Lindungi Anak dari Ancaman Hilangnya Masa Kanak-kanak
Melindungi anak hari ini sama artinya dengan menyelamatkan masa depan bangsa. Oleh sebab itu, upaya perlindungan terhadap anak mutlak dilakukan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
”Anak Terlindungi, Indonesia Maju” yang menjadi tema peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2021 jadi pengingat dan pemacu semangat untuk lebih memperhatikan tumbuh kembang anak sebagai aset dan penentu masa depan bangsa.
Melindungi anak hari ini sama artinya dengan menyelamatkan masa depan bangsa. Oleh sebab itu, upaya perlindungan terhadap anak mutlak harus dilakukan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, menjadi manusia yang sehat dan cerdas.
Apalagi sekitar 80 juta penduduk yang saat ini masuk klasifikasi anak-anak (1-17 tahun) akan memasuki usia produktif pada tahun 2030-2040 dan menjadi salah satu penentu keberhasilan momentum ”bonus demografi”. Oleh karena itu, membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas dari sekarang dengan menempatkan anak sebagai pusat rencana pembangunan nasional menjadi hal yang krusial.
Upaya melindungi dan memenuhi hak anak sejatinya telah dijamin dalam Konvensi Hak-hak Anak yang diratifikasi Pemerintah Indonesia tahun 1990 yang menyebutkan bahwa anak harus dipastikan sehat dan bergizi baik, tumbuh dan berkembang dalam kondisi kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya yang sejahtera.
Konvensi hak anak juga memastikan bahwa setiap anak berhak atas masa kanak-kanaknya. Demikian pula Undang-Undang Perlindungan Anak menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan masa kecil yang aman, sehat, dan bahagia. Jika anak mendapat ”jaminan” masa kanak-kanak seperti kehidupan, pertumbuhan yang sehat, pendidikan yang baik, dan perlindungan dari kekerasan, masa kecilnya dianggap menjadi ”utuh”.
Berakhir terlalu cepat
Namun, bagi jutaan anak di seluruh dunia, masa kanak-kanak berakhir terlalu cepat. Hal ini terlihat dari hasil riset yang dilakukan lembaga nonprofit internasional Save The Children. Dalam Global Childhood Report yang dikeluarkan setiap tahun, terlihat negara-negara mana yang sudah ramah terhadap anak dan sebaliknya.
Laporan ini mengkaji banyak faktor yang merenggut anak-anak dari masa kecil mereka. Paling tidak ada tujuh indikator dalam penghitungan indeks yang menjadi ancaman hilangnya masa kanak-kanak, yaitu kematian bayi, kesehatan yang buruk (kurang gizi), anak putus sekolah, pekerja anak, pernikahan anak, kehamilan dini, serta anak menjadi korban kekerasan. Hal ini juga mengancam anak-anak di Indonesia.
Dalam Global Childhood Report 2021, Indonesia berada di peringkat ke-107 dari 186 negara dengan skor 816. Peringkat ini turun dari posisi ke-101 pada tahun 2020. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terlihat peningkatan skor pada tahun 2020, meningkat 23 poin dari tahun sebelumnya. Namun, dari sisi peringkat, posisi Indonesia tidak beranjak dari peringkat ke-70 sampai ke-80 dari bawah.
Meskipun demikian, skor Indonesia masih berada dalam rentang 760 hingga 939 dalam skala 1 sampai 1.000, yang bermakna ”beberapa anak kehilangan masa kanak-kanaknya”. Namun, dalam tataran kawasan negara-negara di Asia Tenggara, posisi Indonesia tak beranjak dari urutan keenam, hanya di atas Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Laos.
Menurut catatan Save The Children 2021, di Indonesia masih terjadi 24 kematian anak balita per 1.000 kelahiran hidup, 30,8 persen anak kurang gizi, 12,6 persen anak putus sekolah, 7 persen pekerja anak, 9,1 persen anak menikah dini, 46,9 kelahiran per 1.000 anak perempuan berusia 15-19 tahun, dan 2,8 kematian per 100.000 anak korban kekerasan. Beberapa indikator telah mengalami perbaikan lima tahun terakhir.
Meski demikian, Indonesia dengan populasi anak terbesar keempat di dunia masih memiliki ”pekerjaan rumah” untuk membenahi tujuh indikator yang mengancam hilangnya masa kanak-kanak tersebut.
Kematian anak balita dan tengkes
Dari ketujuh indikator tersebut, ada dua indikator yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dalam kategori Save The Children, angka kematian anak balita di Indonesia masuk kategori sedang, sementara angka kekurangan gizi hingga tengkes (stunting) tergolong kategori tinggi.
Meski kinerja Indonesia dalam mengatasi kematian anak balita telah mencapai kemajuan penting, dalam catatan Save The Children tetap ”waspada”.
Sementara stunting atau sering juga disebut kerdil atau pendek akibat kekurangan gizi kronis pada anak balita memang masih menjadi masalah serius di Indonesia. Dalam catatan Unicef, sekitar 1 dari tiap 3 anak balita mengalami tengkes. Bahkan angka tengkes di Indonesia menduduki peringkat keempat tertinggi dunia.
Meski prevalensi tengkes di Indonesia tahun 2019 sebesar 27,67 persen, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2018 sebesar 30,8 persen dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka ini terhitung masih tinggi di atas batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen populasi.
Untuk itu, pemerintah menargetkan menurunkan angka tengkes hingga mencapai 14 persen pada 2024. Profil Kesehatan 2019, BPS, menunjukkan sebanyak 16 provinsi memiliki persentase anak sangat pendek lebih tinggi dari persentase nasional. Tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat (16,2 persen), Nusa Tenggara Timur (16 persen), dan Aceh (16 persen).
Kondisi gagal tumbuh pada anak balita ini harus segera ditangani. Sebab, selain dapat menyebabkan anak lebih rentan terhadap penyakit, juga mengalami hambatan dalam pertumbuhan fisik dan kognitif yang tentunya memengaruhi tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di masa depan.
Sementara itu, lima indikator lainnya meski berada di kategori rendah tetap harus menjadi prioritas pemerintah dalam pembangunan. Apalagi Indonesia juga berkomitmen dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Global (SDG’s) pada tahun 2030 dengan prinsip No One Left Behind, termasuk anak-anak. Jika negara tidak berinvestasi pada anak pada saat ini dengan menjamin tumbuh kembang yang baik, Indonesia akan tertinggal dan tidak melangkah maju.