Saling Menguatkan Mental di Tengah Pandemi yang Tak Berkesudahan
Kesepian karena pembatasan sosial, menyaksikan orang terdekat sakit, atau ketidakpatuhan masyarakat pada protokol kesehatan tidak sedikit memantik masalah kejiwaan. Dukungan keluarga dan orang di sekitar pun jadi obat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
Varian SARS-CoV-2 pemicu Covid-19 yang semakin banyak, kian menular, dan tambah berakibat fatal di tahun kedua pandemi tidak hanya menyakiti raga banyak warga Ibu Kota Jakarta. Kesepian karena pembatasan sosial, menyaksikan orang terdekat sakit, atau ketidakpatuhan masyarakat pada protokol kesehatan tidak sedikit memantik masalah kejiwaan.
Rabu (28/7/2021), Aisyah Kamalia (25) menemui psikiater di salah satu rumah sakit militer, tidak jauh dari tempatnya tinggal di Jakarta Timur. Ia harus berkonsultasi karena merasakan kembali gejala gangguan obsesif-kompulsif yang pernah ia idap. Padahal, sejak April tahun ini, ia tidak lagi membutuhkan obat.
Gangguan mental yang biasa dikenal sebagai OCD (obsessive compulsive disorder) tersebut ditandai pikiran berlebihan yang menyebabkan perilaku repetitif atau kompulsi.
Di hadapan sang dokter, ia tidak kuasa menahan tangis dan bertanya mengapa ada orang yang tidak mau pakai masker, sementara mereka tidak hidup sendirian. Dokternya hanya terdiam setelah ia bertanya seperti itu. Dari ekspresinya, Aisyah melihat kekagetan dan kesedihan muncul bersamaan.
Kepada Kompas, ia mengatakan, kekhawatiran kepada orang-orang yang tidak menjalani protokol kesehatan muncul setelah ia terinfeksi penyakit Covid-19 sebulan lalu. Ia mengaku menjadi lebih protektif terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama orangtua yang sudah lanjut usia. Ia bahkan khawatir berlebihan orang lain bisa menularkan Covid-19.
”Ketika kakakku yang hasil tes PCR-nya negatif aku tetap enggak yakin. Tahu ada orang lain yang datang sebentar ke rumah dengan pakai masker dan jaga jarak saja buat aku deg-degan walaupun aku tetap sebisa mungkin menyapa dan mengobrol sama mereka,” ujar gadis yang menyadari dirinya mengidap OCD sejak usia kepala dua tersebut.
Februari lalu, survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia terhadap 4.010 responden menemukan, ada 2.598 orang atau 64,8 persennya mengalami masalah psikologis.
Sejauh ini, keberadaan keluarga Aisyah yang membantunya lebih kuat menghadapi masa pandemi dengan kondisi tersebut. Ibu dan keluarganya selalu mengingatkannya agar tidak merasa bersalah karena tidak bisa mengubah situasi yang tidak terkendali saat ini.
Untuk menghalau pikiran berlebih, ia juga berusaha menyibukkan diri dengan aktivitas fisik di rumah walaupun melelahkan. ”Aku juga perbanyak berdoa untuk makin memperkuat diri karena aku yakin ada Allah yang lebih kuasa untuk ngejaga semua orang,” kata pekerja swasta tersebut.
Walaupun klasik, Aisyah menilai, perbanyak berdoa dan belajar untuk percaya bahwa tidak ada hal yang bisa dikontrol sendiri 100 persen dapat membantu mengendalikan mental. ”Kalau emang enggak kuat, konsul lagi ke profesional. Jangan takut terima kenyataan kalau memang butuh bantuan mereka lagi,” ujarnya.
Sandra (27), warga Jakarta lainnya, juga mengaku suka mengalami masalah kecemasan hingga sulit tidur dua bulan terakhir. Masalah ini ia rasakan setelah sembuh dari Covid-19 yang sempat membuatnya harus diisolasi mandiri selama dua minggu.
”Tadinya aku pikir juga karena perkara anxiety. Terus aku coba-coba riset ala-ala buat membuktikan hipotesa karena ini sudah bikin aku semakin gelisah. Aku gampang tidur banget soalnya, tiba-tiba insomnia, kan, serem,” kata perempuan yang berprofesi sebagai guru sekolah kanak-kanak tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mendapat banyak masukan dari tenaga kesehatan yang mau berbagi saran dan informasi tentang gangguan tidur dan kecemasan terkait pandemi di media sosial. Ia jadi belajar cara mendisiplinkan waktu tidur malam hingga mengurangi memainkan ponsel, terutama jelang tidur, untuk mencegah insomnia.
Masyarakat awam seperti Anisa (32), yang menyadari banyak rekannya yang mengalami gangguan mental selama gelombang kedua pandemi di Indonesia, juga berempati. ”Teman-teman aku yang penyintas banyak banget yang jadi depresi, emosi enggak stabil, jadwal tidur berantakan,” katanya.
Menjadi tempat curhat banyak teman, ia pun mengetahui banyak alasan yang membuat masalah mental itu terjadi. Mulai dari proses kehilangan orang tersayang, rasa bersalah karena masih bekerja di luar rumah, hingga perkara menunggu hasil tes Covid-19 yang bisa membuat stres.
”Aku jelas enggak tahu cara supaya mereka pulih. Namun, sebagai teman, aku mencoba membuat mereka atau teman-teman lainnya tidak merasa buruk selama pandemi ini dengan hal-hal kecil, seperti membagikan informasi atau mem-posting sesuatu yang positif di media sosial,” tuturnya.
PTSD
Februari lalu, survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia terhadap 4.010 responden menemukan, ada 2.598 orang atau 64,8 persennya mengalami masalah psikologis. Dari jumlah tersebut, sebanyak 65 persen alami gejala cemas dan 62 persen depresi karena gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Ini pernah disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Kesehatan Jiwa DKI Jakarta Nova Riyanti Yusuf dalam siaran daring bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada Rabu (17/2). Ia juga menyebut, sebagian dari mereka yang mengalami gangguan psikologis tersebut merupakan pasien Covid-19.
PTSD atau gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis selama pandemi juga rentan dialami berbagai kalangan, dari tenaga kesehatan hingga jurnalis. Kondisi ini ditemukan di banyak survei dari berbagai negara di dunia yang juga menghadapi pandemi.
”Keluarga dan jejaring komunitas dapat membantu mereka yang rentan dengan kondisi ini,” katanya.
Dukungan yang dapat diberikan kepada mereka yang mengalami PTSD jika memungkinkan perlu dilakukan secara individual karena setiap orang memiliki faktor biologis dan psikologi yang berbeda kendati penyebab gangguannya sama. Sementara itu, pertolongan medis perlu menjadi solusi berikutnya jika gejala yang dialami sudah cenderung berat.
Jejaring rumah sakit milik organisasi keagamaan Muhammadiyah pun melihat pentingnya dukungan psikologis bagi mereka yang menghadapi situasi pandemi. Sebanyak 50-70 tenaga medis di bidang kejiwaan di sana membentuk satu tim untuk berbagi edukasi tentang kesehatan mental.
Dokter spesialis kedokteran jiwa dari RS Islam Jelambar, Jakarta Barat, Prasila Darwin, menyebut, tim mereka mulai mengadakan kegiatan edukasi sejak September 2020. Kegiatan ini awalnya menyasar tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanggulangan Covid-19.
"Para tenaga kesehatan ini kerap punya perasaan gagal ketika tidak bisa memaksimalkan pelayanan kepada pasien Covid-19. Ini banyak ditemui pada petugas ICU. Untuk itu, kami edukasi mereka secara maraton di seluruh rumah sakit. Kami sampaikan cara kalau mereka mengalami masalah psikologis, sampai apa yang harus dilakukan kalau ada temannya yang demikian,” tuturnya.
Baru-baru ini, tim tersebut juga melebarkan layanan ke masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di dekat rumah sakit milik Muhammadiyah. Kepedulian kepada masyarakat ini diberikan sejak gelombang kedua pandemi di pertengahan tahun ini semakin memakan banyak korban. Prasila pun menyaksikan sendiri semakin banyak penyintas Covid-19 yang datang ke rumah sakit tempatnya bekerja.
”Kami kasih edukasi secara daring tentang bagaimana mengatasi kecemasan ketika mendengar berita dan sebagainya. Jika mereka perlu konsultasi lebih lanjut, kami sediakan forum di grup aplikasi pesan agar bisa ditindaklanjuti,” katanya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mukti, Kamis (29/7), di Kantor Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, mengatakan, layanan itu sama pentingnya dengan program vaksinasi yang kini digencarkan untuk membantu penanganan krisis pandemi Covid-19.
”Kami punya program lain yang berkaitan penyuluhan dan pelayanan langsung, baik dalam bentuk penyuluhan kesehatan konsultasi psikologi maupun ketahanan mental spiritual. Pandemi Covid-19 ini bukan hanya masalah kesehatan fisik, melainkan berdampak juga ke mental, spiritual, dan berbagai kegiatan ekonomi,” paparnya.