Hadiah Satu Juta Dollar AS dan Masa Emas Inovasi di Tengah Krisis
Terjebak di situasi kritis dengan pilihan selamat atau menjadi korban, bahkan kehilangan nyawa, membuat orang tak berkutik. Namun, sejarah membuktikan, kondisi genting dan mengancam juga memicu munculnya banyak inovasi.
Oleh
Neli Triana
·4 menit baca
Dunia bukan kali ini saja menghadapi krisis global. Dalam satu abad terakhir, selain beberapa wabah penyakit menjangkiti jutaan orang melintasi batas negara, benua, dan samudera, ada juga perang dunia yang memakan korban serta kerugian materiil yang tak kalah besar.
Sekitar tahun 1940, manusia penghuni Bumi dicekam ketakutan ketika Perang Dunia II berdampak pada hampir semua negara. The Atlantic dalam salah satu artikelnya melaporkan, ketika perang tengah panas-panasnya, sekelompok ilmuwan menghadap Presiden Amerika Serikat dan menyatakan negara mereka sedang lemah. Para ilmuwan itu menyarankan agar segera dibentuk agensi baru terdiri atas ahli teknologi dan ilmuwan untuk membantu memenangi perang.
Kota solutif dengan pendekatan riset ilmiah serta teknologi untuk menjawab masalah kompleks dan tantangan terberat abad ini —pandemi Covid-19—berkesempatan memenangi kompetisi.
Saran itu disambut hangat dan hasilnya adalah dibentuknya Office of Scientific Research and Development (OSRD). Dengan kekuatan 1.500 pekerja, OSRD mengerjakan ribuan proyek di selurun penjuru negeri. Di akhir perang, AS bersama sekutu-sekutunya tidak hanya menang, tetapi mereka telah mengembangkan teknologi terbaru persenjataan di era tersebut, termasuk bom atom.
Di dalam negeri, badan ini disebut yang membangun fondasi sistem komputer hingga awal temuan vaksin influenza. Berkat mereka pula, ada pola perawatan malaria yang efektif dan produksi massal penisilin, antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. OSRD dibubarkan pada 1947, tetapi hasil karyanya terus dikembangkan hingga di masa sekarang.
Laporan berjudul Science: The Endless Frontier yang terbit usai PD II, mendorong AS memperluas investasinya dalam riset ilmiah dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Seiring itu, muncul pemahaman bahwa masa krisis adalah masa emas kemunculan dan berkembangnya berbagai inovasi. Ini menjadi motor penyemangat siapa saja yang ingin terlepas dari ”lumpur hisap” krisis.
Berselang delapan dekade, AS tidak serta merta sigap merangkul sains dan teknologi dalam menghadapi pandemi. Seiring dinamika politik, sosial budaya, serta ekonomi di internal negara adidaya tersebut, respons lambat sempat membuat Negeri Paman Sam terpuruk dihajar Covid-19. Layanan kesehatan limbung menangani pasien yang sangat banyak.
Jangan sampai upaya ”flatten the curve” penularan Covid-19, justru ikut menindas munculnya berbagai inovasi kota-kota untuk kemaslahatan warganya.
Namun, situasi buruk itu tidak menetap lama. Kini, menurut laporan banyak media setempat, AS dengan segala pencapaian yang telah dirintis, telah berada pada jalur yang benar dalam penanganan wabah global ini. AS kembali mengandalkan riset ilmiah dan menghasilkan vaksinasi produk dalam negeri yang telah dirasakan sebagian rakyatnya.
Pembenahan layanan di fasilitas kesehatan terus digenjot. Kini, AS bergerak lebih maju, pada tahap pemulihan ekonomi. The Economist menekankan bahwa terobosan sains dan teknologi yang akan membuat dunia lolos dari cengkeraman pandemi.
Status sebagai negara kaya dan inovatif, membuat AS lebih mudah terentaskan dari dampak pagebluk. Bagaimana dengan negara yang ekonominya masih merangkak di kelas menengah ke bawah?
Pada masa sekarang, ketika lebih dari 50 persen penduduk Bumi tinggal di kawasan perkotaan seiring makin membengkaknya area urban, pemerintah di tingkat lokal atau daerah berperan penting dalam mengatasi berbagai tantangan besar, termasuk pandemi. Hal ini dikemukakan Mike Bloomberg di Bloomberg Philanthropies. Organisasi ini pun menginisiasi adanya Jaringan Kota Bloomberg.
”Bermitra dengan Johns Hopkins University di Amerika Serikat, Jaringan Kota Bloomberg adalah tempat bagi para inovator di pemerintahan untuk berkumpul dan mendengar apa yang berhasil, berbagi pelajaran, dan mengakses sumber daya,” ujar Mike, seperti dikutip dari situs Bloomberg Cities Network.
Salah satu kegiatan rutin Jaringan Kota Bloomberg adalah Mayors Challenge atau tantangan bagi pemimpin daerah. Tahun 2021, ada 631 kota dari 99 negara menjawab tantangan itu. Ide dan program awal yang diajukan para kompetitor dalam menangani masalah perkotaan pada masa pandemi didominasi isu kesehatan dan kesejahteraan.
Isu lain terkait pemulihan ekonomi dan pertumbuhan inklusif, kesetaraan dan tata kelola pemerintah daerah yang baik, serta iklim dan lingkungan. Sebagian kota mengangkat solusi untuk isu kesehatan mental, pengangguran, sampah, ketahanan pangan, ruang publik, pendidikan, dan kesenjangan digital.
Kota yang memiliki solusi dengan pendekatan riset ilmiah serta teknologi untuk menjawab masalah lebih kompleks dan tantangan terberat abad ini, yaitu pandemi Covid-19, memiliki kesempatan memenangi kompetisi. Misi tantangan ini satu saja, jangan sampai upaya melandaikan kurva penularan pandemi menekan kota-kota untuk meratakan pula berbagai inovasi untuk kemaslahatan warganya.
Dari komite penilai independen, akhirnya terpilih 50 kota paling inovatif 2021 pada pertengahan Juni lalu. Di sepanjang sisa tahun ini, komite akan memantau serta menilai perkembangan penerapan inovasi ke-50 kota. Hasilnya, akan terpilih 15 kota terinovatif dengan hadiah 1 juta dollar AS untuk setiap kota. Sebanyak 35 kota lain, jika merujuk pada tantangan serupa tahun sebelumnya, akan mendapat 100.000 dollar AS dan pendampingan melanjutkan pengembangan serta penerapan inovasi di kotanya.
Geliat kota-kota
Kota-kota modern di negara-negara maju tak pelak menjadi bagian dari 50 kota tersebut. Sebut saja di antaranya ada Auckland di Selandia Baru, Baltimore yang juga ”rumah” dari Universitas John Hopkins dan Birmingham di AS, London dan Glasglow di Inggris, juga Paris di Perancis. Selain itu, ada pula sederet kota dari negara ekonomi menengah ke bawah yang mampu menembus 50 besar. Kota-kota itu, antara lain Kigali di Rwanda, Kumasi di Ghana, Manila di Filipina, Rourkela di India, dan Umuaka di Nigeria.
Manila, Ibu Kota Filipina, tetangga Indonesia ini adalah salah satu kota terpadat di dunia dan tidak memiliki data yang dapat diandalkan sehingga sulit memahami kedalaman dan luasnya masalah warga urban di sana. Kota ini lantas memulai ”Go Manila”, serangkaian kebijakan, proses, dan platform digital baru untuk membangun infrastruktur data modern pertama dalam sejarah 450 tahun kota itu. Program ini bagian dari upaya pemulihan ekonomi sekaligus pembangunan inklusif yang diharapkan membantu kota tersebut bertahan dan mengatasi pandemi.
Semangat memperbaiki kota demi layanan yang lebih baik bagi warganya turut disodorkan Kigali, ibu kota Rwanda di Afrika Tengah. Hampir dua pertiga dari sekitar 1,2 juta penduduk kota utama di negara yang sempat tercabik-cabik konflik antarsuku ini tinggal di permukiman informal. Kualitas perumahan, air, dan sanitasi yang buruk, serta layanan kebersihannya amat terbatas.
Saat SARS-CoV-2 pemicu Covid-19 menghampiri, kota ini pun terjangkit wabah. Data WHO dashboard, menunjukkan ada 356 kasus baru pada 24 Mei 2021 di Rwanda yang naik menjadi 6.687 kasus baru pada 28 Juni. Kigali termasuk yang harus menghadapi lonjakan kasus ini.
Pergulatan melawan lonjakan kasus Covid berpuluh kali lipat di negaranya tidak mengurungkan niat Kigali yang hendak membangun reservoir air bawah tanah. Program ini untuk meningkatkan akses air bagi penduduk dan menambah stasiun pembuangan limbah, meningkatkan kualitas air, sekaligus memperbaiki sanitasi dan kebersihan lingkungan.
Program tersebut bertujuan menekan ketergantungan penduduk pada air komersial dan mencegah limbah padat mencemari pasokan air konsumsi. Ini juga untuk mengurangi pengeluaran kota yang biasa tersedot untuk perbaikan infrastruktur setelah banjir. Program Kigali ini mengingatkan pada Jakarta Sewerage System (JSS) yang dicanangkan sejak 2019 dan ditargetkan beroperasi pada 2022. Namun, realisasi JSS sepertinya terganggu karena terdampak pandemi.
Berhasil tidaknya Kigali dan Manila dengan programnya membawa pulang dana satu juta dollar AS akan diketahui publik akhir tahun ini. Yang lebih penting dari memenangi kompetisi, justru menjaga nyala asa dan upaya berinovasi untuk menjadi kota inklusif dan memperbaiki kehidupan warganya di tengah badai pandemi yang belum berakhir.
Berpijak pada pengalaman Amerika Serikat, ia sempat ”tersesat” tetapi kemudian kembali pada jalan sains dan mulai menuai hasil yang baik. Kota-kota di AS berdaya membuktikan mereka makin inovatif. Indonesia yang kini sedang kewalahan mengatasi pandemi, kalau tidak mau disebut nyaris atau sudah kolaps, sebaiknya memastikan dirinya bisa menjadi lebih baik dengan kebijakan dan inovasi-inovasinya. Siapa tahu, Indonesia dengan puluhan provinsi dan ratusan kota/kabupaten segera dapat mengatasi pandemi.
Indonesia dan kota-kotanya yang menginspirasi dunia bukanlah cerita fiksi, selama ada niat, kegigihan, dan kepemimpinan menjalankan komitmen menjadi lebih baik. Tak ada yang tidak mungkin.