32,5 Persen Waktu Perpindahan Antarmoda Lebih dari 10 Menit
Idealnya perpindahan antarmoda angkutan umum di perkotaan adalah kurang dari 5 menit.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Transportasi Kota Jakarta atau DTKJ merilis, sampai hari ini 32,5 persen perpindahan antarmoda oleh pengguna transpotasi umum masih berlangsung lebih dari 10 menit. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemangku kepentingan transportasi di DKI, integrasi fisik antarmoda bisa segera terwujud sehingga waktu perpindahan antarmoda bisa berlangsung singkat, setidaknya kurang dari 5 menit dan mendorong terwujudnya transportasi tanpa hambatan atau seamless mobility.
Haris Muhammadun, Ketua DTKJ pada Forum Grup Diskusi (FGD) seri kedua DTKJ tentang Tiga Pilar Integrasi, Masa Depan Transportasi Jakarta dengan tema khusus Integrasi Secara Fisik, Kamis (29/7/2021), menjelaskan, terkait dengan layanan dan pengembangan transportasi umum, DTKJ melakukan survei bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan PT JakLingko Indonesia.
Survei terhadap 1.523 pelaku perjalanan di Jabodetabek itu untuk melihat sejumlah hal. Selain tarif transportasi yang terintegrasi, pengeluaran untuk transportasi, juga terkait waktu perpindahan antarmoda.
Dari survei tersebut diketahui, untuk perpindahan antarmoda kurang dari 5 menit ada 21 persen, perpindahan antarmoda dalam 5-10 menit 46,6 persen. Lalu, perpindahan antarmoda dalam 10-15 menit ada 21,2 persen, perpindahan antarmoda dalam 15-30 menit ada 8,5 persen, perpindahan antarmoda dalam 30-45 menit ada 1,7 persen, dan perpindahan antarmoda lebih dari 45 menit ada 1,1 persen.
Dengan waktu perpindahan antarmoda yang membutuhkan waktu lebih dari 10 menit ada di kisaran 32,5 persen, tentu ini menjadi peringatan bagi para pemangku kepentingan transportasi di Jakarta. Apalagi, Jakarta memiliki cita-cita mewujudkan transportasi umum yang terintegrasi, baik secara fisik atau prasarana, layanan, maupun terintegrasi secara pembayaran atau tarif.
DTKJ berharap, target integrasi transportasi umum secara fisik bisa terwujud sehingga waktu perpindahan antarmoda bisa berlangsung sesingkat-singkatnya.
”Target kita adalah integrasi secara fisik bisa menyatu dan waktu perpindahan antarmoda bisa sesingkat-singkatnya. Itu PR kita agar bagaimana total waktu perpindahan moda bisa bergeser menjadi paling sedikit atau minim 5 menit atau di bawah 5 menit karena integrasi secara fisik dan menyatu,” kata Haris.
Massdes Arouffy, Sekretaris Dinas Perhubungan DKI Jakarta dalam kesempatan diskusi tersebut, mengungkapkan, perpindahan waktu antarmoda demikian dipengaruhi situasi angkutan umum hari ini. Saat ini di wilayah DKI Jakarta sudah beroperasi selain angkutan umum perkotaan berbasis rel, juga ada angkutan umum berbasis jalan, serta perairan. Ia menyebutkan, ada MRT Jakarta, LRT Jakarta, bus Transjakarta, LRT Jabodebek, KRL, KA Bandara, dan angkutan perairan.
Bila dibuat tabel integrasi, jelas Massdes, saat ini ada beberapa moda transportasi umum yang belum terintegrasi secara fisik. Ia menyebutkan, misalnya LRT Jabodebek belum terintegrasi dengan LRT Jakarta. Demikian juga antara LRT Jakarta dan MRT Jakarta, LRT Jakarta dan KRL, LRT Jakarta dan KA Bandara, ataupun LRT Jakarta dan angkutan perairan.
Saat ini baru bus Transjakarta yang sudah saling terintegrasi dengan semua moda transportasi umum tersebut. ”Sekarang ini yang hadir di sejumlah moda, Transjakarta yang hadir menghubungkan. Setidaknya sudah ada dua antarmoda atau lebih itu sudah terkoneksi,” kata Massdes.
Dengan cita-cita integrasi, Massdes melanjutkan, ke depan harus makin banyak titik temu antarmoda. Integrasi antarmoda harus menjadi lebih banyak.
Apalagi, kebijakan pengelolaan transportasi umum di DKI Jakarta hari ini berubah menjadi lebih memprioritaskan pergerakan pejalan kaki dan penggunaan kendaraan ramah lingkungan. Hal itu pula yang mendorong dilakukan penataan kawasan stasiun dan penataan akses menuju titik-titik layanan angkutan umum berupa penataan trotoar.
Tuhiyat, Direktur Utama PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ), menjelaskan, penataan kawasan stasiun menjadi pemicu integrasi transportasi dan regenerasi perkotaan. Pada tahap pertama, penataan kawasan stasiun sudah dilakukan di stasiun Tanah Abang, Stasiun Pasar Senen, Stasiun Juanda, dan Stasiun Sudirman. Di empat stasiun itu, pengguna angkutan umum bisa langsung berganti dengan angkutan umum lain begitu keluar dari area stasiun.
Penataan tahap kedua yang tengah berlangsung adalah di Stasiun Palmerah, Stasiun Manggarai, Stasiun Tebet, Stasiun Gondangdia, dan Stasiun Jakarta Kota.
”Sebagai perusahaan yang mendapatkan mandat melaksanakan pengembangan kawasan berorientasi transit atau KBT, MITJ melakukan kajian pengembangan KBT di Jabodetabek. Dari 82 stasiun di Jabodetabek yang dikaji, ada sejumlah stasiun prioritas untuk ditata. Penataan tahap pertama sudah selesai dan sekarang tengah berlangsung penataan tahap kedua,” kata Tuhiyat.
Hari Nugroho, Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta, menjelaskan, dalam kaitan dengan integrasi fisik antarmoda, Bina Marga berperan dalam penataan dan perbaikan askses trotoar. Bina Marga menggunakan konsep complete street.
Mengikuti konsep pengelolaan transportasi umum di Jakarta, menurut Hari, penataan trotoar di Jakarta hari ini adalah mengutamakan area bagi pejalan kaki, lalu menata jalur untuk khusus transportasi umum (atau jalur sepeda), baru kemudian mengatur lajur kendaraan bermotor.
Massdes melanjutkan, dengan penataan-penataan demikian, integrasi fisik bisa terwujud. DKI berharap pengelolaan integrasi angkutan umum di DKI setidaknya bisa memenuhi target yang termuat dalam Perpres No 55/2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), yaitu setidaknya mendorong waktu perjalanan dari asal ke tujuan bisa 1,5 jam; dalam jarak 500 meter berjalan kaki sudah bisa mendapatkan akses layanan angkutan umum; serta perpindahan antarmoda sedikitnya dua kali, bukan tiga kali.