Meteran Induk Sambungan Air Bersih Dinilai Memberatkan Warga Jakarta Utara
Warga Jakarta Utara masih kesulitan mendapat akses layanan air bersih dengan harga terjangkau. Pengelolaan air di Jakarta oleh swasta dituding sebagai penyebabnya.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga di Penjaringan dan Pademangan, Jakarta Utara, DKI Jakarta, mengeluhkan mahalnya akses air bersih di wilayah padat penduduk tersebut. Program Master Meter atau program sambungan air yang berbasis komunitas melalui satu meteran induk tak menyelesaikan masalah air bersih di sana.
Siti Komariah dari Komunitas Warga Jakarta saat diskusi daring dengan tema ”Privatisasi Air Terselubung di Masa Pandemi Covid-19”, Jumat (30/7/2021), mengatakan, warga di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tidak bisa mendapat layanan air pipa, terutama meteran air per individu lantaran mereka tak bisa memenuhi persyaratan pemasangan pipa air secara individu. Ini karena warga di sana tinggal di lahan yang tak bertuan.
”Normalnya itu, kalau dari Palayja (PT PAM Lyonnaise Jaya), pemakaian air per kubik Rp 7.500. Tetapi, karena kami pakai master meter, otomatis jika pemakaian air sudah di atas 20 meter kubik, maka satu meter kubik dihitung Rp 12.000. Artinya, satu bulan kami bisa habis Rp 300.000 hanya untuk beli air bersih. Jujur, kami disebut tinggal di tempat ilegal, tapi bayar airnya seperti tinggal di apartemen,” katanya.
Air yang didapatkan dari program master meter itu juga tak mengalir lancar. Air hanya mengalir saat pagi hingga siang hari.
Keluhan serupa disampaikan Titin Sumitin yang tinggal di Pademangan Timur. Ia mengatakan, air dari program master meter tak mampu menjangkau semua warga yang membutuhkan air di wilayah RW 012 Kelurahan Pademangan Timur, Kecamatan Pademangan.
”Di RW saya, misalnya, ada 125 keluarga. Satu meteran master meter ini tidak mampu menjangkau semua warga. Jadi, karena air dibagi-bagi, keluarnya sedikit. Tidak semua dapat,” katanya.
Titin menambahkan, karena master meter tak mampu memenuhi kebutuhan air warga, ia kemudian berinisiatif untuk memasang meteran air secara mandiri. Namun, persyaratan yang diminta oleh PT Aetra Air Jakarta tidak bisa dipenuhi warga.
”Saya kemudian cari cara dan dapat pinjaman persyaratan dari kenalan. Di situ kami akhirnya bisa pasang meteran air," katanya.
Namun, kendala lain kemudian muncul. Pihak Aetra hanya menyediakan akses perpipaan sepanjang 6 meter. Padahal, panjang pipa yang dibutuhkan agar air bisa mengalir hingga ke perumahan warga sekitar 100 meter.
”Harga pipa itu satu meternya Rp 50.000. Artinya, kami harus keluarkan uang Rp 5 juta lagi agar air bisa sampai ke rumah,” katanya.
Privatisasi terselubung
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jeanny Sirait, yang juga anggota Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), mengatakan, masyarakat membayar mahal untuk mendapat air karena pengelolaan air bersih diserahkan negara kepada swasta. Padahal, air merupakan barang publik yang seharusnya dikelola oleh negara agar bisa dinikmati seluruh rakyat.
Di Jakarta, pengelolaan air bersih dikuasai dua perusahaan swasta, yakni PT Aetra Air Jakarta (Aetra) dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Kontrak kerja sama dua perusahaan itu dengan Pemprov DKI Jakarta akan berakhir pada 2022-2023.
”Ternyata ada rencana perpanjangan yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 891 Tahun 2020. Masyarakat sipil juga diundang untuk membahas Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air di Jakarta. Ada upaya penyelundupan di masa pandemi,” kata Jeanny.
Ia menambahkan, di dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 891 Tahun 2020 tentang Persetujuan Adendum Perjanjian Kerja Sama antara Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Perseroan Terbatas Aetra Air Jakarta, rincian adendum tersebut masih tersembunyi. Oleh karena itu, pihaknya telah menyiapkan gugatan ke Komisi Informasi Publik terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena menyembunyikan adendum atau penambahan klausul kontrak antara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya dan Aetra. Koalisi menduga adendum itu berisi rencana perpanjangan kontrak kerja sama.
Sementara itu, Sri Haryati, yang saat itu masih menjadi penjabat Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, mengatakan, perpanjangan kontrak belum berjalan. ”Masih panjang urusannya itu. Ini masih proses,” ujarnya (Kompas, 4/12/2020).
Astriena Veracia, Corporation and Customer Communication Manager Aetra, menyatakan, pihaknya belum mendapat informasi terkait ada tidaknya perpanjangan kontrak pengelolaan air. ”Sebaiknya ditanyakan ke PAM Jaya. Saya belum ter-update,” ucapnya,] (Kompas, 4/12/2020).
Linda Nurhandayani, Manajer Humas PAM Jaya, menyatakan masih berkoordinasi dengan direksi dan menunggu kabar saat ditanya tentang perkembangan proses pengambilalihan pengelolaan air. Ketika ditanya terkait kabar perpanjangan kontrak dengan Aetra, ia belum menjawab (Kompas, 4/12/2021).