Separuh Warga DKI Miliki Antibodi, Strategi Darurat Sudah Diterapkan
Survei serologi menunjukkan, separuh warga DKI terinfeksi dan punya antibodi. Dengan kasus yang kian tinggi, epidemiolog sarankan warga jaga prokes dan divaksin meski DKI sudah menambah kapasitas fasilitas kesehatan.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Separuh warga DKI Jakarta dinyatakan memiliki antibodi Covid-19. Hal itu diketahui dari survei serologi yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan dengan Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Lembaga Eijkman, dan CDC Indonesia.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti dalam konferensi pers tentang diseminasi hasil survei serologi Covid-19 secara virtual, Sabtu (10/7/2021), menjelaskan, serologi merupakan teknik berbasis imunologi yang bertujuan untuk mengukur respons imun terhadap suatu antigen dari sediaan darah seseorang. Apabila seseorang pernah terpapar agen infeksius tertentu, tubuhnya akan terpicu menghasilkan antibodi spesifik yang dapat dideteksi.
”Melalui survei ini, kita dapat memperkirakan proporsi warga Jakarta yang pernah terinfeksi oleh virus SARS CoV-2, baik yang teridentifikasi atau terkonfirmasi oleh tes PCR maupun yang tidak. Kita bisa melihat juga gambaran lebih utuh tentang situasi pandemi di Jakarta sehingga strategi penanganan dan pengendaliannya pun bisa disesuaikan,” kata Widyastuti.
Epidemiolog dari Tim Pandemi FKM UI, Pandu Riono, dalam kesempatan itu, menjelaskan, survei yang dilakukan pada kurun waktu 15-31 Maret 2021 itu menggunakan metode sampling. Artinya, ada kondisi yang perlu dicermati, yaitu vaksinasi sedang mulai berjalan.
Survei dilakukan di 100 kelurahan di enam wilayah kota/kabupaten administrasi, mencakup 4.919 sampel dari warga DKI Jakarta berusia lebih dari satu tahun (98,4 persen) dari total 5.000 target sampel. Rinciannya, sampel itu meliputi 54 persen perempuan dan 46 persen laki-laki, dengan kelompok usia 1-14 tahun (21,6 persen), 15-49 tahun (52 persen), serta 50 tahun ke atas (26,4 persen).
Hasil survei itu menunjukkan, hampir separuh penduduk Jakarta pernah terinfeksi Covid-19, dengan kelompok usia terbanyak yang terinfeksi pada rentang 30-49 tahun. Infeksi pada kelompok perempuan lebih tinggi (47,9 persen) dan kelompok yang belum menikah memiliki risiko terinfeksi lebih rendah (39,8 persen).
”Penduduk di wilayah padat penduduk lebih rentan terinfeksi Covid-19, yaitu 48,4 persen. Semakin meningkat indeks massa tubuh, semakin banyak juga yang terinfeksi, dalam hal ini kelebihan berat badan 52,9 persen dan obesitas 51,6 persen. Orang dengan kadar gula darah tinggi juga lebih berisiko,” papar Pandu.
Ia juga menyebutkan, prevalensi penduduk yang pernah terinfeksi adalah sebesar 44,5 persen dengan estimasi warga yang pernah terinfeksi 4.717.000 orang dari total penduduk Jakarta sebanyak 10.600.000 orang. Dari jumlah estimasi warga yang pernah terinfeksi, hanya 8,1 persen yang terkonfirmasi. Sebagian besar yang pernah terinfeksi tidak terdeteksi. Selain itu, sebagian besar yang pernah terinfeksi, baik terdeteksi maupun tidak terdeteksi, tidak pernah merasakan gejala.
”Kekebalan komunal di Jakarta akan lebih sulit tercapai karena Jakarta adalah kota terbuka dengan mobilitas intra dan antarwilayah yang tinggi. Konsekuensinya, semua penduduk yang beraktivitas di Jakarta, baik warga Jakarta maupun pendatang, harus memiliki kekebalan (telah tervaksinasi) yang dapat mengatasi semua varian virus,” tuturnya.
Strategi situasi darurat
Widyastuti melanjutkan, dengan hasil survei itu, diketahui kasus aktif harian di DKI Jakarta sudah lebih dari 100.000 kasus. Mereka saat ini tengah menjalani perawatan di rumah sakit ataupun tempat isolasi. Adapun kasus terkonfirmasi pada Sabtu ini sebanyak 12.920 kasus positif.
Dalam paparan Gubernur DKI Jakarta 2 Juli 2021, disebutkan bahwa saat kasus aktif DKI Jakarta mencapai 100.000 atau lebih, harus ada strategi penanganan atau skenario antisipasi. Rumah sakit kelas A, di antaranya, dikhususkan sepenuhnya untuk ICU Covid-19, RSDC Wisma Atlet dikhususkan untuk penanganan pasien dengan gejala sedang-berat, dan rusun diubah menjadi fasilitas isolasi terkendali untuk pasien dengan gejala ringan. Selain itu, stadion indoor dan gedung-gedung konvensi besar akan diubah menjadi rumah sakit darurat penanganan kasus darurat kritis, diusulkan untuk dalam satu manajemen dengan RSDC Wisma Atlet.
Widyastuti melanjutkan, saat kasus aktif tinggi, tentu strategi harus dipikirkan. Di sisi hulu harus ada upaya meningkatkan pencapaian vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan yang ketat, juga termasuk pembatasan mobilitas. Namun, di sisi lain, juga ada upaya lebih cepat menyiapkan peningkatan kapasitas isolasi, baik isolasi terkendali maupun isolasi di rumah sakit.
Untuk peningkatan kapasitas itu, ujarnya, Dinkes DKI sudah memberi advokasi harus mengubah atau mengonversi beberapa rumah sakit menjadi rumah sakit khusus Covid-19 dan menyiapkan kapasitas yang lebih besar untuk kriteria pasien sedang ataupun berat. Menteri Kesehatan, imbuh Widyastuti, sudah merespons dengan baik beberapa usulan Dinkes DKI, yaitu rumah sakit vertikal atau rumah sakit milik pemerintah pusat sudah dikonversi menjadi rumah sakit yang sepenuhnya menangani kasus Covid-19.
”Jadi, seperti RSUP Persahabatan dan RSPI Sulianti Saroso sudah total untuk Covid-19. Kemudian, RSUP Fatmawati sudah 80 persen menjadi melayani Covid-19. Kami terus-menerus mengadvokasi karena memang kebutuhan untuk ICU semakin meningkat dan bersyukur ada penambahan asrama haji yang betul-betul dikonversi untuk layanan Covid-19,” ujarnya.
Meski begitu, Dinkes DKI terus melakukan koordinasi. Itu karena apabila melihat lonjakan kasus dibandingkan efek dengan adanya pembatasan mobilitas, efek pembatasan diperkirakan masih satu bulan sejak kebijakan ditetapkan. ”Sehingga angka yang terus bergerak menjadi sesuatu yang harus kita antisipasi,” katanya.
Selain itu, Dinkes DKI juga terus melakukan penambahan isolasi terkendali sehingga bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat. Termasuk juga adanya telemedicine yang diluncurkan beberapa hari lalu.
”Itu juga membantu tugas teman-teman kami di puskesmas untuk pemantauan terhadap warga yang melakukan isolasi mandiri. Dan percepatan pemberian antivirus kepada warga dengan gejala itu menjadi sesuatu yang sangat penting,” kata Widyastuti.
Pandu menambahkan, dari yang terinfeksi dari survei Maret itu, ternyata mereka tidak pernah mengalami ataupun diklaim atau diperiksa positif atau tidak. Artinya, warga itu tidak terdeteksi dalam sistem, terutama kelompok anak-anak. Artinya, meski Jakarta sudah demikian tinggi dalam pengetesan, ternyata ada yang tidak terdeteksi dalam sistem.
Ini menunjukkan bahwa upaya yang harus dilakukan DKI Jakarta masih banyak, di antaranya kepada mereka yang tidak sadar terinfeksi. ”Dengan demikian, komunikasi perubahan perilaku harus, tidak bisa tidak, untuk segera 3M dan 5M itu ditingkatkan, karena banyak yang tidak sadar mereka menularkan. Perlu ditingkatkan kewaspadaan,” kata Pandu menegaskan.
Lebih penting lagi, semua pihak berupaya sama-sama menekan penularan. Tanpa menekan penularan, apa pun yang dilakukan untuk melebarkan atau meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan akan jebol. ”Karena ini besar sekali, apalagi dengan virus yang sangat mudah menular,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mendorong semua warga yang belum divaksin untuk segera divaksin. Demikian juga untuk warga yang beraktivitas di DKI, semuanya diharapkan melakukan vaksinasi supaya memiliki antibodi.