Pemerintah Diminta Bergerak Cepat Perbaiki Persoalan Data Bansos
Survei kepada 3.958 penerima PKH di 94 kelurahan se-Jakarta pada 16 April-15 Mei 2020 juga menemukan kalau bantuan milik 70,16 persen responden, habis dalam waktu kurang dari sepekan.
KEPULAUAN SERIBU, KOMPAS — Warga miskin yang terseok-seok pada masa pandemi Covid-19 belum begitu merasakan dampak bantuan sosial. Masyarakat sipil pun meminta pemerintah untuk bergerak cepat dengan memperbaiki pendataan, menambah jumlah bantuan, dan menjamin pemerataan ataupun keadilan dalam distribusi bantuan.
Di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sebagian besar warga kurang mampu di daerah itu sudah tersentuh bantuan sosial. Dari data Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, pada 2020, jumlah keluarga miskin di wilayah itu sebanyak 8.395 keluarga. Mereka tersebar di enam pulau permukiman, yakni Pulau Kelapa, Pulau Harapan, Pulau Panggang, Pulau Tidung, Pulau Pari, dan Pulau Untung Jawa.
Bantuan sosial yang diperoleh warga beragam, mulai dari bantuan pangan nontunai, Kartu Lansia Jakarta, Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta, bantuan lanjut usia, Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Mahasiswa Unggulan, pemenuhan kebutuhan dasar anak, pangan murah, dan lain sebagainya. Namun, berbagai bantuan itu belum mampu memperbaiki kehidupan warga di daerah wisata itu.
Dulu, banyak tamu yang sering minta saya bantu bakar ikan. Setiap kali bakar ikan itu saya dikasih Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Kalau sekarang, keluarga saya hanya berharap dari hasil jualan kue. (Marni)
Salah satunya Nyumaro (40) warga RW 003 RT 001 Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Ibu dua anak ini bergantung pada penghasilan suami sebagai buruh kapal kongsi penangkap ikan ekor kuning.
”Suami saya satu minggu atau dua minggu baru ke darat. Uang yang dibawa tiap kali ke darat paling banyak Rp 500.000. Kalau saya kehabisan uang, dia pesan untuk utang dulu di tetangga,” katanya.
Nyumaro merupakan penerima bantun sosial tunai. Namun, bantuan sebesar Rp 300.000 per bulan itu terakhir diterima pada April 2021. Dua anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama itu juga mendapat bantuan pendidikan melalui program Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Baca juga: Kisah Tikno, Evita, dan Hasyeti Mendamba Bansos yang Tak Kunjung Datang
Meski mendapat bantuan, Nyumaro masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga lantaran ia masih tinggal di rumah kontrakan. Biaya kontrakan rumah per bulannya Rp 600.000.
Sementara itu, di Pulau Pramuka, Marni (45) warga RT 005 RW 002 Kelurahan Panggang, yang setiap hari menggunakan gerobak kecil berdagang aneka kue itu, juga mengeluhkan sepinya pembeli di pulau itu selama pandemi Covid-19. Penghasilannya per hari dari berjualan kue rata-rata Rp 50.000.
”Kalau ada tamu (wisatawan) itu ramai. Dagangan saya habis, bisa dapat Rp 100.000. Kalau hanya dari masyarakat sini, sedikit,” kata ibu tiga anak itu.
Marni berjualan keliling untuk membantu suaminya yang bekerja sebagai tukang odong-odong di Pulau Pramuka. Suaminya selama pandemi Covid-19 tak lagi mengoperasikan odong-odongnya untuk membawa wisatawan berkeliling lantaran sepinya pengunjung ke pulau itu.
”Dulu, banyak tamu yang sering minta saya bantu bakar ikan. Setiap kali bakar ikan itu saya dikasih Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Kalau sekarang, keluarga saya hanya berharap dari hasil jualan kue,” ujarnya.
Marni termasuk warga penerima bantuan sosial tunai sebesar Rp 300.000 per bulan. Namun, selama dua bulan terakhir bantuan itu tak lagi ia dapatkan.
Baca juga: Polemik Data Jegal Warga Miskin Jakarta
”Alhamdulillah banget kalau ada bantuan itu. Saya bisa pakai beli beras. Sekali beli itu biasanya 5 liter, itu bisa untuk masak selama tiga hari. Cuma sekarang tidak ada lagi,” katanya.
Utamakan kesehatan warga
Bupati Kepulauan Seribu Junaedi mengatakan, Covid-19 sangat berdampak pada aktivitas wisata di Kepulauan Seribu. Sementara potensi utama dari wilayah kepulauan itu, yakni pariwisata.
”Pandemi Covid-19 ini, banyak sekali aturan yang mengurangi kapasitas wisata, mulai dari transportasi hingga penginapan. Transportasi dan kapasitas tempat wisata hanya 50 persen. Ini yang berdampak pada menurunnya faktor ekonomi,” kata Junaedi, pada Minggu (20/6/2021).
Pemerintah Kabupaten Pulau Seribu, kata Junaedi, tetap berupaya menjaga agar daerah kepulauan itu tetap menjadi zona hijau penyebaran Covid-19. Di daerah itu, warga yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 12 orang.
”Jumlah penduduk kami hanya 29.000. Sementara kasus Covid-19 kami hampir 60 kasus. Saat ini yang masih dirawat juga ada 7 kasus. Ini yang harus kami antisipasi, jadi Pulau Seribu sementara jual sehat dulu, baru wisata,” katanya.
Junaedi menambahkan, untuk membantu warga bertahan hidup di masa pengetatan demi mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19, pemerintah daerah setempat masih konsistensi menyalurkan bantuan sosial kepada warga terdampak. Bantuan itu berupa, bantuan tunai, pangan murah, KJP, KJS, dan bantuan penguatan ekonomi.
Baca juga: Warga Miskin Ibu Kota Belum Optimal Terbantu
”Jadi, bantuan saya rasa cukup. Mereka sebenarnya punya pendapatan tambahan, mulai dari sebagai pemandu wisata, tetapi di masa sekarang merosot,” ucapnya.
Evaluasi dan perbaikan
Polemik data bantuan sosial harus segera diperbaiki oleh pemerintah agar Hasyeti (62), seorang pedagang pakaian bekas keliling yang tinggal dengan seorang anak dengan gangguan jiwa, kelimpungan karena bansos beberapa kali dirapel tiap beberapa bulan sekali.
Kebutuhan harian yang tidak bisa ditunda membuat warga Palmerah, Jakarta Barat, itu harus berhemat. Memasak nasi sendiri dan membeli lauk pauk, misalnya, seharga Rp 3.000 hingga Rp 5.000. Itu supaya tetap bisa mandi, cuci, kakus karena harus membayar Rp 2.000 hingga Rp 8.000 per orang di fasilitas umum.
”Bantuan tidak rutin. Sementara usaha (jualan) lagi kacau karena Covid-19. Dapat gocap sudah syukur untuk makan. Semoga bantuan bisa lancar,” ujarnya.
Koalisi masyarakat juga menemukan sejumlah persoalan bansos. Mereka menyarankan pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan agar manfaat bansos maksimal dirasakan masyarakat.
Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial yang terdiri dari Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, IBP, Perkumpulan Inisiatif, Fitra, dan Kota Kita menemukan bahwa warga miskin rentan tertular SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 karena lokasi tempat tinggal dan kerja yang tidak memadai. Belum lagi mereka harus terus mencukupi kebutuhan hidupnya sekalipun menerima bansos.
Baca juga: Kolong Kemiskinan Jakarta Tidak Pernah Sepi
Dika Moehammad, Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia menyebutkan, kecukupan bantuan menjadi masalah yang paling banyak. Akibatnya, warga masih harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
”Beras dan mi paling cepat habis. Warga harus keluar rumah untuk kerja dan rentan terpapar Covid 19,” ujarnya pada Senin (21/6/2021).
Survei kepada 3.958 penerima PKH di 94 kelurahan se-Jakarta pada 16 April-15 Mei 2020 juga menemukan kalau bantuan milik 70,16 persen responden, habis dalam waktu kurang dari sepekan.
Selain itu, pendataan masih bermasalah. Banyak warga miskin baru yang tidak terdata sehingga tidak mendapatkan bantuan. Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial Jakarta dalam surveinya menemukan 2.892 keluarga yang layak menerima justru tidak mendapatkan PKH.
”Basis data pemerintah terkait jumlah warga miskin masih lemah. Tidak heran banyak warga terdampak tidak dapatkan bantuan,” katanya.
Setidaknya ada tiga saran untuk perbaikan. Pertama, pendataan secara digital supaya lebih akurat. Kedua, menambah bantuan sembako dengan uang tunai supaya warga miskin bisa meminimalkan keluar rumah untuk bekerja. Ketiga, jaminan pemerataan dan keadilan dalam pembagian bantuan.
SPRI menyarankan PKH lokal sebagai upaya alternatif. Penerimanya seluruh warga miskin di Jakarta yang belum menerima PKH dan besaran bantuan antara Rp 1,4 juta hingga Rp 2,2 juta berdasarkan kebutuhan minimal warga miskin Jakarta setiap bulan.
Baca juga: Ruang Sempit Musisi di Kala Pandemi Covid-19
Sumber dananya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta tahun anggaran 2021 sebesar Rp 84,1 triliun. Dengan skema PKH lokal, dibutuhkan anggaran Rp 1,1 triliun hingga Rp 2,1 triliun.
Koalisi masyarakat sipil antikorupsi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI, serta Change.org juga sempat membuka pos pengaduan korban korupsi bansos Covid-19. Pos pengaduan bansos yang dibuka pada Maret 2021 bertujuan untuk mencari pengugat dari warga di Jabodetabek untuk mengajukan gugatan terhadap Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.
”Yang terjadi hari ini, kami sudah mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kami minta diadili melalui mekanisme penggabungan gugatan ganti kerugian,” kata salah satu penasihat hukum dari Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos, Nelson Nikodemus Simamora, pada Senin (21/6/2021).
Penasihat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu, menambahkan, pihaknya mendapat banyak persoalan mulai dari bantuan sosial tidak layak konsumsi yang didistribusikan oleh Kementerian Sosial. Bantuan yang tak layak konsumsi itu, misalnya, beras berkutu, ikan sarden dipenuhi cacing dan biskuitnya hancur.
”Kemudian berdasarkan audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) nilainya itu hanya Rp 140.000 sampai Rp 150.000. Jatahnya seharusnya per paket Rp 300.000,” katanya.
Oleh karena itu, untuk menghindari praktik korupsi bantuan sosial, dilakukan perbaikan dengan pemberian bantuan sosial tunai. Sebab, pemberian bantuan sosial barang melibatkan banyak orang dan berpotensi menimbulkan penyelewengan.
Baca juga: Pudarnya Senyum Bahagia Anak-anak Metropolitan
”Yang paling bagus itu memang bansos tunai dan harus dipastikan tidak ada korupsi dengan cara dibagikan melalui kantor pos, misalnya. Kemudian pengawasan juga harus ketat supaya jangan sampai ketika tidak ada orangnya, uang rakyat malah hilang,” katanya.