Strategi Darurat DKI yang Belum Atasi Kedaruratan Pandemi Ibu Kota
Pada masa PPKM darurat, Jakarta tembus 100.000 kasus aktif. Sejumlah langkah antisipasi dilakukan. Namun, langkah itu mendapat sorotan karena masih ada tunggakan pembayaran rumah sakit. Jumlah tenaga kesehatan pun minim
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
Saat 2 Juli 2021, Gubernur DKI Anies Baswedan memaparkan kenaikan kasus di Jakarta, ia menyebut bila di Ibu Kota sudah mencapai 100.000 kasus aktif, antisipasi skenario darurat perlu diterapkan. Saat ini, untuk menangani kondisi darurat di DKI, 140 rumah sakit sudah dioptimalkan untuk menangani Covid-19, demikian juga sejumlah lokasi isolasi terkendali di luar Rumah Sakit Darurat Covid-19 atau RSDC Wisma Atlet mulai dibuka.
Namun, strategi itu dinilai Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) DKI Jakarta Koesmedi Priharto kurang melihat permasalahan yang ada. ”Saat menambah rumah sakit untuk rujukan Covid-19 juga membuka lokasi isolasi mandiri, sumber daya manusia tenaga kesehatannya dari mana?” tanya Koesmedi saat dihubungi, Selasa (13/7/2021).
Saat ini, dengan kasus yang terus melonjak, tenaga kesehatan sudah kelelahan, beban para tenaga kesehatan itu sudah mengerikan. Itu makanya saat ini juga banyak tenaga kesehatan yang kelelahan dan terpapar.
Rumah sakit itu anggota Persi DKI Jakarta sudah teriak-teriak dari Maret lalu, tetapi pembayarannya sedikit-sedikit.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho juga menyatakan hal tersebut. Dalam penanganan situasi darurat, khususnya untuk tenaga kesehatan, ia tidak melihat ada upaya atau strategi mengatasi kekurangan tenaga kesehatan di beberapa wilayah episentrum.
”Untuk pengalihan tenaga kesehatan dari provinsi yang tidak berat ke wilayah episentrum sama sekali tidak gampang. Itu tidak mungkin dikoordinasi oleh gubernur. Harus level pusat,” kata Teguh.
Teguh mengambil contoh, 300-an tenaga kesehatan di Bogor yang positif Covid-19. Penanganan Covid-19 di kota Bogor jelas terhambat dengan tenaga kesehatan yang minim. ”Ini mitigasinya bagaimana?” tanya Teguh.
Belum lagi, pemerintah harus juga memperhatikan rasio ideal antara dokter, perawat, dan pasien, termasuk rasio tugas mereka. ”Rasio ideal misalnya 1 dokter untuk 20 pasien dan perawat satu untuk 10 pasien. Juga waktu kerja yang harusnya 3 sif jadi 1 sif bisa berpengaruh ke pelayanan,” kata Teguh.
Hal lainnya yang menjadi sorotan ombudsman adalah ketika Pemprov DKI menambah rumah sakit dan lokasi isolasi terkendali, Teguh menyayangkan hal itu. Seharusnya rumah sakit juga RSDC Wisma Atlet, RSDC Pademangan, Rusun Nagrak, Rusun Pasar Rumput difokuskan untuk penanganan pasien suspect kritis. Tempat-tempat itu seharusnya menjadi RS Darurat dengan menambah tempat tidur, ICU, dan lainnya.
”Yang OTG atau tanpa gejala bagaimana? Seharusnya isolasi mandiri. Masa yang kritis di tenda dan selasar. Yang OTG nyaman di Wisma Atlet padahal bisa di rumah isolasi mandiri dengan pengawasan warga dan RW Siaga,” kata Teguh menegaskan.
Koesmedi menyatakan, itu sebabnya langkah melebarkan rumah sakit dengan mendirikan tenda lalu menambah tempat tidur perawatan kurang tepat. Karena rumah sakit mesti menambah SDM dan infrastruktur.
Belum lagi RS sudah meminta sejak Maret 2021, meminta supaya pemerintah pusat segera membayarkan dana penanganan Covid-19 ke rumah sakit. “Rumah sakit itu anggota Persi DKI Jakarta sudah teriak-teriak dari Maret lalu, tetapi pembayarannya sedikit-sedikit,” kata Koesmedi.
Apalagi, untuk penanganan Covid-19 ini pendanaan dengan model reimburst atau klaim ke kementrian Kesehatan melalui BPJS. Artinya perlu ada proses verifikasi yang diikuti penerbitan berita acara hasil verifikasi untuk bisa mengklaim ke Kemenkes sehingga memang pembayaran tidak bisa langsung dilakukan. Untuk rumah sakit di Jakarta, ketahanan keuangan tergantung kepada pemilik rumah sakit.
”Ya, kami ini kan BLUD, badan layanan umum daerah, jadi masih ada anggaran yang bisa kami atur-atur sampai dana dari pemerintah pusat cair. Meski sebenarnya kami sudah terengah-engah juga. Kami perkirakan ketahanan keuangan di RSUD Koja tingga 2-3 bulan lagi,” kata IBN Banjar, Direktur RSUD Koja, Jakarta Utara.
Dengan pendanaan demikian, otomatis jaminan ketersediaan obat, oksigen, juga peralatan menyesuaikan dengan pendanaan yang ada. Untuk DKI Jakarta, untuk keperluan oksigen agak terbantu dengan adanya CSR dari Krakatau Steel yang membantu 300 tabung ukuran besar untuk DKI Jakarta per hari. Di luar itu, rumah sakit memang harus membeli sendiri dari penyedia atau distributor.
Dari 140 RS rujukan Covid-19 di DKI Jakarta, bergantian mempergunakan jatah bantuan itu. Karena per hari dibatasi 300 tabung, setiap rumah sakit mendapat jatah 10 tabung sehingga diatur giliran pengambilan bantuan per rumah sakit.
Dengan kondisi kasus yang terus naik dan situasi di rumah sakit demikian, Koesmedi menyarankan, untuk pemulihan ada lima langkah yang bisa dilakukan. Pertama 3M. Pemprov DKI juga pemerintah daerah lainnya mesti tidak bosan-bosan mengomunikasikan kepada masyarakat perubahan perilaku, untuk patuh 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan).
”Mengubah budaya, apalagi mengajak masyarakat 3M tidak seperti membalik telapan tangan. Tapi, itu harus terus dilakukan,” katanya.
Untuk pemerintah tentunya adalah memperkuat 3T (tracing, testing, treatment). Koesmedi berharap jika memang seseorang mesti menjalani isolasi karena terkonfirmasi atau karantina karena kontak erat, sebaiknya sesuai standar WHO, 14 hari, yaitu supaya bisa menemukan secara dini kasus dan melakukan perawatan.
Lalu, masyarakat diajak untuk berperan aktif dengan mengikuti vaksinasi. Langkah keempat adalah perawatan dan pengobatan di rumah sakit untuk yang betul-betul harus mendapatkan pengobatan.
Langkah kelima adalah isolasi mandiri atau isoman. Isoman ini perlu dilakukan karena saat ini memang situasi di RS sudah tidak memungkinkan menampung pasien. Antrean pasien IGD bisa berhari-hari sementara dengan pasien yang begitu banyak nakes tidak akan bisa detil melakukan penanganan. Jika jaminan keamanan minim, kemungkinan meninggal pun tinggi.
”Itu sebabnya gotong royong antarwarga penting. Warga juga Satgas siaga saling membantu warga yang isoman, serta membantu petugas puskesmas untuk memantau,” kata Koesmedi.