Waktu Makan 20 Menit dan Usaha Kaki Lima yang Kian Sepi
Pelaku usaha warteg, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya sulit membatasi waktu makan maksimal 20 menit untuk setiap pelanggan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Warteg, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya sulit membatasi waktu makan setiap pelanggan hanya 20 menit. Usaha mereka yang sepi pengunjung selama pembatasan kegiatan masyarakat bakal tambah sepi.
Pemerintah melonggarkan aturan makan di tempat dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2021 tentang PPKM level 4 dan 3 Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali. Warung makan atau warteg, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya boleh melayani makan di tempat dengan syarat maksimal 3 orang dengan waktu 20 menit.
Meski begitu, sebagian usaha-usaha tersebut tak serta-merta ramai, seperti pantauan di Palmerah dan Slipi di Jakarta Barat serta Bendungan Hilir di Jakarta Pusat. Demikian pula di wilayah tetangga, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (27/7/2021).
Selama ini, saya tidak batasi jumlah orang yang mau makan di tempat. Memang kondisinya sepi begini.
Dua bangku, masing-masing sepanjang 2 meter, di lapak jajanan milik Alex (32) hanya terisi oleh dua orang. Padahal, waktu menunjukkan pukul 11.30 atau jam istirahat karyawan perkantoran di Palmerah.
”Selama ini, saya tidak batasi jumlah orang yang mau makan di tempat. Memang kondisinya sepi begini. Mungkin mereka (pembeli) takut disidak pemerintah atau bawa bekal dari rumah,” ucapnya.
Warga Kemandoran ini tak antusias dengan pelonggaran waktu makan maksimal 3 orang dengan waktu 20 menit. Menurut dia, pelonggaran itu justru merepotkan pelaku usaha dan pelanggan. Contohnya, waktu memasak mi dan menyiapkan segelas minuman sekitar 5 menit. Ketika disajikan, tidak mungkin pelanggan terburu-buru melahap makanan dan minuman, apalagi dalam kondisi panas.
”Tidak mungkin saya paksa cepat-cepat. Kalau tersedak atau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab,” ucapnya.
Saat ini, pemasukan hariannya maskimal Rp 200.000. Ambruk dari sebelumnya yang bisa mencapai Rp 700.000.
Situasi itu tak jauh berbeda dengan lapak minuman milik Abi Mahendra (40) di Slipi. Hanya ada seorang pelanggan yang tengah menyeruput minuman dingin di bawah teriknya sinar matahari.
Meski waktu menyiapkan minuman hanya 1-5 menit, warga Kemanggisan ini tidak sanggup mengatur waktu minum hanya 20 menit karena takut pelanggan tidak nyaman.
”Saya lebih pilih mereka bungkus minuman ketimbang terganggu saat lagi santai sambil seruput minuman. Kalau mereka tidak mau ke sini lagi, kan, saya yang rugi,” ujarnya.
Pembatasan kegiatan masyarakat membuat omzetnya berkurang. Jika biasanya mengantongi maksimal Rp 300.000 dalam sehari, kini hanya maksimal Rp 200.000.
Hartono (51), pedagang mi ayam, juga tidak bisa membatasi waktu makan pelanggan hanya 20 menit. Selama ini, lapak dagangannya tetap melayani makan di tempat.
”Paling banyak sekali makan hanya tiga orang. Biar saja mereka makan, begitu sudah beres baru pulang. Aneh kalau saya minta cepat-cepat. Yang ada mereka gondok, tidak jadi makan,” katanya.
Di lapak dagangannya ada satu bangku sepanjang 3 meter. Bangku ini lebih sering kosong selama pembatasan kegiatan masyarakat. Pendapatannya pun terpukul dari Rp 300.000 per hari menjadi Rp 100.000.
Pemandangan hampir sama didapati di Jalan Pejompongan Raya, Bendungan Hilir. Salah satu kawasan kuliner itu tak seramai biasanya. Sebagian lapak dagangan tutup.
Sementara itu, beberapa lapak melayani pesan antar dan makan di tempat. Kebanyakan yang makan merupakan karyawan di perkantoran sekitar situ.
Pelaku usaha sejenis di wilayah tetangga juga kerepotan meskipun ada kelonggaran dari pemerintah. Warteg milik Rojikin (37) di Bencongan Indah, Kabupaten Tangerang, belum kembali ramai. Pendapatannya anjlok 50 persen.
”Saya harus tetap berusaha, maksimalkan aturan pemerintah. Walaupun warteg susah batasi waktu satu orang makan. Kalau belum selesai, tetapi harus disuruh pergi, dampaknya kehilangan pelanggan,” ucapnya.
Konsisten
Sebelumnya asosiasi pengusaha di bidang kuliner berharap kebijakan PPKM level empat tetap diperketat. Pelonggaran aturan di wilayah Ibu Kota hanya akan merugikan pengusaha.
Ketua Koordinator Warteg Nusantara Mukroni menyebutkan, pelonggaran makan di tempat untuk maksimal 3 orang dengan waktu hanya 20 menit tergesa-gesa dan berisiko. Pelonggaran justru meningkatkan risiko kecelakaan dan bencana yang bisa merugikan pelanggan dan pemilik warteg. Apalagi, pelaku usaha nyaris gulung tikar karena pembatasan mobilitas dan lemahnya daya beli masyarakat.
”Mendingan tegas. Kalau tutup untuk makan di tempat, ya, tutup total. Atau, kalau bisa dibuka dengan kapasitas terbatas, tetapi tidak dibatasi waktunya,” ujar Mukroni saat dihubungi, Senin (26/7/2021).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia Eddy Sutanto juga meminta pemerintah tetap memperketat mobilitas sampai kasus penularan turun signifikan. Pelonggaran merugikan pengusaha.
”Kalau kita cuma buka seperempat kapasitas atau hanya seminggu, pedagang bisa rugi karena banyak bahan baku rusak. Kasihan juga nanti karyawannya karena tidak jelas waktu kerjanya,” katanya.
Pelonggaran juga akan menambah perburukan iklim usaha. Salah satunya penurunan pemesanan makanan secara daring.