Siaga Fase Genting, DKI Didorong Terapkan Lagi PSBB Ketat
Angka kasus Covid-19 di DKI Jakarta menunjukkan tren kenaikan. Dinkes DKI Jakarta dan RSDC Wisma Atlet harus menambah kapasitas tempat tidur untuk antisipasi.
JAKARTA, KOMPAS — Sebulan pasca-Lebaran, DKI Jakarta mengalami lonjakan kasus yang tinggi sehingga Pemprov DKI mewaspadai fase genting dan varian baru yang mengancam. Pengelola RSD Wisma Atlet mendesak Pemprov DKI segera menerapkan kebijakan pembatasan mobilitas melalui pembatasan sosial berskala besar.
Koordinator Lapangan Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran Letkol TNI AL M Arifin menjelaskan kondisi RSDC yang semakin penuh. Hingga Selasa (15/6/2021) pukul 08.00, jumlah pasien yang dirawat 5.453 orang, bertambah 398 orang dari hari sebelumnya sebanyak 5.028 orang.
Penambahan itu, menurut Arifin, sangat signifikan. ”Mulai seminggu terakhir jumlah pasien memang naik. Tambahan per hari bisa 300 orang, 400 orang, 500 orang, 661 orang pernah. Pokoknya di atas 300 sampai hari ini juga,” jelasnya.
Ia pun mengusulkan pembatasan sosial atau PSBB diperketat 1-2 minggu ini hingga kasus landai. Itu supaya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan bisa fokus menangani pasien dengan baik. ”Kalau sudah landai silakan diatur secara bertahap lagi. Kalau sekarang ini harus diatur benar, kluster kantor juga harus diatur benar,” katanya.
Ia membenarkan adanya keramaian seperti video yang beredar Senin malam di Wisma Atlet. ”Memang faktanya seperti itu. Itu sekitar jam 21.00-an, di mana ratusan pasien datang dan antre mendapat kamar,” kata Arifin.
Baca juga: DKI Siap Hadapi Gelombang Kedua
Mereka adalah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dan antre mendapatkan kamar di tower 4. Begitu dibawa ke RSDC, pasien harus antre untuk proses pendaftaran. ”Yang bergejala harus ditanya, dicek, diukur tensinya. Kalau tanpa gejala cepat, yang bergejala harus dipastikan dia tidak ada keluhan sesak napas,” katanya.
Dari pertambahan kasus yang signifikan itu, pasien mayoritas dari Jakarta sebanyak 80 persen. Mereka dikirim oleh puskesmas-puskesmas di Jakarta, di antaranya dari Cipayung, juga dari kelurahan-kelurahan di Jakarta. ”Pasien terkonfirmasi ini berasal dari kluster kunjung mengunjungi ketika Lebaran.
Faktanya sehabis Lebaran sulit dikendalikan,” katanya.
Widyastuti, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Selasa (15/6/2021) di Balai Kota DKI Jakarta, menjelaskan, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, kondisi pandemi di Ibu Kota menunjukkan tren mengkhawatirkan. Itu karena peningkatan kasus Covid-19 terjadi terus-menerus dan signifikan, terutama pascalibur Lebaran.
Pada 31 Mei 2021 saja atau tepatnya saat perpanjangan PPKM Mikro sebelumnya, kasus aktif di Jakarta sudah menunjukkan angka 10,658 dengan positivity rate 7,6 persen. Itu diperoleh dari hasil tes PCR.
Selama dua minggu ini, kenaikan kasus konstan dan cenderung mengalami lonjakan. ”Hingga per 14 Juni 2021 kasus aktif di Jakarta mencapai angka 19.096 atau naik 9.000-an kasus. Bahkan, beberapa hari ini pertambahan kasusnya mencapai 2.000, 2.300, 2.400, dan 2.700 dengan kenaikan positivity rate yang juga signifikan di angka 17,9 persen,” ungkap Widyastuti.
Fase genting juga kian mengkhawatirkan dengan munculnya varian baru mutasi virus SARS-CoV-2 atau Covid-19, yaitu varian yang berasal dari luar negeri, di mana transmisi virus ini sudah ada di Jakarta.
Widyastuti memaparkan, ada beberapa varian yang harus diwaspadai, terutama varian Delta B.1.617.2 yang sudah bertransmisi di Jakarta. ”Varian baru ini cukup merepotkan karena memiliki kemampuan tersendiri untuk menginfeksi kita. Seperti kita ambil contoh varian Delta B.1.617.2 yang amat mudah menyebar dan varian Beta B.1.351 yang amat mudah membuat gejala menjadi berat atau lebih mematikan,” ujarnya.
Baca juga : Jakarta Siaga Lonjakan Kasus
Melihat Jakarta yang memasuki fase krusial, untuk mencegah agar tak masuk fase genting, Widyastuti memastikan seluruh jajaran Pemprov DKI bekerja menyiapkan antisipasi jangka pendek dengan menambah semaksimal mungkin kapasitas keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR).
Kami berencana menambah fasilitas isolasi mandiri bekerja sama dengan pusat dengan BNPB, seperti Rusun Nagrak Cilincing, Wisma PMII, dan Wisma Ragunan. (Widyastuti)
Itu dilakukan karena ada peningkatan keterisian pasien Covid-19. Per 31 Mei 2021 kapasitas tempat tidur isolasi di Jakarta sebesar 6.621 dan terpakai 2.176 atau 33 persen, sementara kapasitas tempat tidur ICU sebesar 1.014 dan terpakai 362 atau 36 persen.
Keterisian itu naik signifikan per 14 Juni. Untuk kapasitas tempat tidur isolasi sebanyak 7.341, terisi 5.752 atau sudah menyentuh 78 persen hanya dalam dua minggu. Untuk tempat tidur ICU yang sebesar 1.086, terisi 773 tempat tidur atau 71 persen.
”Dari 78 persen keterisian tempat tidur tersebut, 25 persennya merupakan warga luar DKI Jakarta dan komitmen kami tetap untuk tak membeda-bedakan pelayanan, tetapi ini menjadi peringatan bahwa virusnya tak mengenal batas wilayah,” kata Widyastuti.
Penambahan kapasitas
Widyastuti melanjutkan, dengan kasus yang terus meningkat, Pemprov DKI mengantisipasi dengan terus menambah jumlah BOR. Pemprov DKI Jakarta menggandeng berbagai pihak dan memanfaatkan berbagai sumber daya untuk menambah BOR.
”Kami berencana menambah fasilitas isolasi mandiri bekerja sama dengan pusat dengan BNPB, seperti Rusun Nagrak Cilincing, Wisma PMII, dan Wisma Ragunan yang nantinya akan digunakan sebagai fasilitas tambahan apabila Wisma Atlet mengalami lonjakan orang yang harus ditangani,” katanya.
Selain penambahan kapasitas BOR, Pemprov DKI Jakarta juga mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menambah tracer atau pelacak. Mereka memegang peran penting melakukan deteksi dini sehingga pengendalian dapat dilakukan dengan baik.
Sementara untuk Wisma Atlet, jelas Arifin, juga akan membuka tower 8 untuk menambah kapasitas tampung. Dari tower 4, 5, 6, dan 7 yang sudah digunakan, kapasitas sekitar 5.000. Lalu, seiring kenaikan kasus, pihak RSDC Wisma Atlet menambah 1.000 tempat tidur sebagai tempat tidur ketiga.
PSBB lagi
Dengan mobilitas masyarakat yang seperti tak terkendali dengan jalanan yang mulai macet, menurut Arifin, Pemprov DKI harus kembali menerapkan pembatasan sosial atau PSBB. Setidaknya pembatasan mobilitas dilakukan dalam beberapa waktu.
Untuk kebijakan bekerja dari rumah (WFH) disulkan kembali ketat 50 persen, lalu juga pembatasan di lingkup terkecil RT ataupun RW. ”Kalau WFH 50 persen harus diawasi, ya diawasi benar. Jangan hanya laporan-laporan 50 persen. DKI punya satpol PP banyak, ada polsek, polres, koranmil. Tinggal sampaikan saja, koranmil ataupun kapolsek cek itu,” katanya.
Saran itu ia sampaikan karena saat ini semua mulai kendur. Perkantoran sudah banyak yang 100 persen bekerja. Artinya, situasi itu antara lalai, melupakan sedang pandemi, atau nekat. ”Nekat ya efeknya seperti keramaian semalam di Wisma Atlet akan terulang lagi, lagi, dan seterusnya,” katanya.
Prasetio Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI Jakarta, mendesak Pemprov DKI Jakarta menerapkan lockdown mikro pada RT dan RW zona merah. ”Ini harus cepat agar kasus penularan bisa segera ditekan karena memang kasus aktif di Jakarta sudah memasuki angka yang mengkhawatirkan,” kata Prasetio melalui keterangan tertulis.
Berdasarkan data corona.jakarta.go.id, total pasien Covid-19 yang ada di Ibu Kota saat ini, per Selasa (15/06/2021), sudah mencapai 19.244 orang yang dirawat di rumah sakit dan menjalani isolasi mandiri.
Perpanjangan PPKM Mikro
Dengan angka kasus tinggi, Pemprov DKI Jakarta melalui Kepgub No 759 Tahun 2021 dan Ingub No 39 Tahun 2021 memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro hingga 28 Juni 2021. Langkah itu diambil sebagai pencegahan penularan kasus.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam keterangan resmi Pemprov DKI Jakarta disebut tengah menguatkan sinergi dan kolaborasi dengan jajaran Forkopimda serta seluruh elemen masyarakat guna mengintervensi dan mengantisipasi agar Jakarta tak masuk ke fase genting. Nantinya, penguatan ini akan diimplikasikan dalam sejumlah kegiatan, seperti operasi gabungan guna membentuk pendisiplinan kolektif.
Berdasarkan pengalaman pada tahun lalu, jika Jakarta masuk fase genting, Pemprov DKI harus menarik rem darurat yang akan berdampak pada perekonomian.