DKI Siap Hadapi Gelombang Kedua
Kemarin, kasus harian di DKI mencapai 2.769 orang dan total 448.071 kasus positif Covid-19. Tingginya kenaikan kasus positif ini mengindikasikan datangnya gelombang kedua wabah di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan kasus Covid-19 di Jakarta sampai pertengahan Juni semakin mengkhawatirkan. Indikasi adanya gelombang kedua pun terlihat dengan semakin naiknya kasus harian dan penuhnya tempat perawatan pasien.
Minggu (13/6/2021), kasus positif Covid-19 di Jakarta sampai pukul 10.00 bertambah 2.769 kasus. Dengan demikian, kasus positif secara keseluruhan adalah 448.071 kasus. Kasus positif harian di Jakarta meningkat lebih dari 100 persen dari hanya rata-rata 1.000 kasus pada pekan lalu.
Adapun penambahan angka pasien meninggal cenderung stagnan, dengan 14 orang yang meninggal hari ini dibanding 15 orang pada pekan lalu.
Sosiolog bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amin, dalam konferensi virtual di Jakarta hari ini, mengamati tren kenaikan kasus positif yang juga terjadi di banyak daerah pasca-Lebaran mengindikasikan gelombang kedua Covid-19.
”Masyarakat seperti sudah lelah menjalankan protokol kesehatan. Oleh karena itu, (selain tetap mendorong disipilin protokol kesehatan) hal paling krusial adalah mengakselerasi program vaksinasi. Tetapi, pemerintah jangan hanya fokus pada kesediaan vaksin, tapi kesediaan masyarakat untuk divaksin. Peran masyarakat sangat krusial. Pemerintah juga perlu paham perilaku masyarakat,” ujarnya.
Jakarta sudah mengantisipasi hal ini sejak gelombang Covid-19 melanda di Januari. (Dwi Oktavia)
Berdasarkan data hari ini juga, 2,88 juta warga Jakarta telah mendapatkan vaksin dosis pertama dan lebih dari 1,86 juta orang telah mendapatkan vaksinasi Covid-19 kedua dari total target 3 juta orang. Meski DKI Jakarta menduduki peringkat kedua sebagai provinsi dengan cakupan vaksinasi terbanyak setelah Bali, vaksinasi baru menjangkau sekitar 18 persen penduduk Jakarta.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Dwi Oktavia, pada kesempatan sama, mengamini perlunya dukungan masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan vaksinasi. Di sisi lain, upaya pelacakan, pemeriksaan, dan perawatan atau 3T juga akan terus digencarkan.
”Jakarta sudah mengantisipasi hal ini sejak gelombang Covid-19 melanda di Januari. Kini kita seperti kembali ke siklus yang lalu. Kami terus berupaya memutus rantai penularan dengan mengingatkan agar protokol kesehatan terus dijalankan. Lalu, meningkatkan kapasitas layanan kesehatan,” kata dokter yang biasa disapa Lies itu.
Baca juga: Keterbatasan Informasi Jadi Hambatan Orang untuk Donor Darah
Ia menyebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menjaga konsistensi jumlah tes mingguan sampai 6 kali lipat dari standar pengetesan minimal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 1.000 penduduk per minggu. Pelacakan kontak erat pasien positif juga sudah ditingkatkan bersama satuan dari kepolisian dan TNI.
Lies juga memastikan pasien positif yang membutuhkan perawatan di Jakarta tidak telantar. Saat ini, DKI Jakarta menyediakan 13 rumah sakit yang beroperasi penuh untuk pelayanan Covid-19.
”Kami juga sudah siapkan tiga skenario untuk antisipasi kebutuhan isolasi terkendali pada pasien positif yang tidak bergejala,” imbuhnya.
Rencana itu dinantikan pengelola Rumah Sakit Darurat Covid Wisma (RSDC) Atlet Kemayoran di Jakarta Pusat. Rumah sakit tersebut pada hari ini menampung hampir 5.000 pasien positif Covid-19. Sampai pukul 20.00 hari ini, RSDC Wisma Atlet Kemayoran menerima tambahan pasien 389 orang, menjadi 4.896 orang. Dengan demikian, tingkat keterisian kamar inap di Tower 4, 5, 6, dan 7 mencapai 80 persen dari total 5.994 kamar inap.
Letnan Kolonel Laut dokter gigi M Arifin dari Humas RSDC Wisma Atlet Kemayoran menyampaikan, sementara menunggu keputusan Pemprov DKI Jakarta terkait penyediaan tempat isolasi pasien tidak bergejala, mereka juga memastikan akan menambah kapasitas ruang inap.
”Alternatif yang pertama kita akan memanfaatkan kasur yang ada. Jadi, di setiap kamar akan difungsikan tiga kasur, dari biasanya hanya dua kasur yang dipakai. Dengan ini, kita akan naikkan okupansi 30 persen jadi sekitar 7.900. Alternatif kedua, kita pakai Tower 8 di Pademangan untuk merawat sekitar 1.600 pasien,” kata Arifin.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Skenario Penanganan Gelombang Kedua Covid-19 di Jakarta
Pria berjuluk Kobra ini menyebut pasien yang dirujuk ke RSDC Wisma Atlet Kemayoran masih didominasi warga DKI Jakarta. Walaupun pasien kluster keluarga dari Jakarta Timur sempat mendominasi pasca-Lebaran, ia menyebut kini pasien yang mayoritas bergejala ringan datang dari beberapa wilayah, seperti Priok, Koja, Grogol Petamburan, Cilincing, Pasar Minggu, dan Tebet.
”Masyarakat lebih bagus kalau enggak perlu jangan pergi ke luar, ke tempat hiburan malam, tempat rekreasi, atau kerja kalau masih bisa kerja dari rumah. Tahan diri 14 hari ke depan, sampai landai lagi kasusnya. Kalau enggak begitu bisa kolaps daerah,” pesannya.
Khawatirkan vaksinasi
Terkait vaksinasi Covid-19, kemarin, turut dipaparkan hasil studi berbasis survei yang dilakukan LaporCovid-19, Lab Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), serta Social Resilience Lab NTU Singapura, pada 30 April-15 Mei 2021.
Survei terhadap 47.505 responden di seluruh kelurahan di DKI Jakarta menunjukkan, rata-rata sepertiga responden masih memiliki kekhawatiran terhadap vaksin Covid-19. Kekhawatiran berkisar pada tiga hal, yaitu kehalalan (22 persen), kemanjuran (34 persen), dan kejadian ikutan pascavaksin (32 persen).
”Kekhawatiran ini masih ada kendati mayoritas responden bersedia divaksin,” kata pemimpin studi sekaligus dosen psikologi sosial UI Dicky Pelupessy, dalam konferensi pers virtual, Minggu.
Baca juga: Sepertiga Warga Jakarta Khawatirkan Vaksinasi
Dalam survei, responden yang bersedia divaksin terdiri dari 83,15 persen responden yang belum divaksin dan 98,81 persen responden yang sudah divaksin. Adapun responden yang menyatakan tidak bersedia divaksin hanya 8 persen.
Sulfikar Amin menyebut, kekhawatiran masyarakat berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Dari seluruh responden yang ada, lebih dari 50 persen berlatar belakang SMA atau sederajat. Disusul, responden dengan gelar sarjana (13,63 persen) dan SMP atau sederajat (13,54 persen).
Masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki tingkat persepsi risiko yang lebih baik karena tingginya rasa keingintahuan. ”Sehingga mereka mendapatkan pemahaman yang lebih akurat mengenai efek dan kemanjuran vaksinasi,” ujarnya.
Menurut survei, 70 persen warga Jakarta relatif tidak memiliki hambatan yang berarti dalam mendapatkan informasi seputar pendaftaran, lokasi vaksinasi, serta transportasi.
Hanya sebagian kecil responden (13,4 persen) yang mengaku kesulitan dalam mengakses informasi tentang vaksinasi. Lalu, sepertiga dari responden lansia, yang hanya berjumlah 18,7 persen, ketergantungan pada orang lain untuk mendaftar dan berangkat ke tempat vaksinasi.
Dicky menilai pemerintah dan pihak terkait perlu mengintensifkan edukasi dan sosialisasi kepada kelompok warga DKI yang masih memiliki kekhawatiran cukup tinggi pada vaksinasi. Upaya tersebut perlu lebih spesifik menyasar wilayah dan kelompok warga.
Baca juga: Kluster Arisan dan Hajatan di Kota Bekasi Capai 47 Kasus
Upaya ini penting untuk menyampaikan pesan kunci mengenai efektivitas dan manfaat vaksinasi, rendahnya risiko kejadian ikutan pascaimunisasi dan kesiapan tata laksana penanganannya, serta kehalalan vaksin. ”Pesan kunci perlu disampaikan menggunakan bahasa, medium pesan, dan penyampai pesan yang sesuai dengan wilayah dan kelompok warga yang disasar,” imbuhnya.
Lies, pada kesempatan sama, optimistis, sebagian masyarakat yang memiliki keraguan masih dapat diarahkan agar lebih yakin. Upaya mengubah keraguan ini menurutnya juga bisa dibantu oleh dua pertiga masyarakat yang mendukung vaksinasi.