Koalisi Masyarakat Menolak Revisi Perda Covid-19 dan Usulan Sanksi Pidana di DKI Jakarta
Koalisi Masyarakat menolak usulan revisi perda Covid-19 dan sanksi pidana. Langkah itu berpotensi menyengsarakan masyarakat miskin. Bapemperda DPRD DKI juga meminta Pemprov DKI meninjau ulang usulan pasal revisi.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pelanggar pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro yang terkena razia satpol PP menjalani hukuman menyapu lahan parkir di Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa (15/6/2021). Sebanyak 25 warga terjaring operasi yang berlangsung dua jam tersebut. Sebanyak 24 warga menjalani hukuman sosial berupa menyapu jalanan dan seorang warga membayar denda Rp 250.000.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menolak rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengajukan revisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 bersama DPRD DKI Jakarta. Revisi perda yang akan memasukkan sanksi pidana terhadap pelanggaran kekarantinaan dinilai tidak efektif dan bisa menyengsarakan masyarakat miskin.
Dalam konferensi pers virtual yang digelar Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Institute for Criminal Justice Refor (ICJR), Minggu (25/7/2021), Dharma Diani dari JRMK menegaskan, dalam pasal tambahan yang diusulkan Pemprov DKI dalam rancangan perubahan adalah penambahan sanksi pidana kurungan dan denda bagi masyarakat yang tidak menggunakan masker secara berulang serta sanksi pidana bagi pelaku usaha yang mengulangi pelanggaran protokol kesehatan. Sanksi pidana itu termuat dalam Pasal 32A dan 32B.
Usulan lainnya, satuan polisi pamong praja (satpol PP) juga diberikan kewenangan penyidikan yang meliputi upaya paksa, seperti pemeriksaan dan penyitaan atas pelanggaran perda. Kewenangan itu dimasukkan dalam ketentuan Pasal 28A.
”Sudah terbayang, yang bakal kena adalah kami, warga miskin kota, yang jelas-jelas ada di jalanan mencari makan untuk hari itu juga. Kami setuju jika ada edukasi tentang masker, bahayanya wabah ini, dan sebagainya, tetapi kami tidak setuju dengan jeratan hukum dengan sanksi pemidanaan,” kata Dharma.
Dharma meyakini, menggunakan masker atau tidak bukan merupakan tindak kriminal. ”Seharusnya diberikan sanksi sosial lain, tidak harus berbentuk penjeratan hukum atau pemenjaraan. Kami keberatan dengan revisi seperti itu dan memohon untuk tidak merealisasikan sanksi hukum seperti itu,” ungkap Dharma.
Seperti diketahui, upaya merevisi perda penanggulangan Covid-19 yang terbit pada November 2020 itu dilakukan menyusul melonjaknya angka penyebaran Covid-19 di DKI Jakarta secara signifikan pada pertengahan 2021. Lonjakan kasus menjadi alasan Pemprov DKI Jakarta merumuskan ketentuan pemidanaan terhadap masyarakat terkait prokol kesehatan.
Dalam penjelasan Pemprov DKI Jakarta, upaya tersebut dilakukan untuk memberikan efek jera bagi masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan. Meskipun Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta akan menunda pembahasan revisi tersebut, wacana dan proses revisi tersebut masih terus bergulir.
Untuk itu, JRMK bersama UPC, LBH Jakarta, YLBHI, dan ICJR secara tegas menolak revisi tersebut. Koalisi masyarakat menyebutkan sejumlah alasan mereka menolak.
”Pertama, revisi cenderung hanya secara sepihak menyalahkan masyarakat sebagai penyebab meningkatnya angka penularan Covid-19 di DKI Jakarta tanpa mengevaluasi pola komunikasi dan tanggung jawab hukum yang diemban pemerintah dalam penanganan Covid-19,” kata Charlie Albajili dari LBH Jakarta melalui keterangan tertulis.
Menurut Charlie, penegakan hukum protokol kesehatan di DKI Jakarta dengan Perda No 2/2020 masih belum konsisten dan adil diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut sering kali memicu ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah yang akan menghambat penanganan Covid-19.
Dalam menangani Covid-19, lanjut Charlie, konsistensi penegakan hukum, edukasi masyarakat, dan transparansi data adalah hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah, yakni untuk mendorong masyarakat tertib hukum. Alasan kedua, yang diungkap Charlie, sanksi pidana tidak akan efektif.
Sanksi pidana disebutkan Charlie, berpotensi menyasar dan menambah kesengsaraan masyarakat miskin kota yang bergantung hidupnya pada pekerjaan informal harian di luar rumah untuk bertahan hidup.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2021, penduduk miskin di DKI Jakarta mencapai 501.920 orang, meningkat 21.080 orang sejak Maret 2020 atau sebelum pandemi Covid-19. Angka tersebut belum termasuk besarnya angka masyarakat rentan miskin, khususnya setelah bertambahnya pengangguran selama pandemi.
”Dengan kondisi kesejahteraan masyarakat yang demikian menurun, penerapan sanksi pidana tidak akan efektif dan hanya menjadi kebijakan yang tidak sensitif serta akan menambah kesengsaraan masyarakat,” jelas Charlie.
Alasan ketiga, disebutkan Charlie, bahwa upaya mengatur sanksi pidana bagi masyarakat dinilai sebagai bentuk pengalihan dari kegagalan pemerintah melaksanakan tanggung jawab dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Upaya pengendalian Covid-19 tidak akan berhasil dilakukan tanpa menjamin kebutuhan hidup harian warga serta akses kesehatan yang layak dan gratis bagi seluruh lapisan masyarakat.
”Alih-alih memidanakan, pemerintah perlu memperbaiki kesimpangsiuran data penerima bantuan sosial serta tidak meratanya penyaluran bantuan sosial di DKI Jakarta yang terjadi hingga awal tahun 2021. Adanya sistem informasi yang transparan, mekanisme komplain yang terukur hingga efisiensi dan realokasi anggaran perlu jadi prioritas,” katanya.
Kompas/Priyombodo
Petugas satpol PP mendata warga yang terjaring razia masker di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (7/4/2021). Masih banyak warga yang terjaring razia karena tidak menggunakan masker atau menggunakan masker tidak benar saat beraktivitas di luar rumah pada masa pandemi ini.
Keempat, Koalisi Masyarakat menilai Pemprov DKI perlu mengevaluasi ulang pemberian kewenangan penyidikan kepada satpol PP yang ditegaskan kembali dalam revisi tersebut. Sebab, selain menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian dalam penegakan peraturan di daerah, juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, mengingat besarnya kewenangan yang diberikan kepada satpol PP serta masih maraknya kekerasan dan praktik pungutan liar yang terjadi selama ini di institusi tersebut.
Untuk itu, Koalisi Masyarakat meminta Gubernur DKI Jakarta dan Ketua DPRD DKI Jakarta untuk membatalkan Rencana Perubahan Perda No 2/2020; meminta Pemprov DKI Jakarta mengevaluasi dan mencabut aturan terkait kewenangan penyidikan satpol PP; serta meminta Pemprov DKI Jakarta melakukan persuasi kepada masyarakat dengan menjamin keterbukaan informasi dan penyebaran informasi yang merata terkait penanganan Covid-19 dan akses terhadap jaminan sosial.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, yang menyampaikan penjelasan Pemprov DKI atas usulan revisi Perda No 2/2020 dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, Rabu (21/7/2021), menyatakan, masyarakat jangan panik dengan ancaman pidana kurungan dan denda yang diusulkan dalam revisi perda. Pasal-pasal tersebut diusulkan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelanggar protokol kesehatan.
Sementara dalam pembahasan di Bapemperda DPRD DKI Jakarta, Kamis (22/7/2021), Purwanto, anggota Bapemperda DPRD DKI dari Fraksi Gerindra, meminta Pemprov DKI menjelaskan secara rinci pelanggaran prokes yang terjadi. Utamanya sejak Perda No 2/2020 terbit pada November 2020 karena hal itu bisa menjadi latar belakang usulan revisi.
Namun, ia menilai revisi perda dengan menambahkan pasal-pasal belum patut dilakukan. Ia tetap meminta penjelasan dari Pemprov DKI terkait evaluasi pelaksanaan perda, sosialisasi, juga penyelenggaraan perda itu.
Sementara Pantas Nainggolan, Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta, dalam pembahasan Bapemperda DPRD DKI Jakarta, Jumat (23/7/2021), meminta Pemprov DKI mengkaji ulang usulan perubahan Perda No 2/2020 tentang Penanggulangan Covid-19.
Peninjauan ulang itu secara khusus diminta pada penambahan pasal mengenai penerapan sanksi administrasi yang perlu disesuaikan dengan impitan ekonomi yang dialami banyak masyarakat yang terimbas pandemi Covid-19. Dengan permintaan itu, Bapemperda DPRD DKI Jakarta menunda pembahasan revisi Perda No 2/2020.