Pelonggaran Makan di Tempat Menambah Risiko Pengusaha Warung Tegal
Asosiasi pengusaha yang bergerak di bidang kuliner berharap kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat yang diperpanjang di DKI Jakarta tetap diperketat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi pengusaha yang bergerak di bidang kuliner berharap kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat yang diperpanjang di DKI Jakarta tetap diperketat. Pelonggaran aturan di wilayah Ibu Kota yang masuk kategori level 4 hanya akan merugikan pengusaha.
Pemerintah pusat yang memperpanjang PPKM darurat mulai 26 Juli-2 Agustus 2021 menetapkan DKI Jakarta sebagai satu dari 28 provinsi yang menerapkan aturan level 4. Situasi kedaruratan membuat kebijakannya lebih ketat dibandingkan dengan wilayah yang masuk kategori level 3. Adapun dua level tersebut menerapkan kelonggaran pada usaha kecil, termasuk pemilik usaha kuliner.
Ketua Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni menilai, pelonggaran untuk pelaku usaha kecil tergesa-gesa dan berisiko. Pelaku usaha kuliner, seperti warteg, misalnya, dibolehkan menyediakan layanan makan di tempat untuk maksimal 3 orang dengan waktu hanya 20 menit.
”Mendingan tegas. Kalau tutup untuk makan di tempat, ya, tutup total. Atau, kalau bisa dibuka dengan kapasitas terbatas, tetapi tidak dibatasi waktunya,” ujar Mukroni saat dihubungi, Senin (26/7/2021).
Pelonggaran dengan membatasi waktu makan di tempat justru meningkatkan risiko kecelakaan dan bencana yang bisa merugikan pelanggan dan pemilik warteg. Apalagi, saat ini semakin banyak pemilik warteg yang nyaris gulung tikar karena pembatasan mobilitas dan lemahnya daya beli masyarakat.
Ia menyebut, berdasarkan data Kowantara dan survei terhadap warung makan oleh IPB University, ada sekitar 50.000 warteg di Jabodetabek. Sejauh ini, setengah dari total warteg yang ada sudah tutup.
Kalau kita cuma buka seperempat kapasitas atau hanya seminggu, pedagang bisa rugi karena banyak bahan baku rusak. Kasihan juga nanti karyawannya karena tidak jelas waktu kerjanya.
Perpanjangan PPKM darurat diperkirakan akan menumbangkan lebih banyak warteg. Namun, bantuan langsung yang efektif dapat mencegahnya.
”Bantuan harus ditransfer ke rekening penerima tanpa mediator atau broker atau penghubung lainnya biar tidak dikorupsi,” harapnya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Sutanto juga meminta pemerintah, termasuk Pemprov DKI Jakarta, lanjut memperketat mobilitas sampai kasus penularan turun signifikan.
Walaupun anggotanya tidak terpengaruh pelonggaran di masa sekarang, ia berpendapat model aturan tersebut bisa merugikan pengusaha.
”Kalau kita cuma buka seperempat kapasitas atau hanya seminggu, pedagang bisa rugi karena banyak bahan baku rusak. Kasihan juga nanti karyawannya karena tidak jelas waktu kerjanya,” kata Eddy.
Situasi ini juga akan menambah perburukan iklim usaha. Ini salah satunya dirasakan dari menurunnya pemesanan makanan secara daring, yang paling diandalkan selama PPKM darurat, termasuk di wilayah Jabodetabek. Alternatif penjualan daring menurut Eddy tidak lebih baik daripada masa awal pandemi.
”Pemerintah perlu buat aturan tegas supaya pandemi Covid-19 bisa cepat selesai atau minimal kasusnya menurun jauh. (Kalau usaha resto dan kafe dilonggarkan) kita enggak mau jadi kluster juga. Lagi pula, pemerintah sudah pontang-panting menangani ini dengan dana yang semakin terbatas,” tuturnya.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengusulkan agar aturan PPKM tetap berjalan seperti minggu-minggu yang lalu. Pengawasan juga harus tetap berjalan ketat dengan adanya pelonggaran pada operasional pasar dan tempat usaha kecil dan menengah.
”Memang ada pertanyaan tentang bagaimana rincian implementasi, seperti bagaimana menilai hanya 20 menit boleh makan di tempat, atau kapasitas kegiatan tertentu hanya 50 persen dan ini adalah tantangan lapangan untuk benar-benar dilakukan,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah dapat memikirkan semacam keseimbangan pelonggaran usaha. Misalnya, sektor informal dapat beroperasi, sementara sektor formal yang terima gaji bulanan, maka kerja dari rumah; atau bentuk-bentuk modifikasi atau inovasi lainnya. Kebijakan seperti itu, menurut dia, bisa memberi dampak pada penularan di masyarakat dan perbaikan situasi epidemiologik, selain mengoptimalkan penelurusan dan pengetesan.
Menemukan orang yang terinfeksi pada tes dan telusur punya manfaat ganda, yaitu mendorong mereka mengisolasi diri sehingga memutus rantai penularan dan agar mereka segera mendapat penanganan kesehatan yang baik.
”Harus ada data tes dan telusur per kabupaten atau kota. Kalau hanya angka nasional, bisa-bisa karena ada daerah yang tinggi sekali dan mungkin ada yang rendah sekali,” saran Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara tersebut.
Sampai Minggu (25/7), kasus Covid-19 di Jakarta bertambah 5.393 orang. Penambahan kasus tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan tes reaksi berantai polimerase (PCR) terhadap 24.794 orang. Angka-angka tersebut lebih rendah dari Sabtu sebelumnya yang mencatatkan penambahan 8.360 kasus aktif dari 29.105 sampel tes PCR.