Berselubung Cat Perak dan Berbaju Boneka Mengakali Pandemi
Pandemi mengusik rezeki sebagian warga Ibu Kota. Untuk bertahan hidup, ada yang harus turun ke jalanan. Di balik baluran cat perak dan kostum kusam boneka lucu, ada ibu dan bapak yang berjuang demi diri serta keluarga.
Sinar mentari perlahan redup dan berganti kilau cahaya dari gedung-gedung pencakar langit di seputaran Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Para pekerja tumpah ruah ke trotoar dan jalan di kawasan elite yang menjadi salah satu nadi perekonomian Jakarta.
Pekerja kantoran dan pengunjung pusat perbelanjaan beradu cepat kembali ke kediaman masing-masing. Juniarti Sagala (30) dengan tubuh berlumuran cat perak justru berdiri tegap di depan pintu keluar Thamrin City, Kebon Melati, Tanah Abang, Jumat (11/6/2021) sore.
Tangan kanannya terangkat menunjukkan sikap hormat. Hormat kepada setiap orang yang lalu lalang dengan harapan hati nurani mereka tersentuh memberi sedikit rezeki. Rezeki dalam bentuk pundi-pundi rupiah itu, bakal bisa membeli popok dan susu formula untuk bayinya yang masih berusia tujuh bulan.
Setahun terakhir Juniarti terpaksa menjadi manusia silver. Tak ada pilihan lain untuk menyambung hidup setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari salah satu usaha konfeksi di Jakarta Selatan. PHK terjadi seiring minim pesanan karena pandemi Covid-19 melanda Tanah Air.
Ibu dua anak ini sempat mondar-mandir mencari pekerjaan lain di Jakarta hingga Tangerang. Dia optimistis bakal mendapatkan pekerjaan baru karena punya pengalaman sebagai sales promotion girl dan petugas resepsionis hotel. Namun, semua usaha dan pengalaman itu sia-sia.
”Saya punya bayi, mau enggak mau, banting setir deh, kayak gini. Anak pertama saya juga baru berusia tiga tahun,” kata lulusan sekolah menengah kejuruan jurusan perhotelan.
Baca juga: Badut-badut Anak Kandung Pandemi Covid-19
Penghasilan sebagai manusia silver tak menentu. Jika sedang beruntung, dalam sehari dia bisa mengantongi Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Uang itu selain untuk membeli popok bayi dan susu formula, sebagian disisihkan untuk jasa pengasuh sebesar Rp 25.000 per hari. Dia menyewa pengasuh untuk merawat kedua anaknya lantaran beban sebagai tulang punggung keluarga. Sang suami mangkat pada Februari 2021 setelah kakinya terinfeksi tetanus.
Semenjak menjadi manusia perak, Juniarti lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan. Praktis setiap pagi dia menyempatkan diri untuk memberi ASI kepada si bungsu sekaligus menengok si sulung yang tinggal dengan kerabatnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
”Biaya popok anak saya seminggu bisa sampai Rp 500.000. Uang enggak cukup buat sewa kontrakan. Jadi, tidur di emperan atau pasar,” kata perempuan kelahiran Tangerang itu.
Orangtua tunggal ini saban hari mulai berdiri dengan sikap hormat dari pukul 15.00 hingga pukul 19.00. Kawasan Thamrin City jadi pilihan lantaran tempat itu dinilai aman dari operasi penertiban oleh petugas terkait.
Intaian penyakit
Arus lalu lintas di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, ramai pada Kamis (10/6/2021) malam. Situasi menjurus padat ketika lampu lintas berwarna merah. Pengemudi menggeber tuas gas dan klakson bersahutan seolah tak sabar untuk kembali memacu kendaraan saat lampu berganti warna.
Baca juga: Kisah Penjaga Budaya Betawi yang Kian Terpukul Pandemi
Agus Tryono (21) bersama dua sahabat karibnya meliuk di antara kendaraan sembari menenteng kotak kardus. Wadah itu untuk menampung kepingan dan lembaran rupiah dari mereka yang bermurah hati.
Tubuh berlumur cat perak menjadi perhatian. Apalagi Agus sedikit beratraksi dengan berjalan tegap bak robot atau terkadang berdiri seolah patung. Jika ada pengendara yang memberikan rupiah, lelaki kelahiran Jakarta itu, tak lupa menunduk sebagai pertanda ucapan terima kasih.
Penghasilannya sebagai manusia silver tak menentu atau sama seperti pendapatan yang diperoleh Juniarti. ”Cukup, lanjut besok lagi. Sudah tiga kali mutar, enggak ada yang kasih. Hari ini dapat Rp 40.000,” katanya sambil terseyum kecut.
Sebelum pandemi, dia bekerja sebagai petugas kebersihan salah satu pusat perbelanjaan di Kuningan, Jakarta Selatan. Selama tiga tahun bekerja pendapatannya Rp 1,8 juta per bulan.
Upah tersebut untuk lelaki berijazah Paket B atau setara sekolah menengah pertama, sudah cukup untuk membangun keluarga. Dia pun menikah tahun 2019 dan tinggal bersama istri di kontrakan dengan biaya sewa Rp 600.000 per bulan.
Pandemi Covid-19 datang mengubah 100 persen kehidupannya. Ayah satu anak ini terkena PHK persis lima bulan jelang Sang istri melahirkan. Tempat kerjanya terimbas pembatasan sosial berskala besar sehingga tak lagi membutuhkan jasanya dan sepuluh karyawan lain.
Baca juga: Seniman Betawi Menolak Kalah
Dia mengangur hingga sempat bekerja sebagai kuli sepatu di Jatinegara, Jakarta Timur, selama satu bulan dengan upah Rp 80.000 per hari. ”Setelah satu bulan jadi kuli, menganggur lagi. Ada teman yang kemudian ngajak untuk coba-coba jadi manusia silver,” katanya.
Bekerja sebagai manusia perak bukan pilihan mudah. Saban hari, saat berada di jalanan harus sigap menghindari penertiban. Jika tertangkap, urusannya bakal panjang lantaran tanpa penjamin (dari keluarga) mereka akan berakhir di rumah singgah dan dapat pembinaan sebagai warga penyandang masalah kesejahteraan sosial.
”Di sekitar rumah, tetangga lihat kami itu aneh. Mereka bilang, kok bisa, kerjanya seperti itu. Saya pura-pura tuli, mau bagaimana lagi, orang enggak ada kerjaan lain,” ucapnya sembari sesekali menggaruk tangan.
Selama menjadi manusia silver, bintik-bintik kemerahan mulai bermunculan di permukaan kulitnya. Bintik itu diyakini pengaruh dari cat perak yang setiap hari dilumuri ke sekujur tubuh. Cat dari bahan sablon yang dicampur minyak goreng ini memicu perih dan panas pada kulit.
Agus menyadari betul bahaya bahan kimia yang setiap hari menempel di tubuhnya. Namun, ancaman penyakit yang mengintai itu dikesampingkan demi kebutuhan hidup keluarga, terutama si kecil yang kini telah berusia tujuh bulan.
Badut jalanan
Riuh rendah Kota Metropolitan juga tak luput dari badut jalanan. Dengan kostum warna-warni, mereka menyusuri pusat keramaian hingga permukiman warga hanya untuk mengais rupiah.
Baca juga: Dianggap Mengganggu, Ironi Nasib Ondel-ondel Jakarta
Seorang badut berkostum Hello Kitty tengah beristirahat di Jalan Kemanggisan Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (9/6/2021) sore. Napasnya naik turun dan bulir peluh meluncur dari kepala menuju leher. Warna biru langit pada kostumnya mulai pudar. Sekujur kostum pun penuh bercak-bercak cokelat kekuningan.
”Ambil napas dulu. Pegal setengah hari keliling Pasar Palmerah, Kemandoran, dan Kemanggisan,” ujar Irwan (44) sembari menyeka keringat.
Sore itu kantongnya baru terisi Rp 30.000. Masih jauh dari biasanya Rp 70.000 hingga Rp 100.000. Sementara perutnya sudah keroncongan. Sayangnya tidak ada banyak pilihan. Dia harus berhemat termasuk menahan lapar dan haus supaya kantong tak bolong.
Ayah tiga anak ini awalnya bekerja serabutan sebagai kuli bangunan, kuli panggul, dan penjaga toko. Lalu pandemi Covid-19 datang menghilangkan pekerjaan serabutan karena pembatasan aktivitas dan turunnya perekonomian.
”Saya langsung mau pas teman ajak jadi badut karena memang butuh uang supaya dapur mengepul. Awalnya susah dijalani karena panas, mandi keringat, dan pegal,” ujarnya.
Sebagai badut, dia tidak menyewa kostum karena diajak oleh kenalan. Biasanya mereka berganti lokasi mengais rupiah setiap hari di wilayah Jabodetabek. Kereta rel listrik menjadi moda transportasi untuk pergi-pulang karena ongkos ramah di kantong.
Baca juga: Akronim ”Gus Iwan” dan Pesan Kontekstual di Tengah Pandemi
Saat bekerja, dia mengenakan kaus oblong dan celana pendek untuk mengurangi panas saat berada dalam kostum. Dia juga mengenakan kaus kaki untuk meminimalkan potensi lecet dan melepuh pada telapak kaki.
Irwan yang tinggal di Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, tak menampik ada bantuan sosial setiap bulan dari pemerintah. Awalnya bantuan berupa sembako, lantas bersalin rupa jadi uang Rp 300.000.
Namun, bantuan sosial tersebut tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sewa kontrakan tiga kamar Rp 1.000.000 per bulan, dan pendidikan anak-anak. Dua anaknya masih duduk di bangku kuliah.
Juniarti, Agus, dan Irwan potret warga miskin baru di Ibu Kota. Per September 2020, ada 4,69 persen dari sekitar 10 juta jiwa warga DKI masuk kategori miskin. Dibandingkan September 2019, ada tambahan 1,27 persen penduduk miskin DKI tahun ini akibat pandemi.
Mereka terseok-seok dalam pusaran pandemi yang tak kunjung reda. Gedung-gedung pencakar langit nan megah di Ibu Kota pun jadi saksi bisu cat perak dan badut kusam yang berupaya menjaga kelangsungan hidup keluarga.