Nama sejumlah warga miskin hilang dari daftar penerima bantuan sosial di Jakarta. Pada hari jadi DKI pada bulan ini, diharapkan menjadi momentum perbaikan data penerima bansos demi memenuhi hak warga miskin Ibu Kota.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany/Stevanus Ato/Helena F Nababan
·4 menit baca
Evita Therena (33), warga Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat, bingung karena tidak tercatat sebagai penerima bantuan sosial, termasuk bantuan sosial tunai atau BST. Evita menyatakan, ia dan keluarganya pernah pindah domisili di kawasan lain di wilayah Jakarta Barat. Hal itu membuatnya tidak terdaftar sebagai warga miskin di kelurahan yang kini ditinggalinya. BST pun melayang dari genggaman ibu dua anak yang sehari-hari berjualan minuman dan es itu.
”Sudah lapor ke RT RW, tapi belum ada hasil,” ucap istri pengojek daring tersebut.
Padahal, Evita dan keluarganya memenuhi syarat sebagai penerima BST. Penerima BST adalah warga terdampak pandemi Covid-19 yang tidak termasuk dalam penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Sembako. Penerima BST mendapat Rp 300.000 per bulan selama empat bulan.
Skema pertama, memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta dengan cara transfer ke anjungan tunai mandiri (ATM) Bank DKI. Skema kedua melalui PT Pos Indonesia dengan cara diantar langsung ke rumah penerima manfaat. Pada 2021, pemerintah menargetkan 10 juta penerima manfaat dengan total anggaran Rp 12 triliun.
Ada nama warga miskin yang hilang dari daftar penerima bansos. Padahal nama-nama tersebut sudah diajukan ke RW dan kelurahan (Harto Kaseha).
Adapun jumlah penerima BST di Jakarta ada 1.055.216 keluarga yang ditanggung DKI melalui transfer ke rekening Bank DKI dan 750.000 keluarga yang ditanggung oleh Kemensos melalui PT Pos Indonesia. Semua penerima manfaat tercatat sebagai pemilik KTP Jakarta.
Masih di wilayah Palmerah, Hasyeti (62), seorang pedagang pakaian bekas keliling yang tinggal dengan seorang anak dengan gangguan jiwa, juga tidak termasuk dalam 1 juta lebih sasaran penerima bansos. ”Bansos PKH terima Lebaran kemarin. Belum terima lagi sampai sekarang. Dari RT RW bilang Juli baru terima lagi," katanya.
PKH merupakan bantuan dari pemerintah pusat yang cair Januari, April, Juli, dan Oktober. Pemerintah menargetkan 10 juta penerima dengan anggaran Rp 28,71 triliun. Ibu dua anak ini biasa menerima bantuan Rp 300.000 per bulan.
Namun, bantuan beberapa kali dirapel tiap beberapa bulan sekali. Padahal kebutuhan harian tidak bisa ditunda. Misalnya untuk tiap kali mandi, cuci, kakus (MCK) harus membayar Rp 2.000 hingga Rp 8.000 per orang
Hilang
Ketua RT 009 Kelurahan Palmerah Harto Kaseha memastikan ada nama warga miskin yang hilang dari daftar penerima bansos. Padahal nama-nama tersebut sudah diajukan ke RW dan kelurahan.
Total 96 keluarga dari 120 keluarga di RT 009 RW 007 menjadi penerima bansos. Sebanyak 91 keluarga mendapatkan bansos dan pemerintah pusat dan lima keluarga dari DKI. Namun, ketika bansos cair ada sejumlah nama warga miskin yang hilang.
Misalnya penerima BST hanya 71 keluarga. Lalu 10 keluarga lain mendapatkan bantuan susulan dari provinsi.
”Semua warga miskin terdata tetapi sekitar lima keluarga namanya hilang. Ada yang kepala keluarganya meninggal, kena pemutusan hubungan kerja, dan ibu yang sebatang kara. Saya bingung nama mereka bisa hilang ketika bantuan cair,” ucapnya.
Acuan dan terbatas
Hasil kajian bersama antara Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia dan Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial menemukan masalah bansos terjadi karena data acuan dan alokasi anggaran terbatas.
Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Moehammad menyebutkan, penyaluran bansos tidak optimal karena pencatatan kependudukan belum rapih dan pemutakhiran data acuan berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak melibatkan warga sasaran bantuan.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria memastikan pemutakhiran data berbasis DTKS saat ini masih berlangsung. Ia pun meminta agar masyarakat pro aktif karena pendaftaran fakir miskin dan orang tidak mampu (FMOTM) masih terbuka hingga 25 Juni nanti melalui https://fmotm.jakarta.go.id/.
”(Masalahnya) masyarakat tidak tahu proses pemutakhiran data,” kata Dika, Jumat (15/6). Sebagian warga miskin juga belum melek teknologi dan sulit mengakses pendaftaran daring.
SPRI juga menemukan bantuan seperti PKH yang belum menjangkau seluruh warga miskin karena keterbatasan kuota bantuan. Setidaknya 30.000 keluarga miskin di DKI luput dari bansos itu. ”Alokasi anggaran dan kuota harus ditingkatkan,” ujarnya.
Karena itu, SPRI menyarankan DKI membuat PKH lokal untuk jangkau 30.000 keluarga miskin yang luput dari bansos. Sumber dananya dari alokasi APBD. Toh, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan (Silpa) APBD DKI 2020 lalu ada sekitar Rp 2 triliun dan dapat direalokasi untuk kepentingan publik yang mendesak.
Di ulang tahun DKI pada 22 Juni besok, pembenahan data dan mekanisme pemberian bantuan bagi mereka yang membutuhkan pasti akan menjadi kado terindah bagi warga Ibu Kota.