Kota Bekasi Tetapkan Status Darurat Penanganan Covid-19
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi tak setuju dengan usulan sejumlah kepala daerah untuk memberlakukan pengetatan makro di Jabodetabek. PPKM mikro dinilai sebagai kebijakan yang paling tepat dalam pengendalian pandemi.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Pemerintah Kota Bekasi menetapkan penyebaran Covid-19 di Kota Bekasi, Jawa Barat, berstatus kedaruratan. Penanganan di masa kedaruratan tersebut dilakukan dengan menambah kapasitas ruang perawatan hingga kapasitas tempat pemakaman. Pengurus RT dan RW masih jadi garda terdepan dalam pengendalian pandemi.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan, kebijakan dari pemerintah pusat masih berupa penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro. Oleh karena itu, saat terjadi penyebaran Covid-19 yang kian masif, Pemerintah Kota Bekasi menetapkan PPKM mikro darurat.
”Saat tingkat penyebaran melebihi kapasitas (ketersediaan ruang perawatan), saya selaku kepala daerah mengambil inisiatif menetapkan kedaruratan, kan, yang meninggal kemarin 72 orang sehari. Belum yang diambil dari rumah sakit lain, masih banyak. Ukuran kedaruratan itu pasien bertambah, kapasitas pelayanan kesehatan terganggu sampai proses pemakaman,” kata Rahmat, Rabu (30/6/2021), di Bekasi.
Berdasarkan data Satuan Tugas Covid-19 Kota Bekasi, hingga Rabu (30/6/2021), akumulasi kasus Covid-19 di daerah itu mencapai 53.658 kasus. Sementara tingkat keterisian pasien Covid-19 di berbagai rumah sakit mencapai 86 persen. Keterisian pasien di rumah sakit itu belum termasuk warga yang mengantre untuk mendapat perawatan di tenda darurat.
Rahmat menjelaskan, maksud dari kebijakan PPKM mikro darurat di Kota Bekasi itu sama seperti kebijakan PPKM mikro. Pengendalian Covid-19 masih sama, yakni dilakukan di tingkat RT dengan memberlakukan karantina mikro ketika ada warga atau keluarga di salah satu lingkup RT yang positif Covid-19.
”Karena sekarang peningkatannya luar biasa, maka saya tetapkan darurat. (Kebijakannya) berbeda. Kalau sudah darurat, berarti fasilitas kesehatan sudah penuh, tenaga kesehatan sudah banyak yang kena, tempat pemakamannya juga sudah (menipis),” ucap Rahmat.
Tak setuju makro
Rahmat menambahkan, meski kasus terus meningkat, ia tak setuju dengan usulan sejumlah kepala daerah lain untuk memberlakukan pengetatan makro di Jabodetabek. Pengendalian Covid-19 saat ini lebih tepat dengan PPKM mikro.
”Saya enggak mau kalau makro. Sudah begini harus mikro, harus lebih stressing lagi,” katanya.
Sementara untuk mengukur efektivitas kebijakan PPKM mikro, kata Rahmat, pihaknya sudah memiliki posko satuan tugas Covid-19 di setiap RW. Posko itu berfungsi mengurai sejak hulu, terutama penanganan terhadap pasien Covid-19 bergejala ringan.
”Kalau (pasien) cuma mencret, pusing, isolasi di rumah. Tetapi, kalau sudah sesak napas, maka dibawa ke IGD dan triase di sana karena ada dokter dan ada oksigen,” ucap Rahmat.
Saat tingkat penyebaran melebihi kapasitas (ketersediaan ruang perawatan), saya selaku kepala daerah mengambil inisiatif menetapkan kedaruratan, kan, yang meninggal kemarin 72 orang sehari. Belum yang diambil dari rumah sakit lain, masih banyak. Ukuran kedaruratan itu pasien bertambah, kapasitas pelayanan kesehatan terganggu sampai proses pemakaman. (Rahmat Effendi)
Sebelumya, Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, pihaknya terus meminta pemerintah pusat untuk mengambil kebijakan pengetatan makro di Jabodetabek. Desakan serupa diserukan Gubernur Banten Wahidin Halim.
Menurut Wahidin, kebijakan yang dibuat pemerintah pusat tidak efektif dalam penerapannya di lapangan. Pembatasan sosial berskala besar yang berlanjut dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat mikro tidak ampuh membendung lonjakan kasus positif Covid-19 seperti yang terjadi sekarang.