Revisi Perda Pandemi DKI, Satpol PP Dinilai Tak Tepat Jadi Penyidik
Bapemperda DPRD DKI Jakarta mulai membahas usulan revisi Perda No 2/2020 tentang Penanggulangan Covid-19. Aturan tentang penyidikan oleh Satpol PP banyak ditentang dan pasal pidana dikhawatirkan kontraproduktif.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
Kompas/Priyombodo
Petugas Satpol PP mendata warga yang terjaring razia masker di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (7/4/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan mengenai revisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 belum mencapai titik kesepakatan. Sejumlah usulan pasal terkait pemberian kewenangan penyidikan kepada Satpol PP selain kepada kepolisian, juga tentang sanksi pidana, mendapat penolakan ataupun penegasan dari sejumlah anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah atau Bapemperda DPRD DKI Jakarta.
Rapat pembahasan materi revisi perda oleh Bapemperda, Kamis (22/7/2021), selain digelar di gedung DPRD DKI juga bisa diikuti secara daring. Pantas Nainggolan, Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta, dalam kesempatan itu menjelaskan, pembahasan revisi perda dilakukan atas usulan sejumlah institusi. Tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan bersama, terutama dari penularan Covid-19 secara masif di Jakarta.
Dalam rancangan perubahan, ada pasal yang hendak disisipkan ke dalam perda tersebut, yaitu 28A terkait penyidikan. Dalam pasal ini, selain Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga akan memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan melampirkan hasilnya kepada pihak kepolisian dan pengadilan negeri.
Kalau ada pelanggaran, saya kira yang sudah dilakukan dengan dasar perda itu sudah cukup.
Lainnya, akan ditambahkan juga Pasal 32A dan 32B terkait pengaturan jenjang sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan (prokes) selama masa pandemi Covid-19 mulai dari sanksi sosial, denda administratif Rp 500.000 sampai Rp 50 juta rupiah, hingga ancaman kurungan pidana maksimal 3 bulan. Ini adalah untuk pelanggaran yang dilakukan berulang.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (25/11/2019).
Dalam pembahasan tersebut, anggota Bapemperda dari Fraksi PKS, Achmad Yani, menegaskan, Perda Nomor 2 Tahun 2020, kalau dilihat dari umur, masih bayi, masih baru. Ia mengajak Pemprov DKI dan semua pihak melihat lebih jauh, dalam masa pandemi Covid-19 ada banyak warga yang terdampak.
”Kalau ada pelanggaran, saya kira yang sudah dilakukan dengan dasar perda itu sudah cukup,” katanya.
Seharusnya, lanjutnya, pemprov menyosialisasikan perda tersebut secara masif kepada masyarakat sehingga dalam masa pandemi masyarakat paham. Ia khawatir, dengan banyaknya warga yang terdampak, adanya sanksi tegas justru akan kontraproduktif, akan ada penolakan dari masyarakat.
”Di sini justru bagaimana Pemprov DKI bisa memberikan bantuan sosial bagi warga yang kesulitan. Kita bantu mereka terkait kesejahteraannya, bukan malah diberikan sanksi pidana,” kata Achmad Yani.
Apabila dengan sanksi pidana, lalu ada ancaman kurungan sebagai jalan terakhir, ia mempertanyakan, bagaimana kalau warga yang melanggar berulang karena kondisi ekonomi yang sulit memilih ditahan.
Kompas/Totok Wijayanto
Petugas yang berjaga berusaha menghalau pengendara bermotor yang hendak melalui pos penyekatan di Jalan fatmawati, Jakarta Selatan, Rabu (21/7/2021).
”Mungkin warga ada yang berpikir, daripada di rumah tidak makan, mending ditahan bisa makan. Bagaimana dengan kemampuan rumah tahanan yang ada? Bagaimana dengan kemampuan keuangan apabila memang jutaan orang menyerahkan diri untuk ditahan?” tanyanya.
Achmad Yani juga mengkritisi Pemprov DKI yang hendak memberikan kewenangan penyidikan kepada Satpol PP selain kepada kepolisian seperti yang diusulkan dalam Pasal 28A. Menurut dia, DKI harus belajar dari daerah lain yang kesulitan dalam hal sumber daya manusia.
Ia juga mengingatkan, Satpol PP merupakan organisasi perangkat daerah (OPD) yang salah satu tujuan pembentukannya untuk penegakan perda dan bertindak sebagai koordinator PPNS apabila diberikan kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di perda yang akan dibuat.
”Maka, ini harus jelas masa berlaku penugasan dan kewenangannya. Ini harus termaktub dalam konsideren hukum dalam perda itu,” katanya.
Agustina Hermanto, anggota Bapemperda dari Fraksi PDI Perjuangan, dalam pembahasan itu tegas menolak usulan yang akan memberikan kewenangan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari Satpol PP DKI Jakarta.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengemudi ojek daring saat berjalan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (22/7/2021).
Menurut Agustina, tindakan petugas Satpol PP sering kali tidak memiliki keterkaitan antara sanksi dan aturan yang ada ketika memberikan sanksi di lapangan. Ia mencontohkan tindakan penyegelan tempat usaha oleh Satpol PP.
Setelah ada evaluasi dari atasan Satpol PP, diketahui tempat yang disegel adalah tempat usaha esensial yang boleh beroperasi selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Setelah itu segel dicabut.
Belum lagi, imbuh Agustina, isu-isu terkait pungutan liar yang ada di lapangan yang dilakukan oleh oknum-oknum Satpol PP saat melakukan razia protokol kesehatan. Selain itu, Agustina menilai petugas Satpol PP belum bisa membedakan pelanggaran kerumunan dan pelanggaran operasional pemilik usaha.
Itulah sebabnya dia tidak sepakat dengan usulan pasal dalam perubahan perda Covid-19 yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Satpol PP.
Kompas/Priyombodo
Petugas Satpol PP mendata warga yang terjaring razia masker di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (7/4/2021).
Hal demikian juga ditegaskan Anthony Winza Probowo dari Fraksi PSI. PSI berpandangan pemberian sanksi pidana kepada masyarakat di tengah kesulitan akibat pandemi tidak tepat. Penerapan pidana seakan menjadikan masyarakat sebagai ”kambing hitan” tanpa berusaha merefleksikan kegagalan Pemprov DKI mengantisipasi masalah karena pandemi.
Menurut dia, harus ada pendekatan berbeda dalam menangani pandemi. Kemudian, terkait kewenangan Satpol PP, PSI mengusulkan supaya mengutamakan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan.
PPNS yang dapat diangkat sebagai penyidik hanya PPNS yang telah mendapatkan pelatihan khusus dari kepolisian dan hanya dapat dilakukan dengan supervisi kepolisian, mengingat kegiatan penyidikan sangat rentan mencederai hak asasi manusia dan hanya dapat dilakukan untuk kasus pelanggaran pidana ataupun untuk kasus yang terkait dugaan adanya kartel harga dan penimbunan kebutuhan masyarakat, seperti obat-obatan, alat kesehatan, fasilitas kremasi, sembako, dan tes PCR.
Purwanto, anggota Bapemperda dari Fraksi Gerindra, menegaskan, pelibatan Satpol PP sebagai penyidik harus diberikan pengetahuan komprehensif supaya tidak menimbulkan problem baru. Ia justru meminta adanya evaluasi atas pelaksanaan dari Perda No 2/2020 itu.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Penjual buah mendorong gerobaknya melewati titik penyekatan di bawah Jalan Layang Pesing, Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Kamis (15/7/2021).
Terkait sanksi pidana, Agustina menambahkan, ia menolak penerapan pasal itu. Menurut dia, sangat tidak elok apabila masyarakat dijatuhi hukuman pidana 3 bulan karena pelanggaran protokol kesehatan.
Dalam rapat tersebut, Achmad Yani kembali mengingatkan Pemprov DKI, apabila pasal pidana hendak ditegaskan, pemprov lebih baik memberi perhatian besar kepada hal mendesak dan pemberian sanksi kepada pelaku kejahatan ekonomi di tengah kesulitan rakyat. Yang dimaksud adalah mereka yang mengambil keuntungan besar di luar kewajaran dalam kondisi pandemi ini, mereka yang melakukan penimbunan, permainan harga, dan berbagai kejahatan ekonomi yang berakibat ketidakstabilan harga dan kelangkaan barang yang dibutuhkan rakyat, seperti masker, tabung oksigen, dan obat-obatan.
”Kepada mereka ini justru harus disiapkan pasal tindak pidana,” kata Achmad Yani.
Nainggolan melanjutkan, pandangan-pandangan anggota Bapemperda tersebut menjadi masukan dalam rapat pembahasan tersebut. Pembahasan sendiri belum selesai dan akan dilanjutkan, Jumat (23/7).