaranya, pengerukan dan pembersihan badan air (waduk, sungai, saluran drainase) serta evaluasi dan optimalisasi pompa dan pintu air pengendali banjir.
Melalui Ingub itu juga, DKI Jakarta ingin mempercepat pembangunan infrastruktur pengendalian banjir yang belum terealisasi; mendorong pemenuhan kewajiban dan peran serta seluruh komponen masyarakat dalam pengendalian banjir; menyempurnakan sistem pengendalian banjir yang sesuai dengan tuntutan kondisi perubahan iklim; dan membangun kesadaran, keberdayaan, dan kebudayaan masyarakat yang responsif terhadap banjir dan perubahan iklim.
”Kami yakin, dengan dukungan kolaborasi aktif segenap stakeholders, implementasi berbagai program strategis penanganan dan perlindungan pesisir utara Jakarta yang dilaksanakan secara sinergis dan terintegrasi dari hulu ke hilir, permasalahan banjir Jakarta dan ancaman tenggelamnya pesisir Jakarta dapat diminimalkan demi keberlanjutan eksistensi Jakarta di masa-masa mendatang,” ujar Nasruddin.
Penyedotan air tanah ke depan akan digantikan dengan program pipanisasi untuk penyaluran air bersih sehingga tidak ada lagi penggunaan pompa air di masing-masing rumah. Untuk hal ini Pemprov DKI bekerja sama dengan Kementerian PUPR.
Terpisah, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, Jakarta memang berkontur dataran rendah, kemudian juga terjadi penurunan muka tanah. Namun, Pemprov DKI Jakarta tetap mengupayakan agar Jakarta tidak tenggelam.
”Penyedotan air tanah ke depan akan digantikan dengan program pipanisasi untuk penyaluran air bersih sehingga tidak ada lagi penggunaan pompa air di masing-masing rumah. Untuk hal ini, Pemprov DKI bekerjasama dengan Kementerian PUPR,” ujarnya.
Langkah konkret yang dikerjakan DKI, menurut Ahmad Riza, tentu juga kaitan dengan banjir rob. ”Kami terus persiapkan program-program agar rob di Jakarta Utara bisa diatasi dengan baik,” ujarnya.
Gembong Warsono, anggota Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta, secara terpisah menjelaskan, untuk pengendalian banjir, dana dari APBD DKI 2021 lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan drainase vertikal. Pada 2021-2022 targetnya bisa membangun 300.000 sumur resapan. ”Ada Rp 400 miliar yang digunakan pada tahun ini untuk membangun drainase vertikal,” kata Gembong.
Adapun untuk pembiayaan proyek-proyek sumber daya alam (SDA) DKI Jakarta, termasuk pengendalian banjir, DKI Jakarta lebih banyak menggunakan dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Seperti diberitakan Kompas, pada September 2020 Kepala Dinas SDA DKI Jakarta Juaini Yusuf menjelaskan, dari PEN Dinas SDA mendapat pinjaman Rp 5,2 triliun. Dana itu menurut rencana untuk membiayai pekerjaan periode 2021-2022.