Merekayasa Kota agar Warga Lebih Adaptif Hidup Bersama Pandemi Covid-19
Ruang publik dan kota perlu direkayasa sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan kebutuhan hidup bersama pandemi virus menular, termasuk SARS-CoV-2 yang terus bermutasi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
Seiring peningkatan kerusakan ekologis karena pembangunan yang eksploitatif, wabah akibat virus bisa muncul kini dan nanti. Sayangnya, semua negara di dunia tidak pernah bersiap diri. Upaya untuk mengantisipasi bencana terburuk lainnya perlu dilakukan dengan melakukan berbagai rekayasa, termasuk dalam penataan kota.
Pandemi Covid-19 saat ini, faktanya, bukan satu-satunya wabah yang pernah menghantui makhluk bumi. Sejarah mencatat, pandemi terbesar pertama adalah flu Spanyol yang terjadi pada 1918. Disusul flu Asia (1957), flu Hong Kong (1968), dan pandemi H1N1 (2009). Seluruh kejadian wabah itu menimbulkan kematian ribuan hingga puluhan juta manusia.
Ahli virologi dan molekuler biologi Universitas Udayana, Denpasar, I Gusti Ngurah Mahardika, mengatakan, virus baru dapat muncul dan berpotensi mewabah karena dua perubahan, yaitu perubahan genetika dan ekologis. Perubahan ekologis menjadi faktor terbesar karena terkait ulah manusia, antara lain dipicu perusakan sumber daya alam dan perburuan makanan.
Faktor itu pun diduga menjadi pemicu pandemi Covid-19, yang masih gagap ditangani dunia. Ini termasuk Indonesia, yang meski setelah Covid-19 menginfeksi hampir 4 juta penduduk Tanah Air, masih lemah dalam mengupayakan pelaporan awal, deteksi dini, pelacakan, dan penanganan.
Ahli bergelar profesor tersebut, dalam webinar bertajuk ”Engineering Tough Sustainable City: Desain Ruang Publik dalam Tatanan Normal Baru”, Rabu (18/8/2021), berpendapat, kesiapsiagaan menghadapi pandemi harus ada di tingkat nasional dan lokal daerah. Ini bisa dimulai dengan menyiapkan sistem dan fasilitas terkait kesehatan.
”Sebagai contoh, setiap kota harus punya rumah sakit infeksi. Di Jakarta, misalnya, ada RSPI Sulianti Saroso, tapi ternyata kapasitasnya masih terbatas. Belum lagi soal ketersediaan tabung oksigen dan ventilator yang bisa menyelamatkan banyak jiwa,” ujarnya.
Berikutnya, yang tidak kalah penting adalah merekayasa ruang publik agar dapat menyesuaikan kebutuhan hidup warga bersama virus menular, termasuk SARS-CoV-2 yang terus bermutasi. Rekayasa ini, menurut dia, bisa dilakukan dengan mempelajari karakter-karakter virus.
Selain mudah menyebar antarmanusia di dalam kerumunan dengan bantuan udara dan paparan benda mati, virus juga memiliki kelemahan, seperti tidak suka dingin dan lingkungan agak kering, tidak suka panas dan kelembaban tinggi, terpapar asam, termasuk sinar ultraviolet.
”Inovasi yang bisa dipikirkan, mungkin, bisa tidak buat mal yang berjendela. Lalu, pemasangan alat sterilisasi ultraviolet portabel di moda, seperti bus atau kereta, untuk mendukung transportasi publik yang aman,” tuturnya.
Arsitektural
Adaptasi kegiatan dan ruang interaksi publik terhadap virus penyebab pandemi saat ini juga menguji kesadaran masyarakat dan ketersediaan infrastruktur kota. Arsitek dan akademisi, Randy Tambayong, menyadari, situasi ini juga menjadi tantangan bagi perencana tata ruang.
”Manusia sebagai makhluk sosial selalu ingin berinteraksi dan terdorong berinteraksi seintim mungkin. Bahkan, selama pandemi ini masyarakat tetap punya keinginan untuk ketemu tatap muka dengan protokol kesehatan,” ungkapnya dalam acara sama.
Fenomena tersebut membuat para arsitek, termasuk dirinya, melihat adanya peralihan terhadap desain ruang publik sebelum dan setelah pandemi. Desain ruang publik pascapandemi dimungkinkan agar manusia bisa hidup berdampingan dengan virus, agar aktivitas sosial dan ekonomi bisa terus berdenyut.
Desain ruang publik pascapandemi yang dimaksud bukan seperti memberikan penanda dilarang duduk pada bangku atau penyemprotan disinfektan secara besar-besaran di jalanan atau pada tubuh orang. Cara semacam itu, menurut dia, hanya untuk jangka pendek dan tidak efisien.
Desain semacam itu, kata dia, harus dialihkan dengan desain yang lebih berkelanjutan. Misalnya, dengan membuat kursi individu yang multifungsi di ruang terbuka, seperti taman atau halaman bangunan. Penempatan ruang interaksi di tempat terbuka juga menjadi sorotan saat ini karena banyak studi menunjukkan, pandemi mendorong kebutuhan dalam ruangan untuk kegiatan publik beralih ke luar ruangan.
”Pandemi telah menarik simpul-simpul kegiatan manusia dari dalam bangunan ke luar. Ini perlu dipikirkan ke depan karena selain untuk meminimalkan penularan Covid-19, juga agar secara komersial bangunan bisa hidup untuk kembali menggerakkan ekonomi,” tuturnya.
Pada akhirnya, sosiolog Universitas Indonesia (UI), Imam B Prasodjo, berpendapat, pandemi Covid-19 dapat memengaruhi produk arsitektur di masa mendatang. ”Ini jadi tantangan arsitek ke depan, agar bisa cepat merespons dan tidak salah berinvestasi. Pembangunan gedung perkantoran banyak membuat pengembang ragu karena banyak penyewa sekarang merasa tidak efektif kalau punya kantor,” ujarnya.
Berkelanjutan
Dampak Covid-19 ke ruang publik juga berpotensi menggeser kebijakan-kebijakan di sejumlah sektor, seperti pariwisata, perkantoran, transportasi publik, konsumsi energi, dan perdagangan ritel. Semua pengambil kebijakan terkait penataan ruang publik hingga tata kota harus mengambil langkah strategis untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk mewujudkan hal itu, pertama, kata Imam, para pengambil kebijakan dan pengembang harus memiliki paradigma pembangunan ramah lingkungan. Hal ini bertentangan dengan praktik pembangunan ekonomi di mayoritas negara di dunia yang selama ini mengeksploitasi alam demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
”Lebih baik pertumbuhan (ekonomi) minim, tapi bisa ramah lingkungan. Pembangunan arsitektur juga harus menyesuaikan paradigma yang berubah ini,” ujarnya.
Selain paradigma berbasis lingkungan, rekayasa ruang publik dan kota juga harus berorientasi pada kemajuan teknologi. Perencanaan ruang publik yang memanfaatkan teknologi dan dampak Covid-19, menurut Imam, penting agar arsitektur masa depan tidak hanya mempertimbangkan kesejahteraan manusia, tetapi juga ekosistem.
Ini bisa dilihat dari disrupsi digital yang berkembang pesat selama pandemi karena saling dibutuhkan. Imam mencontohkan pasar atau pusat perbelanjaan yang banyak dibatasi kegiatannya untuk menghindari penularan Covid-19. Kondisi itu mendorong sebagian pedagang dan peritel untuk memanfaatkan digitalisasi dalam sistem logistik dan penjualan.
Pasar di masa depan pun bisa mengombinasikan adaptasi terhadap pandemi dan kemajuan teknologi, seperti dengan mendesain bangunan yang mendukung protokol kesehatan. Lalu, menghadirkan pusat digital atau pusat pengemasan untuk mendukung ekosistem pemasaran digital.
”Di Jakarta ada 152 pasar tradisional yang saat ini sekarat karena pandemi. Kalau desain arsitekturnya masih memakai cara lama, pasar akan sia-sia,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kepala Pusat Inovasi Kota dan Komunitas Cerdas Institut Teknologi Bandung (ITB) Suhono Harso Supangkat menilai, pandemi membuat solusi inovatif dengan memanfaatkan teknologi dihadirkan di setiap kota. Konsep kota cerdas atau smart city bisa membantu meningkatkan kualitas hidup meningkat secara sosial dan ekonomi.
”Kota perlu disederhanakan dengan satu model pemanfaatan teknologi. Kami mengembangkan digital twin agar antara kondisi virtual berbasis informasi data dan riil bisa saling terkoneksi sehingga kita bisa melakukan tindakan cepat untuk mengatasi masalah yang butuh respons cepat, menengah, ataupun jangka panjang,” kata Suhono yang ikut berkontribusi dalam merumuskan berbagai indikator dan konsep transformasi pembangunan kota cerdas dalam konsep Garuda Smart City Framework.
Sistem kota cerdas, menurut Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB itu akan bisa membaca situasi, menghadirkan pemahaman, dan menentukan aksi untuk perbaikan situasi. Adapun sistem ini tidak hanya bertumpu pada pemanfaatan teknologi, tetapi juga kolaborasi antara pemerintah dan warga.