Warga Miskin Ibu Kota Bertahan dengan Secuil Asa dan Sedikit Nafkah
Warga yang tinggal di kampung-kampung Jakarta mengalami penderitaan berlapis di saat pemerintah memberlakukan kebijakan PPKM darurat. Selain intaian penyakit, musibah kelaparan kini terus terbayang di kepala mereka.
”Kalau saya, PPKM itu sama dengan Pak Kapan Kita Mati”
Lebih kurang demikian ungkapan pasrah dan pesimistis yang diucapkan Bete (42), warga Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, DKI Jakarta, Senin (12/7/2021) sore, dalam menyikapi kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Lelaki yang biasanya berdagang aneka mainan anak di taman wisata pantai di Jakarta Utara itu kini tak lagi berjualan sejak tempat hiburan itu kembali ditutup akhir Juni 2021 saat kasus Covid-19 kembali meningkat di Ibu Kota.
Sejak tak lagi berdagang, lelaki yang memiliki satu anak itu kelabakan memenuhi kebutuhan keluarga. Dia sudah tak mampu membayar sewa kontrakan. Bete akhirnya kembali tinggal di rumah mertua yang juga di Pademangan Barat.
Dia bersama istrinya kini bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka berharap tetap sehat dan tak terinfeksi Covid-19. Namun, mereka juga tak bisa hanya berdiam di rumah.
Bete termasuk keluarga penerima bantuan sosial tunai sebesar Rp 300.000 per bulan dari Kementerian Sosial. Bantuan terakhir yang diterima sebesar Rp 600.000 sudah diterima pada Mei 2021 untuk tahap April dan Mei. Sementara, bantuan sosial untuk Juni dan Juli 2021 sampai saat ini belum mereka dapatkan.
”Kami bukannya tidak bersyukur. Masa PPKM ini, kadang-kadang kita sakit hati. Dibilang masyarakat tenang. Bagaimana kita tenang, yang benar-benar tidak ada penghasilan. Pemerintah menganggap sebulan bantuan Rp 300.000 itu cukup,” katanya, saat dihubungi dari Bekasi, Senin sore.
Warga Ibu Kota yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk di Jakarta Utara kini menghadapi persoalan pelik. Ancaman penyakit mematikan terus terjadi di tengah-tengah mereka. Di satu sisi, mereka hidup tanpa harapan, tanpa penghasilan.
Kejadian kematiannya tinggi sekali. Setiap hari, ada kematian, paling tidak itu dua orang. Gejalanya sama, sesak napas.
Menurut Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Eny Rochayati, masyarakat yang tinggal di kampung-kampung Jakarta, salah satunya di Jakarta Utara, kini hidup dalam ketidakberdayaan. Warga bertahan tanpa nafkah hingga ada yang meninggal sesak napas tanpa teridentifikasi secara medis penyebab kematian tersebut.
”Kejadian kematiannya tinggi sekali. Setiap hari, ada kematian, paling tidak itu dua orang. Gejalanya sama, sesak napas,” kata Eny.
Mereka yang meninggal itu, ada yang hanya bertahan di rumah hingga mengembuskan napas terakhir. Sebagian warga meninggal setelah ditolak rumah sakit karena kapasitas ruang perawatan penuh.
Salah satunya dialami kerabat Eny yang selama 10 hari menderita sakit kepala, lambung, dan sesak napas. Kerabatnya yang juga bagian dari pengurus JRMK itu mencari rumah sakit di berbagai tempat. Kerabatnya itu sempat diterima di salah satu rumah sakit di wilayah Penjaringan. Ia ditempatkan di tenda darurat dan menurut keluarga tidak mendapat banyak pelayanan kesehatan.
Keluarga lalu memutuskan membawanya pulang ke rumah. Namun, dalam perjalanan pulang itu, kerabat Eny meninggal, tepatnya 7 Juli 2021.
Upaya menolong warga yang menderita sesak napas dengan bantuan tabung oksigen dan oksigen juga tak mudah dilakukan para pengurus dan anggota JRMK. Eny dalam minggu ini mencoba membantu warga yang membutuhkan oksigen setelah berhasil mendapatkan pinjaman tabung oksigen dari aktivis kemanusiaan, Sandiyawan Sumardi. Namun, untuk mengisi oksigen pun sangat sulit.
”Kami sudah dapat link dari mana-mana. Tapi saat coba dilacak oleh keluarga, tidak ada, semua kosong. Lalu, ketika dapat oksigen, antrenya seharian. Bisa dibayangkan, orang dalam keadaan sesak napas menunggu oksigen sampai seharian, padahal hitungan menit saja sudah megap-megap,” kata Eny.
Baca juga: Sepekan PPKM Darurat, ”Positivity Rate” Ibu Kota Mencapai 42 Persen
Di wilayah padat penduduk Penjaringan, satu tabung oksigen yang didapatkan dari Sandiyawan digunakan bergilir oleh warga setempat. Jelas saja, satu tabung itu sama sekali tak cukup untuk melayani kebutuhan orang-orang yang menderita sesak napas.
Saat satu warga masih menggunakan tabung itu, warga lain juga mengiba mendapatkan giliran karena mengalami sesak napas. ”Sementara banyak yang teriak, butuh tabung,” katanya.
Bertahan di rumah
Menurut Eny, warga yang menderita sakit sebagian memutuskan bertahan di rumah tanpa mengakses layanan kesehatan karena ada ketakutan tersendiri apabila menjalani tes usap. Bagi warga, jika sakit dan dipastikan positif Covid-19, itu berarti mereka harus menjalani perawatan di rumah sakit dan tak bisa bertemu keluarga.
”Ada ketakutan, kalau ketika mereka berobat di rumah sakit, lalu swab dan misalnya dinyatakan positif karena kondisinya parah, berarti harus dirawat di rumah sakit. Itu menjadi ketakutan mereka karena mereka menganggap itu hari terakhir mereka melihat keluarganya,” kata Eny.
Sebagian warga memutuskan bertahan di rumah tanpa menjalani tes usap. Sayangnya, sebagian dari mereka yang bertahan di rumah itu lalu tak tertolong dan meninggal. Saat sudah meninggal, keluarga memakamkan jenazah warga yang bersangkutan tanpa protokol Covid-19. Situasi ini menjadi ancaman tersendiri karena berpotensi memperluas penyebaran Covid-19 kepada orang-orang terdekat yang mengurus jenazah tersebut dan di lingkungan permukiman warga.
Baca juga: Menapaki Lorong Sunyi Pusat Perbelanjaan di Jakarta
Kondisi warga yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan juga terjadi di wilayah RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Hari-hari ini, banyak warga di kampung padat penduduk itu yang mulai batuk, pilek, dan flu. Warga bertahan di rumah dan ketakutan divonis Covid-19.
Di wilayah RW 019, saat ini ada 48 keluarga yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumah setelahnya dinyatakan Covid-19. Warga yang menjalani isolasi mandiri dan kondiisnya tiba-tiba memburuk sehingga butuh rujukan ke rumah sakit, kesulitan untuk mendapatkan layanan ambulans.
”Ada warga yang sampai sesak napas, kami angkut pakai becak. Susah akses ambulans. Saya coba telepon ke rumah sakit supaya dapat ruang di ICU (tapi belum dapat juga) sampai akhirnya meninggal dunia,” kata Ketua RW 019 Kelurahan Tugu Utara, Ricardo Hutahean.
Di RW Ricardo, sudah tiga orang yang meninggal saat isolasi mandiri. Mereka meninggal akibat terjadi perburukan tiba-tiba karena terlambat atau sama sekali tak mendapat pertolongan medis.
Baca juga: Jamin Kebutuhan Pasien Isolasi
Adapun total jumlah penduduk di wilayah itu sebanyak 1.060 keluarga. Warga rata-rata mata pencariannya beragam, mulai dari pemulung, juru parkir, hingga pekerja serabutan. Meski termasuk kalangan masyarakat kelas bawah atau marjinal, bantuan sosial di masa PPKM darurat belum menyentuh warga tersebut.
Kebutuhan warga yang menjalani isolasi mandiri pun sejauh ini berasal dari swadaya masyakat melalui gerakan tetangga bantu tetangga. Pihak RW juga membuka dapur umum untuk melayani kebutuhan makanan para warga lanjut usia (lansia). Setiap warga lansia mendapat jatah satu kali makan setiap hari.
Di sisi lain, bantuan sosial tunai dari pemerintah pun tidak diberikan secara merata. Dari total 1.060 keluarga, sebanyak sekitar 20 persennya tidak mendapat bantuan sosial. Padahal, keluarga yang tak mendapat bantuan itu terdaftar dalam program bantuan tunai dan nontunai melalui Kartu Keluarga Sejahtera.
Provinsi DKI Jakarta selama ada kebijakan pembatasan untuk pemulihan kesehatan, ada peningkatan angka kemiskinan yang cukup signifikan. Dari data Badan Pusat Statistik, pada September 2019 persentase angka kemiskinan DKI 3,42 persen. Dan, September 2020 angka kemiskinan naik menjadi 4,69 persen atau naik 1,2 persen.
Persentasi angka kemiskinan pada September 2020 itu mendekati persentase angka kemiskinan DKI Jakarta tahun 2007 yang sebesar 4,61 persen. Jakarta seperti kembali mundur 13 tahun yang lalu untuk isu kemiskinan.
Kita diminta tidak ke mana-mana untuk memutus mata rantai penularan. Tetapi, kebutuhan kita tidak dipenuhi. Jadi mesti imbang, yang sakit ditolong, yang sehat juga ditolong
Adapun untuk menanggulangi kemiskinan yang timbul dan pertambahan warga miskin, Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki berbagai program bantuan sosial. Program tersebut, di antaranya Kartu Anak Jakarta, Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta, Kartu Lansia Jakarta, Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul, Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang bersumber dari APBD, serta program pangan murah.
Di masa pandemi, jenis bantuan bagi warga terdampak bertambah, baik tunai maupun nontunai. Akan tetapi, tetap saja, belum semua warga yang membutuhkan terjangkau bantuan, terlebih akses layanan kesehatan memadai.
Dari berbagai kejadian yang terjadi pada warga di kampung-kampung Jakarta itu, Jaringan Rakyat Miskin Kota berharap kepada pemerintah untuk tak sekadar mengutamakan sosialisasi dan penegakan hukum PPKM darurat. Warga miskin kini membutuhkan solusi konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ekonomi, sosial, dan persoalan kesehatan yang mendera warga.
”Orang sehat itu karena makan. Kita diminta tidak ke mana-mana untuk memutus mata rantai penularan. Tetapi, kebutuhan kita tidak dipenuhi. Jadi mesti imbang, yang sakit ditolong, yang sehat juga ditolong,” ucap Eny lagi.
Baca juga: Wakil Gubernur DKI: Jakarta Berjibaku Menanggulangi Kemiskinan