Tukang Sayur Keliling, dari Pekalongan Menopang Jakarta
Penjual sayur keliling di Jakarta dan sekitarnya banyak didominasi perantau asal Pekalongan, Jawa Tengah. Sebagian dari mereka merantau ke Jakarta dan sekitarnya setelah krisis 1998.
Para perantau dari Pekalongan, Jawa Tengah, menjadi bagian dari sistem penopang kehidupan masyarakat urban di Jakarta dan sekitarnya. Kehadiran mereka menggerakkan mesin besar bernama perekonomian, juga peradaban.
Irwanto (40) memulai harinya saat kebanyakan orang sedang dibuai mimpi. Sebagai tukang sayur keliling, ia sudah harus bangun pukul 01.00 untuk membeli barang dagangan ke Pasar Ciputat, sekitar 4 kilometer dari kontrakannya di Pisangan Timur, Ciputat Timur, Tangerang Selatan (Tangsel).
Sebelum subuh, ia sudah harus kembali ke kontrakan, membongkar karung berisi barang dagangan, dan menatanya di gerobak. Pada pukul 06.00 ia sudah menggelar sayuran dan bahan lainnya di emperan jalan, tak jauh dari kontrakan.
Sambil menanti pelanggan, ia menyiapkan sayuran dan lauk yang dipesan pelanggan melalui Whatsapp (WA) sehari sebelumnya. Pukul 09.00, ia mengantar pesanan pelanggan yang tinggal di kompleks perumahan dengan sepeda motor. Dua jam kemudian, ia berkeliling kompleks dengan gerobak sayurnya, menemui pelanggannya yang berbelanja lebih siang.
”Seperti itu sehari-hari. Jam empat sore balik ke kontrakan, memasukkan ikan dan bahan-bahan lain yang tersisa di kulkas. Capek, selalu kurang tidur,” kata Irwanto, Kamis (5/8/2021).
Meski begitu, ia terus menjalani pekerjaan yang ia mulai sejak 1998. Saat itu usianya baru 17 tahun. ”Awalnya dagang buah, lalu beralih dagang sayuran sampai sekarang,” katanya.
Seperti kebanyakan pedagang sayur keliling di Ciputat dan sekitarnya, Irwanto berasal dari Desa Kwasen, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. ”Dari dukuh saya, Binangun, ada 10-an tukang sayur keliling di Ciputat. Belum dari dukuh lainnya,” ujar Irwanto.
Ia menduga, di Ciputat saja ada 20-an pedagang sayur keliling asal Kwasen. ”Belum yang di Pamulang dan Serpong. Enggak tahu jumlah pastinya, tetapi banyak. Di kampung, juga ada ibu-ibu pensiunan pedagang sayur keliling,” tambahnya.
Sebagian dari mereka tinggal berkelompok dalam koloni kecil di sejumlah kontrakan di kampung-kampung sekitar kompleks perumahan. Salah satu koloninya ada di Pisangan Timur dan sekitar Legoso, Ciputat.
Di sana, ada belasan pedagang sayur tinggal di rumah petak yang berdekatan. Koloni semacam itu juga ditemukan di perkampungan dekat kompleks di Poncol, Pondok Cabe, Pamulang, Serpong, hingga Cikupa.
Irwanto mengisahkan, sebagian besar pedagang sayur keliling dari desanya mulai berjualan setelah krisis 1998. Saat itu, kehidupan di kampung sangat sulit. Hasil pertanian dihargai terlalu murah, pekerjaan lain tak ada. Akhirnya, mereka merantau ke Jabodetabek.
”Waktu itu ada warga yang berhasil jualan sayuran, lalu ngajak tetangga. Akhirnya kita ramai-ramai jualan sayuran sampai sekarang,” tambah Irwanto. Cerita serupa disampaikan Emen (55), pedagang sayuran keliling, juga asal Kwasen.
Seingat dia, warga Kwasen yang memelopori usaha berjualan sayuran di Jakarta bernama Tardi. Melihat kesuksesan Tardi, warga lainnya mencoba mengikuti jejaknya. ”Akhirnya sekampung jualan sayur semua, termasuk saya,” ujar Emen. Sebelumnya dia berprofesi sebagai tukang becak di Tanjung Priok.
Selain Kwasen, menurut Emen, banyak pedagang sayur di Jakarta dan Tangerang berasal dari Desa Kayugeritan, Kecamatan Karanganyar, Pekalongan. Emen biasa mangkal di sekitar perumahan Ciputat Molek.
Sekitar satu kilometer dari tempat mangkal-nya, ada Salim, Tarjono, dan Sarmun yang mangkal di perumahan Pondok Hijau. Di luar itu, banyak pedagang sayur-mayur lain asal Kwasen yang keliling dengan gerobak di perkampungan dan perumahan di Ciputat.
Menjajal peruntungan
Hijrah dari Pekalongan, Utoyo muda, kini 46 tahun, pernah menjadi kuli angkut di Pasar Palmerah dan Pasar Kebayoran Lama. Baru sekitar 2010, Pak Toyo, sapaannya, memutuskan jadi tukang sayur keliling.
Seiiap pukul 03.00, Utoyo berangkat ke Pasar Palmerah membeli bahan dagangan. Modalnya sekitar Rp 1,5 juta dengan keuntungannya berkisar Rp 300.000-Rp 500.000 per hari. Dengan catatan, dagangannya habis terjual.
Di awal berdagang, Utoyo hanya keliling di sekitar Slipi dan Palmerah. Dari situ, pria beranak dua ini menyadari, sejumlah perumahan atau permukiman sudah memiliki tukang sayur langganan. Dari obrolan dengan tetangga kontrakan petak di Kebon Sayur, Slipi, Jakarta Barat, tercetus kawasan Anggrek untuk menjajal peruntungan.
”Kalau Anggrek Garuda agak susah karena, kan, dekat dengan Pasar Slipi. Anggrek Neli sudah ada yang megang. Anggrek Rosliana ini belum ada,” ungkap Utoyo.
Selain Utoyo, banyak rekannya dari Pekalongan yang juga mencari nafkah sebagai tukang sayur di Ibu Kota. ”Kalau di Slipi, yang dari Pekalongan, enggak banyak. Cuma saya sama ada dua orang lagi. Yang banyak itu di Cipete. Dari yang ndorong sampai pakai motor itu orang Pekalongan,” tutur Utoyo.
Carkuat (39), asal Desa Langensari, Kabupaten Pekalongan, sudah 10 tahun menjadi tukang sayur keliling di Perumahan Cendana Pamulang, Tangsel. Sebelumnya, bapak tiga anak yang biasa dipanggil Kuat itu bekerja serabutan di Jakarta. ”Sejak lulus SMA saya sudah ke Jakarta, tetapi tidak ikut kakang (abang). Cari kerja sendiri, serabutan ke Pasar Senen,” kata Kuat.
Suatu hari ia ke rumah abangnya yang menjadi penjual sayur keliling di Pamulang. Si abang meminta ia menggantikannya sebagai tukang sayur. ”Ternyata penghasilannya besar. Ya, sudah belajar ikut kakang. Seminggu ikut jualan keliling, lama-lama beli gerobak dan Tosa (sepeda motor),” kata Kuat. Modalnya Rp 2,5 juta.
Sebelum memutuskan lokasi berdagang, Kuat berunding dengan kakangnya. ”Kalau ada saudara mau ikut jualan, lihat dulu perumahan mana yang masih kosong, belum ada penjual sayur. Nanti masuk ke situ,” jelas Kuat.
Penghasilan lumayan, tetapi rumah sendiri saya buat di kampung saja. Nanti setelah tidak lagi jualan sayur saya akan pulang ke sana.
Setelah Kuat dan abangnya, adik perempuannya juga menyusul berdagang sayur. Tiga bersaudara itu memiliki wilayah operasi di kawasan Pamulang. Ada yang di Vila Pamulang, Bukit Dago, dan Cendana. Penghasilan mereka rata-rata di atas Rp 200.000 per hari hingga mampu mengontrak rumah di Pamulang.
”Penghasilan lumayan, tetapi rumah sendiri saya buat di kampung saja. Nanti setelah tidak lagi jualan sayur saya akan pulang ke sana,” ujarnya. Ia masih bercita-cita memiliki sawah agar bisa jadi sandaran di hari tua.
Arifin (32) berangkat dari Desa Krandon, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, pada tahun 2010 untuk membantu kakak perempuannya berjualan sayur di Jakarta. Ia mulai mendorong gerobak sayur milik kakaknya di kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Dari kakaknya ia belajar kulakan, berjualan, dan mengenali tempat-tempat yang membutuhkan sayur. Tahun 2013, Ipin punya gerobak sendiri dan memiliki tempat favorit berjualan, yakni sekitar Emerald Distric Tangerang Selatan, terutama di kluster Emerald Town House dan Emerald Garden.
Sebagian besar para tukang sayur di sekitar Bintaro, kata Ipin, berasal dari desa yang sama dengannya, yakni Desa Krandon, Pekalongan. ”Mungkin di sini ada 80-an orang, teman sedesa yang berjualan sayur. Biasanya kalau kulakan suka sama-sama,” tutur Ipin yang juga bendahara karang taruna desanya di perantauan.
Slamet Widodo (55), juga asal Pekalongan, yang Kamis lalu ditemui di wilayah Pondok Karya, Kecamatan Pondok Aren, Tangsel, sudah 35 tahun lebih berjualan sayur. Selain berjualan dengan gerobak dorongnya, Slamet juga melayani pesanan melalui WA, dibantu istrinya. Karena hanya sekolah hingga kelas dua SD, ia tak lancar baca tulis.
Saat remaja, ia kerap bekerja sebagai kuli bangunan hingga tebersit keinginan mengikuti jejak saudara dan tetangganya pergi ke Jakarta. Slamet meniatkan diri menjadi penjual sayur dengan gerobak dorong.
”Setiap jam tiga pagi saya kulakan ke Pasar Kebayoran Lama. Kemudian rapi-rapi di rumah, lalu pagi hari menjajakan dagangan hingga kembali ke rumah sekitar jam satu siang,” ujar Slamet. Dia punya cara berjualan unik, memanggil pelanggannya dengan berteriak ”tahu rasa daging, tahu rasa daging....”
Majalengka-Solo
Bukan dari klan Pekalongan, di kawasan Tebet Timur, Jakarta Selatan, ada Asep Kurniawan (42), tukang sayur asal Majalengka, Jawa Barat. Asep sudah berjualan sejak tahun 2005, mengikuti jejak orangtuanya.
”Dulu saya masih pakai gerobak. Pakai motor baru tahun 2021 ini. Soalnya kejauhan. Dari Cipinang Besar ke Tebet Timur itu dua jam kalau jalan kaki,” ujar Asep.
Dulu, setiap hari, Asep berangkat kulakan pukul 05.00 ke Pasar Pisangan. Sekarang dia berangkat lebih pagi, pukul 02.30. ”Mulai muter pukul 06.30 sampai sekitar pukul 13.00,” katanya.
Meski kini menerima pesanan via WA, penghasilannya turun dibandingkan dengan sebelum pandemi. Sehari bisa membawa pulang Rp 100.000 sudah membuat Asep bersyukur. ”Harapannya, jangan PPKM. Banyak ditutup jalannya, susah masuk kompleks,” katanya.
Di kawasan Tanah Baru, Depok, ada Parto (55) yang berasal dari Solo. Pria yang disapa dengan nama Pakde Sayur ini sudah sejak 2008 menjadi tukang sayur. ”Sebelumnya saya jual bakso di Ciganjur, Tangerang, seluruh Jabodetabeklah. Jadi, tukang sayur karena waktu itu sudah enggak ada minyak (tanah) lagi,” ujar Parto.
Dia memilih menjadi tukang sayur karena tak punya keahlian lain. ”Enggak ada yang ngajari. Langsung berdikari sendiri modal dengkul. Dulu modal Rp 500.000 juga sudah dapat belanjaan banyak,” katanya.
Setiap hari Parto mulai belanja pukul 02.00 di Pasar Minggu. Jaraknya tak terlalu jauh dari kontrakannya di Ciganjur, Jakarta Selatan. ”Habis belanja, pukul 04.00 langsung gelar. Dulu di gang situ, sekarang pindah depan minimarket, abis itu muter,” imbuhnya.
Sejak pandemi, banyak kompleks ditutup. Pesanan berpindah lewat WA. Parto pun harus mematuhi protokol kesehatan. Dia memakai masker dan membawa botol hand sanitizer.
”Jadi, modal terus. Masker, kan, harus dibuang setiap hari. Semprotan dipakai terus juga habis. Sekarang untung Rp 10.000, dikurangi Rp 3.000 buat masker dan semprotan, padahal pemasukan lagi standar,” katanya.
Parto berusaha tak mengeluh. Yang penting dia sehat. ”Daripada nganggur. Anak istri gimana, kan, harus makan setiap hari. Kalau libur, ya, enggak makan,” katanya. Sayur, sayur.... (IAN/NAW/TRI/CAN)