Kiat Menjaga Stamina dengan Buah di Tengah Pandemi
Pandemi menyadarkan bahwa konsumsi buah penting untuk meningkatkan imunitas, selain mencukupi kebutuhan serat, vitamin, dan mineral.
Oleh
KRISHNA P PANOLIH/MB DEWI PANCAWATI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 banyak mengubah pandangan orang tentang pola hidup sehat. Untuk memperkuat daya tahan tubuh agar tidak mudah terpapar virus SARS-Cov-2, tidak cukup mengandalkan suplemen dan vitamin. Tubuh memerlukan asupan gizi yang seimbang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan, tak ada bahan makanan, minuman, ataupun suplemen tertentu yang bisa melindungi ataupun menyembuhkan seseorang dari Covid-19. Kalaupun memang ada kekurangan vitamin, efeknya lebih pada menurunnya tingkat imunitas dan sistem metabolisme, tetapi tidak menyebabkan seseorang tertular.
Menurut Kementerian Kesehatan, protein, sayur, dan buah adalah bagian penting dari komponen makanan sehat dan bergizi yang perlu dikonsumsi setiap hari. Artinya, dua pertiga dari satu porsi terdiri dari ketiga bahan itu. Mengoptimalkan pola makan yang sehat dan berimbang dengan banyak mengonsumsi buah-buahan menjadi pilihan yang tepat.
Hal ini tergambar dalam jajak pendapat Kompas pertengahan Juni lalu. Lebih kurang sepertiga responden mengonsumsi buah-buahan untuk mencukupi kebutuhan serat, vitamin, dan mineral selain sayuran. Sebanyak 27,1 persen responden memercayai bahwa banyak memakan buah-buahan sangat bermanfaat untuk menambah imunitas agar tidak mudah sakit.
Konsumsi rendah
Dalam konteks pandemi, selain sayuran, WHO selalu menekankan agar lebih banyak mengonsumsi buah. Kandungan vitamin dan mineralnya perlu untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Dengan kata lain, agar tubuh punya kemampuan untuk melindungi, melawan, sekaligus memulihkan tubuh jika terkena infeksi.
Namun, di atas kertas, konsumsi buah masyarakat Indonesia masih jauh dari takaran ideal yang dianjurkan WHO. Pengeluaran masyarakat untuk telur dan susu masih lebih tinggi dibandingkan untuk buah-buahan.
Untuk hidup sehat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014, WHO menganjurkan konsumsi sayur dan buah sebesar 400 gram per orang per hari. Untuk buah, takaran idealnya 150 gram. Ini setara dengan tiga pisang ambon, atau 1 ½ potong pepaya, atau tiga buah jeruk.
Angka konsumsi itu ternyata masih jauh dari harapan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2020, konsumsi buah nasional per kapita sehari sebesar 88,56 gram. Jumlah ini hanya sebesar 59,04 persen dari batas minimal konsumsi sehari atau takaran ideal sebesar 150 gram. Dilihat dari pola konsumsi tiap provinsi, hanya dua provinsi yang konsumsi buahnya melewati ambang batas kecukupan yang ditetapkan WHO dan Kemenkes, yaitu Sulawesi Barat (164,2 gram) dan Sulawesi Tengah (161,39 gram).
Jika dibandingkan dengan konsumsi pada periode tahun sebelumnya (Maret 2019), konsumsi buah nasional pada Maret 2020 mengalami penurunan sebesar 1,71 persen. Penurunan terbesar terjadi di DI Yogyakarta, mencapai 12,82 persen. Bahkan, semua provinsi di Pulau Jawa, tak terkecuali, berada di antara 12 provinsi yang mengalami penurunan konsumsi buah per kapita per hari. Sementara itu, Bengkulu menjadi provinsi dengan peningkatan konsumsi buah tertinggi, yaitu mencapai 55,51 persen.
Rendahnya konsumsi itu juga tecermin pada data Riset Kesehatan Dasar 2018. Porsi makan buah dan sayur dalam seminggu tertinggi hanya satu sampai dua porsi (66,5 persen), sementara hanya 4,6 persen yang mengonsumsi dengan porsi ideal lebih dari lima porsi.
Pergeseran pola
Meski demikian, tetap ada optimisme terhadap masalah konsumsi buah tersebut. Ini terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas yang menunjukkan hampir 100 persen responden (96,7 persen) masih mengonsumsi buah meskipun dengan frekuensi berbeda-beda. Seperlima di antaranya setiap hari rajin memakan buah dalam menu hariannya, baik buah potong maupun dibuat jus. Setidaknya ini menunjukkan buah masih menjadi bagian penting dalam pola makan sehari-hari.
Meski di atas kertas konsumsi mengalami penurunan, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Maret 2020 menunjukkan pengeluaran untuk buah meningkat 9,73 persen dibandingkan Maret tahun sebelumnya. Kenaikan rata-rata pengeluaran ini mengindikasikan adanya kenaikan harga pada komoditas buah itu pada periode Maret 2020.
Bisa dipahami mengingat Maret tahun lalu adalah awal mula pandemi yang berpengaruh terhadap pola konsumsi buah masyarakat. Hal ini diakui sekitar 15 persen responden yang menambah lebih banyak lagi porsi konsumsi buahnya selama masa pandemi. Pergeseran konsumsi buah ini menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan produk buah, khususnya buah lokal, sehingga mendorong kenaikan harga. Apalagi, ada kendala distribusi saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Di sisi lain, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ataupun pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) juga berpengaruh pada belanja buah. Di samping itu, munculnya semakin banyak kluster penularan di pasar menyebabkan banyak pasar tradisional ditutup sehingga masyarakat terkendala untuk membeli buah.
Laporan World Food Programme, ”Covid-19: Economic and Food Security Implications”, menyatakan, hingga Oktober 2020, sejumlah pasar tradisional di Indonesia terpaksa tutup, antara lain DKI Jakarta (55), Jawa Tengah (44), dan Jawa Timur (29).
Bisa jadi kondisi tersebut yang memengaruhi hampir 40 persen responden jajak pendapat menyatakan pola konsumsi buah justru berkurang selama masa pandemi. Oleh karena itu, kampanye meningkatkan konsumsi buah perlu selalu digaungkan agar imunitas masyarakat tetap kuat untuk menangkal virus di tengah pandemi yang semakin meluas. (LITBANG KOMPAS)