Pemutusan hubungan kerja mulai terjadi wilayah Kabupaten Bekasi. Bantuan subsidi upah tak menyelamatkan korban PHK.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Pemerintah sudah berupaya meringankan beban pekerja yang terdampak pembatasan kegiatan masyarakat darurat melalui bantuan subsidi upah. Namun, pemutusan hubungan kerja atau PHK mulai terjadi. Korban-korban PHK kini menanti uluran tangan pemerintah.
Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, ada 3.322 pekerja yang diusulkan menerima bantuan subsidi upah kelompok pertama melalui kepesertaan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Cabang Bekasi Cikarang. Kalangan buruh menilai bantuan upah itu belum tepat sasaran bagi pekerja di Kabupaten Bekasi.
Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di masa PPKM level 4 dan 3 mengalokasikan anggaran Rp 10 triliun untuk Prakerja dan bantuan subsidi upah (BSU). Dari jumlah itu, anggaran BSU untuk pekerja formal peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) dialokasikan Rp 8,8 triliun. Secara keseluruhan diperkirakan ada 8,7 juta pekerja yang bakal menerima bantuan itu.
Syarat bagi penerima BSU itu berada di wilayah PPKM level 3 dan 4 yang tercantum di Instruksi Mendagri Nomor 22 dan 23 Tahun 2021.
BSU bagi pekerja merupakan program pemerintah untuk membantu beban pekerja yang terdampak Covid-19. Bantuan itu direncanakan akan segera diterima sejumlah pekerja di wilayah Kabupaten Bekasi dalam waktu dekat ini.
”Bantuan tunai Rp 1 juta per orang itu akan disalurkan langsung pemerintah kepada penerima manfaat melalui empat bank Himbara. Semoga melalui penyaluran bantuan ini dapat membantu pekerja memenuhi kebutuhan selama pandemi ini sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Sekretaris Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi Betty Kusuma Wardhani, Kamis (5/8/2021) di Bekasi.
Berdasarkan data kantor BP Jamsostek Cabang Bekasi Cikarang, ada 3.322 pekerja di wilayah itu yang diusulkan untuk mendapat bantuan pada tahap pertama. BSU disebut sebagai nilai tambah bagi pekerja yang terdaftar sebagai peserta aktif BP Jamsostek, selain mendapat perlindungan dari risiko kerja dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, serta jaminan kematian.
”Syarat bagi penerima BSU itu berada di wilayah PPKM level 3 dan 4 yang tercantum di Instruksi Mendagri Nomor 22 dan 23 Tahun 2021. Selain itu, diutamakan bagi pekerja di sektor usaha industri barang konsumsi, transportasi, aneka industri, properti dan real estat, serta perdagangan dan jasa,” kata Kepala Kantor BP Jamsostek Cabang Bekasi Cikarang Andry Rubiantara.
Syarat lain bagi penerima BSU, yakni memiliki kartu identitas kependudukan, pekerja penerima upah dan peserta aktif BP Jamsostek dengan masa berlaku sampai 30 Juni 2021. Pekerja juga memiliki upah maksimal Rp 3,5 juta per bulan. Jika pekerja bekerja di wilayah dengan UMP atau UMK lebih besar dari Rp 3,5 juta, persyaratan upah menjadi maksimal sesuai UMP atau UMK.
Buruh kian terdampak
Selama PPKM darurat, kesejahteraan buruh di wilayah Kabupaten Bekasi kian menurun. Pembatasan ini juga kian mempersulit akses buruh terutama yang tinggal di luar Bekasi, tetapi harus tetap bekerja di kawasan industri wilayah Kabupaten Bekasi.
”Dari sisi upah, justru tergerus. Banyak perusahan yang menegosiasikan upah buruh di bawah ketentuan dengan alasan pandemi dan PPKM. Rata-rata perusahan memotong upah buruh 20-30 persen dari upah yang selama ini diterima,” kata Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Bekasi Sarino.
Sarino menambahkan, dengan keluarnya aturan turunan omnibus law, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, ada perusahaan yang mengganti pekerjanya. Artinya, perusahan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan tetap dan menggantikan para karyawan itu dengan pekerja baru.
”Faktanya, perusahaan itu masih jalan. Tetapi pekerja lama diganti dengan pekerja baru dengan upah yang lebih murah,” katanya.
Sarino berharap di masa PPKM ini, keberpihakan pemerintah kian dibutuhkan. Sebab, dari data FSPMI, sekitar 2.000 buruh di wilayah Kabupaten Bekasi yang menjadi korban PHK.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Bekasi R Abdullah menyatakan, nasib buruh di masa PPKM darurat memprihatinkan. Di Bekasi, baik kota maupun kabupaten didominasi industri manufaktur. Oleh karena itu, sebagian besar perusahaan tetap diberikan kesempatan untuk beroperasi selama memenuhi syarat dari Kementerian Perindustrian.
”Praktiknya tetap menjaga standar protokol kesehatan. Baik itu melalui pembagian jam kerja, karyawan dirumahkan, dikurangi, bahkan ada PHK massal,” kata Abdullah.
PHK massal itu, kata Abdullah, terjadi pada salah satu perusahaan di Kawasan Industri Hyundai, Kabupaten Bekasi. Ada sekitar 300 karyawan dari 450 karyawan yang bekerja di perusahaan itu yang menjadi korban PHK.
”Yang sangat disesalkan sebagian perusahaan memanfaatkan undang-undang yang baru, Undang-undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jadi, perusahaan tidak terlebih dahulu merundingkan dengan serikat pekerja, tetapi cukup diberitahukan jika ada PHK. Apabila ada keberatan, baru dirundingkan. Artinya, putusan diambil dulu, musyawarah dilakukan kemudian,” kata Abdullah.
Tak tepat sasaran
Kondisi buruh yang kian terdampak pandemi hingga terkena PHK membutuhkan perlindungan dari pemerintah. BSU yang diberikan pemerintah hanya diberikan kepada karyawan yang bekerja di perusahaan kecil dan menengah. ”Di industri manufaktur tidak berlaku (BSU) karena ketentuannya upah minimum,” kata Abdullah.
Serikat buruh kini berharap banyak agar penanggulangan Covid-19 segera dituntaskan. Tujuannya, agar masyarakat dan pekerja bisa kembali beraktivitas normal. Selain itu, karena dampak Covid-19 sebagai risiko sosial, bantuan dan uluran tangan dari pemerintah dinilai wajib.
”Pemerintah perlu memberi bantuan kepada pekerja-pekerja yang sudah diakhiri masa kerjanya, diberikan alternatif-alternatif tertentu. Bagaimanapun, pekerja yang terkena PHK itu merupakan awal penderitaan,” ucapnya.