Upaya Jakarta Bangkit Melalui Kolaborasi
Di hari jadinya, Jakarta meneguhkan kembali sebagai kota dengan warganya yang beragam dan tangguh. Keragaman ini menjadi peluang untuk kolaborasi semua pihak mewujudkan Jakarta bangkit dari keterpurukan akibat pandemi
Jakarta sama seperti kota-kota lain di dunia dan juga daerah lain di Indonesia yang masih berjuang mengatasi pandemi Covid-19. Meskipun Ibu Kota tergolong responsif dan tegas dalam upaya mengatasi dampak pagebluk, masalah kesehatan hingga sosial ekonomi belum membaik di tahun kedua pandemi.
Masalah kian rumit karena pertambahan jumlah penduduk miskin sebagai dampak pandemi. Semuanya menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjelang ulang tahun Jakarta ke-494 pada Selasa (22/6/2021).
Bagaimana Pemprov DKI menghadapi semua masalah tersebut. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang berlangsung secara virtual, Senin (21/6/2021).
Tanya: Terkait HUT DKI Jakarta dan peluncuran Jakarta Bangkit, bagaimana DKI Jakarta memaknai hari jadinya ke-494 di tahun kedua pandemi yang belum membaik ini?
Jawab: Jadi ketika kita memperingati ulang tahun Jakarta tahun lalu, tema yang kita pilih adalah Jakarta tangguh. Itu adalah bulan ketiga setelah WHO menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi.
Saya sampaikan kepada seluruh jajaran, kalau sudah dideklarasikan sebagai pandemi maka ini akan panjang. Jadi untuk melewati masa lama itu Jakarta harus tangguh. Dan pesan tangguh ini digaungkan bahwa kita harus optimis karena selama ini Jakarta berisi orang-orang tangguh. Baik warga Betawi yang memang orangnya tangguh dan kuat maupun pendatang dari seluruh Nusantara.
Mereka yang datang ke kota ini adalah orang-orang yang memilih meninggalkan zona nyaman, mencari tantangan, mencari kemajuan, dan mencari perubahan untuk kebaikan.
Berhadapan dengan hantaman pandemi, kami mengingatkan, yuk mari kita tunjukan kembali sifat tangguh. Tahun ini, sejak awal tahun sampai bulan Mei, kita sudah menyaksikan penurunan kasus Covid-19 dan perekonomian mulai bergeliat kembali.
Insya Allah kita akan bisa bangkit menjadi kota yang lebih baik. Warga yang lebih kuat dan kota yang resilience (berketahanan). Jadi itulah sebabnya mengapa pada tahun ini kami memilih tema Jakarta bangkit.
Kami merasakan betul bahwa warga kota ini merespon pandemi dengan kebiasaan baru yang tumbuh dengan segala macam plus maupun minusnya. Faktanya, penggunaan masker di Jakarta termasuk banyak gunakan. Sebenarnya bukan soal masker, tapi kebiasaan hidup sehat itu muncul.
Jadi itu pesannya, lalu kita sekarang masifkan ikhtiar untuk selesaikan masa pandemi. Pandemi ini akan lebih cepat selesai bila tumbuh kekebalan di tubuh kita. Imunitas bisa di dapat lewat dua cara. Satu terinfeksi dan kedua dengan tervaksinasi. Cara pertama jelas bukan prioritas.
Untuk itu, vaksinasi di Jakarta kita genjot. Alhamdulillah sudah kira-kira 3,4 juta orang mendapatkan vaksinasi pertama. Kita upayakan lebih dari 100.000 orang dapatkan vaksin di Jakarta. Harapannya di akhir Agustus nanti semua orang dewasa di Jakarta yang berusia di atas 18 tahun sudah tervaksinasi. Dengan begitu insya Allah kita memiliki kekebalan kolektif untuk bisa bangkit dan lebih kuat lagi.
Dari tagline Jakarta bangkit, lalu ada Kota Kolaborasi, bagaimana realisasinya dengan pembangunan DKI?
Kenapa kita sebut Kota Kolaborasi? Jadi begini, ketika saya mulai bertugas di Jakarta, saya membawa ide kepada jajaran. Jangan memonopoli peran dalam membangun kota ini. Kita kedepankan pendekatan kolaborasi karena tahapan pertumbuhan pemerintahan secara evolutif mulai dari pemerintah yang memberikan instruksi.
Ini adalah fase pertumbuhan sebuah pemerintahan dari asalnya governing kemudian menjadi service provider, fasilitator lalu menjadi kolaborator. Masyarakatnya dari semata-matanya rakyat, tumbuh menjadi customer yang dilayani, partisipan, dan co-creator.
Kenapa ini dibawa ke Jakarta? Karena tidak ada kota di Indonesia yang punya think tank sebanyak Jakarta. Tidak ada kota di Indonesia yang punya universitas dan perguruan tinggi sebanyak Jakarta. Tidak ada kota di Indonesia yang punya private sector sebanyak Jakarta. Tidak ada kota di Indonesia yang punya media sebanyak Jakarta. Tidak ada kota di Indonesia yang punya perwakilan lembaga pembangunan sebanyak Jakarta, dengan mitra NGO sebanyak Jakarta.
Kita menempatkan Jakarta adalah membangun dengan mengajak semua pihak maka banyak terobosan bisa dilakukan di kota ini. Mulai dari melibatkan idenya, sumber daya manusia, finansial, dan sumber daya jaringan. Jadi ide kolaborasi bagi Jakarta karena di kota ini penuh dengan sumber daya.
Pilihannya waktu itu kira-kira begini. Uang yang ada dipakai untuk 16.000 ASN atau dipakai untuk 1,5 juta kepala keluarga. Lalu kita putuskan itu dipakai untuk 1,5 juta warga Jakarta
Misalnya, kalau datang ke Jalan Sudirman di salah satu haltenya penuh dengan sign-sign. Siapa yang membuat? Bukan kami. Kami ajak think thank namanya Forum Diskusi Transportasi Jakarta. Ini adalah para profesional yang kalau sore pulang kantor mereka diskusi soal transportasi. Mereka punya ide gambar itu. Ide tentang bagaimana membuat informasi terintegrasi. Jadi kami ajak, idenya dari mereka, kami produksinya.
Kemudian, ketika kita mengintegrasikan transportasi. Ada mikrobus dan bus tengah yang dijadikan kolaborasi sebagai service provider yang kita beli dasarnya. Itu contoh pelibatan private sector.
Ada juga ketika kita krisis ekonomi dan sosial kemarin. Kita meluncurkan Kolaborasi Sosial Berskala Besar. Di mana perusahaan-perusahaan, kemudian individu-individu diundang untuk ikut membantu masyarakat di Jakarta. Kami sediakan platformnya supaya mereka bisa terlibat.
Jadi kolaborasi ini adalah sebuah pendekatan untuk mengoptimalkan semua sumber daya yang ada di Jakarta. Sumber daya yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain, sekaligus mengingatkan pada kita semua bahwa sesungguhnya nilai intrinsik dari bangsa kita adalah gotong royong.
Realisasinya banyak. Teman-teman bisa lihat di laman KSBB di mana itu semua kita wujudkan dalam banyak program.
Kami menyoroti salah satu dampak pandemi, yaitu kemiskinan. Bagaimana DKI mengatasinya?
Jadi begini, ketika pandemi ini terjadi kita mengalami kontraksi perekonomian yang luar biasa. Baik perekonomian DKI maupun fiskal yang dimiliki Jakarta. Belum pernah dalam sejarah Jakarta kehilangan uang hampir Rp 40 triliun seperti sekarang. Itu angka yang fantastis.
Tidak pernah aparatur sipil negara (ASN) itu take home pay sampai dipotong 50 persen. Kemarin, tahun lalu, kami potong 50 persen untuk bantuan sosial. Pilihannya waktu itu kira-kira begini. Uang yang ada dipakai untuk 16.000 ASN atau dipakai untuk 1,5 juta kepala keluarga. Lalu kita putuskan itu dipakai untuk 1,5 juta warga Jakarta.
Pada saat itu lihat lambang yang ada di dada kita. Lambang abdi negara dan pemotongan tidak lebih dan tidak bukan untuk membantu saudara-saudara kita yang terdampak. Jadi dirasakan sekali bagi kami di DKI dan warga Jakarta.
Baca juga : Kolong Kemiskinan Jakarta Tidak Pernah Sepi
Lalu apa langkahnya? Jangka pendek adalah membantu menyelamatkan warga yang keberlangsungan dapurnya, hidup kesehariannya terganggu. Siapa mereka? Mereka yang tidak punya tabungan, pendapatannya harian. Inilah terdampak paling besar.
Mereka yang punya gaji bulanan masih mending. Biasanya ada tabungan. Jakarta ini yang harian luar biasa banyak. Sewa pendorong bakmi harian, pedagang informal sewa dan pendapatan harian dengsn indekosnya mingguan. Kerja dalam roda perekonomian yang tidak memiliki tabungan, kelompok inilah yang paling kehilangan mata pencaharian ketika mengalami krisis kemarin.
Inilah nomor satu yang diberikan bantuan sosial untuk kebutuhan pokok agar bisa survive. Diberikan bentuknya barang untuk memastikan bahwa benar-benar dipakai untuk bertahan hidup.
Lalu langkah kedua, tidak mungkin terus menerus bantuan. Harus siapkan untuk bangkit. Lalu kita ubah pendekatan pendekatan dengan menggencarkan yang mikro dan kecil. Diberikan PKP, program kewirausahaan terpadu.
Ini dengan memberikam satu izin usaha. Jadi izin usaha tidak ditunggu pengajuan tetapi mendatangi tempat usaha dan bagi izin usaha mikro dan kecil secara masif. Kemudian kita berikan NPWP sehingga mereka bisa masuk dalam katalog kita. Lalu kita siapkan program katalog daerah di mana mereka bisa tawarkan program lewat katalog daerah.
Izin usaha mikro kecil sendiri sudah keluar 161.497 izin selama pandemi. Lalu untuk yang terlibat langsung di dalam program kewirausahaan itu mencapai 251.000. Lalu ada kelompok yang secara sosial ekonomi betul-betul punya keterbatasan. Nah di sini tetap dalam bentuk bantuan kas transfer.
Baca juga: Kisah Tikno, Evita, dan Hasyeti Mendamba Bansos yang Tak Kunjung Datang
Kami optimis bila perekonomian kita mulai bergerak kembali, maka mereka yang kemarin sempat terhempas akan kembali masuk dalam roda perekonomian. Kami yakin itu karena krisis yang kemarin terjadi bukan karena salah perhitungan, tetapi karena interaksinya berkurang. Orang tidak bepergian maka demand turun, orang tidak beraktivitas maka supply turun.
Kami yakin dengan adanya pendekatan satu menalangi yang lain untuk bisa survive dan menggiatkan program kewirausahaan bagi mereka yang berada di sektor mikro dan kecil. Insya Allah mereka akan bisa bergerak lebih jauh.
Ada persoalan data warga miskin yang belum sinkron antara data milik pemerintah dan di lapangan, bagaimana DKI mengejar pemutakhiran data agar penanganan masyarakat miskin lebih tepat sasaran?
Jadi begini. Kami melihat di Jakarta kecepatan recovery-nya tinggi walaupun kemarin kontraksinya besar. Begitu kita bisa beraktivitas kembali, kami cukup yakin lapangan pekerjaan akan cepat bergerak karena sektor informal ini besar sekali di Jakarta. Dan tidak semuanya ter-capture oleh data yang disiapkan oleh pemerintah, termasuk data kami.
Oleh karena itu, kami yakin. Dari mana kita bisa melihat, dari pajak. Begitu pendapatan pajak daerah meningkat, kita sudah bisa menyaksikan bahwa perekonomian back on track. Nah kita sudah menyaksikan itu. Lalu apakah nantinya kemiskinan di Jakarta akan hilang sama sekali?
Rasanya kalau hilang sama sekali, menjadi tantangan sendiri karena selalu ada migrasi di segala strata. Urbanisasi, baik mereka yang terdidik masuk Jakarta dan mereka yang dengan modal ala kadarnya masuk Jakarta. Itu akan selalu ada karena di Jakarta ini kita menghadapi tantangan efek dari urbanisasi yang tidak sedikit.
Tapi untuk yang di dalam, kita ingin lakukan reform pada mereka. Jangan lupa jangka panjang, perhatikan PPDB kita berbeda sekali dua tahun ini. PPDB berpihak pada kesetaraan kesempatan, karena kami menginginkan agar masyarakat yang hari ini prasejahtera, anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan berkualitas supaya bisa naik kelas. Untuk naik kelas, sustainable itu lewat pendidikan.
Pendidikan itu adalah eskalator sosial ekonomi. Kalau kita berada di tangga berjalan, bisa naik ke puncak lebih cepat. Tapi dengan berdiri saja bisa naik. Itulah pendidikan sebagai eskalator sosial ekonomi.
Dari mana indikasinya? Bisa cek data. Sekolah favorit yang dulu, anak-anaknya atau siswa baru adalah anak dari orangtua yang berpendidikan S1 dan S2, jumlahnya bisa 90 persen. Sesudah ubah sistem rekrut siswa baru, siswa mencerminkan distribusi yang merata.
Orangtuanya yang berpendidikan SD ada, SMP ada, SMA ada, dan perguruan tinggi ada sehingga proporsional. Bisa berikan peluang belajar bagi semua strata sosial ekonomi.
Kita menyadari di Jakarta ini di satu sisi ada ketimpangan karena kesempatan yang berbeda dan struktural. Kalau struktural tidak dibereskan, maka kemiskinan di Jakarta akan langgeng.
Saya mau menyelesaikan masalah kemiskinan struktural yang terjadi secara lintas generasi
Mereka yang saat ini miskin, anaknya tidak bisa belajar dengan baik, nilainya akan tidak baik, tidak dapat sekolah yang baik lalu mereka masih kalah di satu siklus. Kita bisa punya kemiskinan bergenerasi karena tidak dipotong lewat kesetaraan kesempatan mendapatkan pendidikan berkualitas.
Nah di Jakarta itu tahun lalu mulai diubah. Jadi ini adalah sebuah revolusi di dalam membereskan kemiskinan keturunan lintas generasi. Nanti angka yang muncul bukan dalam statistik tahun depan, dua tahun lagi, tapi akan muncul dalam angka statistik 10 tahun lagi atau 15 tahun lagi. Tapi kita sudah mulai sekarang.
Kita bicara kemiskinan di Jakarta jangan hanya jangka pendek. Untuk selesai hari ini dengan membereskan angkanya. Akar masalahnya harus dituju, salah satunya kesempatan pendidikan yang setara.
Saya ingin garis bawahi, banyak keputusan seperti ini sulit diambil oleh pemimpin politik karena dituntut memenuhi harapan tahun depan, dua tahun lagi. Saya mau menyelesaikan masalah kemiskinan struktural yang terjadi secara lintas generasi. Membuat sebuah aturan yang memberikan kesetaraan kesempatan. Nantinya, bukan hanya kemiskinan yang selesai jangka pendek, tapi problem strukturalnya lewat pendidikan jangka panjang.
Terkait penanganan pandemi untuk DKI saat kondisi kembali genting seperti sekarang jadinya seperti apa?
Sesuai peraturan yang ditetapkan pusat. Sekarang kita mengikuti PPKM. Di dalamnya itu ketentuan pengendalian Covid-19 secara terintegrasi ada di bawah Menko Perekonomian. Yang kemudian membuatkan kriteria zona dan ditentukan pembatasan sesuai kriteria.
Jakarta ini masuk dalam kriteria zona merah karena BOR (bed occupancy rate/keterisian tempat tidur fasilitas kesehatan) di atas 80 persen. Kemudian dari situ seluruh ketentuan tentang pembatasan kita laksanakan di Jakarta sebagaimana di seluruh wilayah Indonesia.
Alhamdulillah, kalau menyangkut keselamatan, kita lakukan semua hal yang harus dikerjakan termasuk soal resources (termasuk pendanaan/anggaran).
Apa pesan positif, optimis untuk warga di tengah pandemi Covid-19?
Begini, Jakarta ini sudah melewati tantangan naik dan turun. Kita, semua yang datang ke kota ini merasakan naik dan turun. Susahnya naik bus kota untuk lamar pekerjaan, susahnya menghadapi usaha yang pernah bangkrut, rugi, itu semua pengalaman kolektif orang di kota ini yang terbiasa menghadapi gelombang.
Pesan saya pada semua, kita yang berada di kota ini adalah orang yang tahan, tangguh, dan sekarang ketemu tantangan kolektif. Mari kita tunjukan bahwa sifat dasar dari pribadi Jakarta adalah orang yang tangguh. Sekarang kita berhadapan dengan pandemi, ketangguhan itu diuji. Dan optimisme soal perasaan, jaga optimisme itu, mari kita sama-sama lewati ini dengan solidaritas.
Wujud solidaritas dengan ikuti protokol kesehatan. Artinya kita melindungi orang lain, menghargai sesama, dan menghormati diri sendiri. Jadi saya yakin kerja bersama ini, pemerintah genjot 3T untuk penanganan Covid-19, lalu genjot vaksinasi untuk mencapai imunitas kolektifnya. Di sisi lain masyarakat mentaati protokol kesehatan, jalankan secara disiplin. Insya Allah ini menjadi satu kerja bersama untuk membuat Jakarta lebih baik, warganya lebih tangguh, dan kita keluar sebagai pemenang dalam tantangan ini.
Kita tidak sendirian, ada begitu banyak kota besar di dunia yang mengalami hal seperti kita. Apa yang kita lihat di masyarakat ini satu sifat tangguh, boleh bangga, dan boleh optimis.
Selamat hari jadi ke-494, Jakarta!